Terima Kasih

1013 Words
"Selamat pagi, Pacar." Tiga kata yang terangkai menjadi kalimat sederhana itu mampu membuat hati Naira bergetar. Dia sudah lama menantikan romansa seperti ini. Sekarang dia bisa membuktikan pada dunia kalau cintanya terbalas. Hati pertama dengan status pacar dari Ardan membuat Naira berpenampilan spesial. Dia tidak ingin mengecewakan sang pujaan hati. Ardan bilang kalau kesempatan mereka untuk sama-sama mungkin tidak akan lama. Setelah selesai S1, Ardan akan langsung melanjutkan S2 di luar negeri. Mereka akan menjalin hubungan jarak jauh nantinya. Naira tidak keberatan dengan itu. Toh mereka masih sama-sama muda. Masih terlalu belia untuk membahas sebuah hubungan yang lebih serius. "Selamat pagi juga, Kak Pacar. Tumben kakak hari ini pakai baju santai, biasanya selalu rapi seperti orang kantoran." Naira memperhatikan setelan pakaian yang digunakan Ardan. Ya, hari ini kekasihnya itu mengenakan jeans panjang dan kaos oblong lengan panjang. Sebuah penampilan yang hampir tidak pernah Naira lihat sebelumnya. "Bersama kamu aku mau mencoba untuk memulai hidup yang bebas, Naira. Aku lelah hidup berada di bawah tekanan keluargaku. Di sisa waktuku di sini, aku mau menikmati kebebasan. Terima kasih karena kamu membuatku sadar kalau hidup itu jangan terlalu lurus, itu membosankan." Kehidupan Ardan selama ini memang begitu monoton. Dia hanya menghabiskan sebagian banyak waktunya untuk belajar. Pemuda itu tidak sebebas anak seusianya. Dia terus saja dituntut untuk menjadi sempurna dalam segala hal hingga membuatnya lelah. Ardan sudah mencoba untuk bisa beradaptasi dengan keluarganya yang memang perfeksionis. Hidupnya dibiarkan diatur oleh mereka layaknya seorang selebriti papan atas. Dia hanya diizinkan bergaul dengan orang-orang pilihan. Tapi kehadiran Naira membuat Ardan sadar kalau dia tidak bisa terus seperti ini. Setidaknya dia ingin sekali saja melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya, bukan tuntutan dari orang lain. "Tujuan keluarga kakak baik. Mereka ingin kehidupan kakak kedepannya cerah. Akan ada banyak kemudahan menunggu setelah kakak terbiasa menjalani kehidupan dengan serius." Mereka sekarang berjalan beriringan. Tangan Ardan menggenggam tangan mungil Naira, membuat gadis itu merasakan hawa hangat dari tubuh Ardan tertransfer. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Naira sekarang. Jantung gadis itu terasa meletup-letup karena terlalu bahagia. "Aku tahu tujuan mereka memang baik, tetapi aku tidak terlalu suka dengan cara mereka yang menekanku terlalu kuat. Aku bisa belajar dengan rajin, mempertahankan nilai dari waktu ke waktu, mempelajari banyak hal yang berguna untuk masa depan. Hanya saja mereka tidak pernah memberiku kesempatan untuk membuktikan, Nay." Ardan mencurahkan apa yang dia rasakan. Naira tidak mengalami itu, tetapi dia paham bagaimana rasanya. Hal yang menimpa Ardan membuat gadis itu bersyukur dengan kehidupannya yang sekarang. Dia memang jauh dari orang tua, lebih banyak waktu dia habiskan bersama asisten rumah tangga, tetapi Naira memiliki kehidupan yang bebas. Naira tidak pernah dituntut untuk memiliki pencapaian apapun. Dia juga tidak diatur untuk berteman dengan siapa. Keluarga Naira tidak seperti keluarga Ardan yang mengikat erat anaknya hingga susah untuk bernapas. "Coba kakak bicarakan sekali lagi dengan mereka tentang apa yang membuat kakak tidak nyaman ini. Aku yakin mereka akan mengerti nanti kalau kakak memberikan pengertian. Kalau memang tidak, setidaknya kakak sudah berusaha. Iya, kan? Ayo senyum." Naira menyemangati. Sebuah garis senyum tercipta di wajah Ardan. Sesuai dengan apa yang dia pikirkan, Naira memang memiliki efek yang luar biasa. Sejak pertama melihat gadis itu bersorak dan meneriakkan namanya, Ardan merasakan dia menjadi lebih hidup. Walau dia harus terus berpura-pura menjadi Ardan yang pendiam dan angkuh. "Nay, terima kasih untuk kesempatan yang sudah kamu berikan buatku. Aku sempat berpikir kalau aku sudah sangat terlambat untuk memperbaiki semuanya. Ternyata kamu masih mau menerima aku yang sudah menyakiti kamu secara tidak sengaja berkali-kali ini." Ardan mengungkapkan apa yang dia rasakan. Dia memang hampir saja terlambat menerima kehadiran Naira secara terang-terangan. Selama ini dia hanya memikirkan gadis itu dalam diam tanpa seorang pun tahu. "Padahal aku sudah bersiap untuk move on. Aku sudah menerima kenyataan dan sadar diri kalau berada di sisi kak Ardan itu sangat mustahil. Bahkan tanda-tanda kak Ardan suka sama aku saja tidak ada. Setidaknya itu yang aku tahu." Gemas. Ardan akhirnya tahu bagaimana perasaan gadis yang memujanya dengan cukup lama itu. Naira bahkan tidak tahu selama ini dia diam-diam memperhatikan gadis itu balik. Hanya teman dekatnya itu yang tahu bagaimana perasaan Ardan yang sebenarnya. "Aku terlalu rapi, kan? Kamu sampai tidak sadar kalau aku diam-diam sering mengikuti kamu ke mana-mana. Itulah kenapa aku bisa menolong kamu saat ada pot dari lantai atas yang jatuh. Kamu tidak tahu saja bagaimana adegan sederhana itu menjadi gosip sampai berhari-hari di kelas. Terpaksa aku harus cuek supaya gosip itu tidak sampai merembes ke telinga keluargaku." "Bagaimana bisa sampai ke telinga keluarga kakak? Apa mereka diam-diam menelusupkan mata-mata di kampus ini?" Secara refleks Naira memperhatikan sekitar. Dia ingin tahu apakah mereka diikuti oleh seseorang yang mencurigakan atau tidak. "Reva. Dia yang selama ini menjadi penghubung antara aku dan keluargaku. Dia sengaja dimasukkan dalam kampus yang sama oleh keluargaku untuk mengawasi segala gerak-gerik yang aku lakukan di sini." Naira yang semula memperhatikan sekitar langsung menatap Ardan dengan tatapan seolah bertanya tentang mereka. "Dia sudah tahu soal aku yang akan mendekatimu secara terang-terangan, Nay. Aku dan dia sempat berdebat, dan aku berhasil memenangkan perdebatan. Aku yakin, dia pasti juga sangat lelah hidup dalam tekanan keluarga terus menerus, tetapi dia malah memilih untuk terus denial." Ardan menerangkan. "Apa aku memberikan efek buruk untuk kak Ardan? Kalau iya, aku minta maaf ya, Kak." Langkah Ardan terhenti dan otomatis Naira juga ikut berhenti. Dengan perlahan Ardan membuat gadis itu menghadap ke arahnya, menatapnya dalam. "Dengarkan aku, Naira. Kamu sama sekali tidak memberikan efek buruk ke aku. Kamu justru membuat aku sadar kalau hidup yang menyenangkan itu ya begini. Aku akan pastikan kalau kamu tidak akan memberikan efek apapun terhadap kehidupanku selama ini selain menjadi lebih bahagia." Ardan memberantaki rambut Naira, lalu dia melanjutkan langkah diikuti Naira yang sekarang sudah kembali berada sejajar di samping lelaki bertubuh semampai itu. Jujur, Naira masih takut pada keluarga Ardan. Bisa saja mereka akan menyalahkan gadis itu saat terjadi sesuatu pada putra mereka. Tapi di sisi lain Naira juga merasa bahagia bisa memiliki kesempatan untuk berada di sisi Ardan walau mungkin tidak akan lama. Mereka akan berpisah dan menunggu takdir. Apa mereka akan dipersatukan pada akhirnya atau justru berpisah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD