Bab 3: Menciptakan Skandal Bersama Stefan?

1771 Words
*** Setelah menghabiskan waktu kurang lebih dua puluh menit dalam perjalanan, akhirnya Stefan dan Sein tiba di Mansion. Mobil mewah milik Stefan memasuki area Mansion begitu pintu gerbang yang menjulang tinggi dibuka lebar melalui remote control oleh pengawal yang bertugas di sana. Mobil Stefan berhenti di depan teras. Di sampingnya, Sein membuka sabuk pengaman dengan buru-buru, seolah-olah gadis itu ingin segera keluar karena muak melihat wajah datar kakak angkatnya. Saat Sein bersiap turun, ia menyadari pintu masih dalam keadaan terkunci. Wanita itu segera menoleh ke arah Stefan, menatap pria tampan itu dengan raut wajah menahan emosi. “Buka pintunya!” pinta Sein dengan tegas, malas berbasa-basi dengan pria itu. Sementara itu, dengan gerakan santai, Stefan membuka seatbelt dan mematikan mesin kendaraan. Ia lalu menoleh kepada Sein, menatap dingin wanita itu. “Jangan biarkan kejadian seperti malam ini terulang lagi, Sein, kalau kamu tidak mau aku bertindak tegas pada pria itu,” ucapnya dengan nada mengancam. Stefan memperingatkan dengan harapan Sein mau mendengarkan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Wanita itu tampak acuh, bahkan memutar kedua matanya sebagai tanggapan atas peringatan tegas dari Stefan tadi. “Pria itu, pria itu…!” gerutu Sein. “Dia punya nama! Namanya Kai!” Ketusnya pada Stefan, menatap kesal pada pria itu. Sementara itu, Stefan tampak biasa saja; mempertahankan ekspresi datar. “Sudahlah, jangan perlakukan aku seperti remaja 17 tahun, Stefan. Aku sudah dewasa, sebentar lagi usiaku 24 tahun. Dan aku berhak melakukan apapun dengan kekasihku,” kata Sein sambil menatap Stefan dengan tatapan menantang. Tak ada rasa takut sama sekali terhadap pria itu. “Kau berani berbicara seperti itu di depan Dad?” tantang Stefan, menatap Sein dengan kedua mata memicing. Wanita itu terdiam, kekesalannya terhadap Stefan semakin meningkat. Ia merasa bahwa pria itu bersikap semena-mena padanya hanya karena Ayahnya selalu mempercayakan keselamatannya kepada Stefan. “Kenapa diam?” tanya Stefan, melihat Sein yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. Menarik pandangannya dari Stefan, Sein berdecak kecil dan memutar malas kedua matanya. “Kamu terlalu berisik, membuat telingaku sakit!” ketusnya. Ia menatap lagi pada Stefan, “Ayo buka pintunya, aku mau turun!” Stefan bergeming. Permintaan Sein ia anggap angin lalu. “Stefan, bukan pintunya!!!” teriak Sein. Suaranya naik hingga tujuh oktaf, membuat Stefan secara refleks menutup telinga yang terasa berdengung sambil meringis saking kerasnya suara wanita itu. “Kau pikir ini hutan?! Kau sangat berisik, Sein!” bentak Stefan. “Kalau tidak mau aku berisik, ya sudah, buka pintunya! Mau sampai kapan aku duduk di sini?! Aku mau turun, cepetan buka!” Stefan tetap diam, belum mau membuka pintu mobilnya. Entah apa yang diinginkan pria itu sehingga lebih memilih melihat Sein marah-marah daripada membiarkan wanita itu turun dari mobil. “Stefan, perutku sakit. Buka pintunya! Aku tidak berbohong, aku mau berak!” pekik Sein. Ini bukan hal baru bagi Sein. Mengungkapkan keinginannya secara gamblang seperti itu tidak membuatnya merasa malu. “Janji dulu jangan berperilaku seperti tadi. Baru setelah itu aku ijinkan kamu turun,” desak Stefan, tanpa memperdulikan keluhan adiknya yang... seksi dan menggoda. “Aku tidak mau janji apapun!” keukeuh Sein. “Cepetan bukain pintunya! Kamu mau aku berak di sini?!” Siapa sangka, detik berikutnya terdengar bunyi aneh yang sangat familiar di telinga Stefan. “Brott!” Bersama dengan itu, wajah Sein terlihat lega setelah mengeluarkan angin. Ya, barusan dia kentut. “What the heck! Apa yang kamu lakukan, Sein?!” bentak Stefan marah. Ia menatap jijik pada Sein, namun sayangnya, wanita itu tampak tak peduli. “Kentut, apalagi memangnya?!” jawab Sein dengan nada tak tahu malu. Astaga, padahal Stefan adalah pria dewasa, dan dirinya juga bukan anak-anak lagi. Bisa-bisanya dia buang angin tanpa dosa di depan Stefan. Namun, selang beberapa detik kemudian… “Huekkk!” Stefan merasa mual ketika bau tak sedap mulai terendus di penciumannya. “Kurang ajar kamu, Sein! Kentutmu bau bangkai, kamu tahu?!” Dengan segera, Stefan menurunkan kaca jendela, berharap aroma tak sedap yang masih berputar-putar itu segera menghilang dari dalam mobil. “Jorok! Wanita macam apa kamu, huh?!” amuknya pada Sein. “Nggak usah berlebihan! Semua manusia juga kentut, termasuk kamu!” balas Sein, menatap jengah pada Stefan. “Cepetan bukain pintunya. Aku mau buang air, Stefan!” Akhirnya, Stefan membuka pintu, memberi kesempatan bagi Sein untuk segera turun. Benar saja, wanita itu tak menunggu lama. Ia segera membuka pintu dan turun dengan buru-buru. Sein berlari menuju teras. Sepertinya, wanita itu tidak berbohong. Dia memang benar-benar kebelet ingin ke kamar kecil. Sementara itu, Stefan menatap bayangan Sein sambil menggelengkan kepala. Ia tak habis pikir dengan semua tingkah menyebalkan wanita itu. Menurut pandangan Stefan, semakin wanita itu dewasa, semakin meningkat pula sikap menyebalkan yang dimilikinya, membuat Stefan muak, tapi disisi lain, dia juga… sayang. Selang beberapa menit berlalu, Stefan duduk termenung di dalam mobil. Kemudian, ia menghela napas dan menegakkan tubuhnya. Sebelum turun dari kendaraan, ia mengambil tas milik Sein dan membawanya turun bersamanya. Ia melangkah lebar menuju teras lalu masuk ke dalam Mansion. Suasana yang ia temukan adalah sunyi dan sepi. Hal ini wajar, mengingat saat ini sudah larut malam. “Stefan…” Sebuah suara yang sangat akrab di telinga memanggilnya, membuat Stefan menghentikan langkahnya. Ia memutar tubuhnya dan menatap ke arah pemilik suara. Sang Ayah, Leon. Barusan, Leon bersama istrinya baru saja keluar dari ruang keluarga. Penampilan keduanya agak berantakan, menandakan bahwa pasangan suami istri itu pasti baru saja melakukan yang ‘iya-iya’ di ruang kerja. “Adikmu mana, sayang?” tanya Maureen, menatap Stefan dengan penuh kasih. Ia dan sang suami melangkah mendekat ke arah Stefan. “Sudah naik ke atas, Mom,” jawab Stefan. Leon menghentikan langkahnya di hadapan Stefan, lalu melirik ke tangan pria itu yang tengah menenteng tas yang ia yakini adalah milik Sein. “Ada masalah?” tanya Leon setelah sesaat mengamati raut wajah datar putra angkatnya itu. “Tidak ada. Semuanya baik-baik saja,” jawab Stefan. Terpaksa ia berbohong karena tidak ingin membuat sang Ayah khawatir jika ia menceritakan tentang kejadian di klub tadi. Leon mengangguk pelan sebagai tanggapan atas jawaban sang putra. “Aku permisi, Mom, Dad. Mau antar tas punya Sein dulu,” pamit Stefan. “Kamu nggak menginap di sini saja, sayang?” tanya Maureen. Sejak Sein beranjak dewasa, Stefan sudah jarang menginap di Mansion ini. Ia sengaja pindah ke rumah mendiang Ayah asuhnya. Meskipun begitu, Stefan tetap diwajibkan sarapan dan makan malam bersama di Mansion ini, karena itu adalah salah satu syarat dari Maureen dan Sarah saat dirinya mengambil keputusan untuk tinggal terpisah dari keluarga ini. “Ya, aku akan menginap, Mom. Aku malas pulang,” jawab Stefan. Sesekali ia memang sering menginap di sini, terutama jika ada pekerjaan penting yang harus dibawa pulang untuk didiskusikan dengan sang Ayah, Leon. Maureen mengangguk dengan senyum, merasa senang mengetahui putranya akan menginap. “Yaudah, sana istirahat.” Sebelum pergi, Stefan mendekat pada sang Ibu. Ia mengecup lembut kening wanita itu, lalu menarik diri dan sekali lagi pamit kepada mereka. Stefan melangkah menuju tangga dan segera naik ke lantai dua, tempat kamarnya berada. Di lantai dua, hanya dihuni oleh dirinya, Sein, dan Glenn. Sementara itu, Leon dan Maureen berada di lantai dasar bersama orang tua mereka, Sarah dan Nick. Tak berapa lama kemudian, Stefan tiba di lantai atas. Ia melangkah menuju kamar Sein dengan niat mengantar tas milik wanita itu. Tok tok tok. Setelah berdiri di depan pintu kamar Sein, Stefan mengetuk pintu. “Masuk saja!” seru Sein dari dalam. Suaranya terdengar jelas oleh Stefan. Stefan meraih knop pintu, menggenggamnya, dan menekannya. Ia mendorong pelan pintu hingga terbuka lebar dan segera masuk. Stefan mengerutkan kening saat mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar, mencari sosok Sein. “Sein!” Ia memanggil, mengira wanita itu berada di dalam kamar mandi. Detik berikutnya, Sein keluar dari walk-in closet. Rupanya, wanita itu baru saja mandi dan mengganti pakaian dengan gaun tidur yang… seksi. ‘Cepat sekali dia mandi,’ pikir Stefan sambil menatap intens tubuh molek Sein yang berbalut gaun tidur tipis. “Kenapa lagi?” tanya Sein dengan nada sinis, belum menyadari bahwa di tangan Stefan ada tas miliknya. “Tasmu,” jawab Stefan, menyimpan tas itu di atas meja sebelum beralih menatap Sein. Tanpa sengaja, matanya tertuju pada belahan d**a wanita itu, terlihat padat dan membuatnya sulit meneguk ludah. “Ngapain masih di sini? Sana keluar!” usir Sein, melangkah mendekat ke arah Stefan dan mendorong tubuh atletis pria itu menuju pintu. Akhirnya, Stefan keluar dari kamar Sein. Wanita itu menutup pintu dengan kasar, tidak lupa menguncinya karena tidak ingin Stefan mengganggu waktunya. Dia sangat kesal pada pria itu. “Dasar menyebalkan! Kerjaannya hanya mengganggu kesenangan orang lain!” gerutunya sambil merogoh ponsel di dalam tas. Setelah menemukan benda yang dicari, dia melangkah menuju ranjang dan merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur yang nyaman. Sein tidak langsung tidur. Dia menelepon salah satu sahabatnya, Ruby, dan mengobrol sebentar dengan wanita itu. “Terus, Kai bagaimana? Siapa yang bawa dia ke rumah sakit?” tanya Sein pada Ruby. “Dia tidak pergi ke rumah sakit, Sein. Tadi aku berniat antar dia, tapi dia menolak. Jadi, aku hanya bantu dia sampai di mobilnya saja,” terang Ruby di ujung telepon. “Tapi dia baik-baik saja, kamu tidak usah khawatir,” tambah Ruby, berharap dapat menenangkan hati sahabatnya. Sein mendesah lega. “Oke, thanks ya, By. Maaf merepotkanmu,” ujarnya, merasa tak enak hati pada sahabatnya itu. “It's okay. Kamu tidak usah pikirkan. Oh iya, kamu sendiri bagaimana? Dimarahi tidak?” tanya Ruby dengan rasa penasaran dan khawatir terhadap Sein. “Tidak. Semuanya aman. Stefan saja yang berlebihan. Aku kesal padanya!” geram Sein ketika kembali membahas kakak angkatnya itu. “Tapi, Sein, percaya atau tidak… entah kenapa aku yakin sekali kalau dia suka sama kamu. Dia itu cemburu, Beb!” Sein berdecak kesal. “Percuma suka, By! Dia itu pengecut. Dia juga punya kekasih, si Tai! Ah, sudahlah, aku malas bahas Stefan terus. Aku muak sama dia.” “Eh, tapi aku ada saran buat kamu. Bagaimana kalau kamu buat dia cemburu terus? Kita lihat bagaimana reaksinya. Menurut kamu bagaimana? Setuju nggak?” “Enggak!” jawab Sein tegas. “Sudahlah, kamu jangan aneh-aneh. Aku punya Kai, By! Kamu mau nyuruh aku selingkuh dari Kai, lalu menciptakan skandal dengan Stefan?! Gila ya kamu!” “Skandal yang manis ‘kan nggak apa-apa, Beb,” Ruby terkikik geli di ujung telepon. “Kamu semakin tidak jelas. Sudahlah, aku tutup teleponnya. Aku mau tidur. Aku mengantuk. Bye!” Sein segera memutuskan panggilan sepihak dengan Ruby. “Dasar Ruby aneh! Menciptakan skandal dengan Stefan? Ih, seperti tidak ada pria lain saja! Aku mana mau sama bekas si Tai itu! Mereka pasti sudah sering bercinta! Dasar Stefan b******k!” gerutu Sein sambil terengah-engah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD