"Tuan, saya sudah berhasil mengendus dimana tuan Darian tinggal. Di dunia manusia, dia tinggal bersama seorang gadis yang memiliki aura cukup positif cukup kuat. Mereka berdua tidak selalu bersama. Gadis itu memiliki aktivitas setiap hari keluar rumahnya. Sementara di dalam rumah itu, ada sesuatu yang melindungi Tuan Darian, sehingga kami tidak bisa untuk menemuinya. Satu-satunya jalan, kita harus menculik gadis itu. Dengan begitu, Tuan Darian akan keluar dari dalam sana." Seorang pengawal kerajaan memberitahu apa yang dia lihat pada Aiden. Pangeran rubah itu mengepalkan tangan dan menampilkan ekspresi wajah tak suka.
"Sial! Jadi maksudnya sekarang Darian berada di dalam rumah yang bisa melindungi dia dari serangan dunia kita? Ck! Kalau begini kita akan sulit mengambil tindakan. Kita harus mengatur strategi. Awasi terus pergerakan Darian jangan sampai lolos. Dia kunci kita bisa merebut kerajaan kucing." ucapnya serius.
"Baik Tuan Aiden. Saya akan melaksanakan perintah Tuan sesuai dengan perintah." Pengawal itu segera membungkuk sopan memberi hormat, lalu pergi meninggalkan Aiden.
"Lihatlah, Darian. Bagaimana aku bisa menemukan keberadaanmu dengan mudah. Kamu tidak akan hidup dengan tenang. Aku akan membunuhmu dan membuat tetes darah terakhirmu menjadi saksi dimana kerajaanmu akan menjadi milikku.
---
Ardan dan Naira menikmati waktu kebersamaan mereka. Sepulang dari kampus, Darian mengajak Naira untuk pergi ke sebuah padang rumput. Di sana ada banyak binatang ternak yang mengunyah rumput dengan damai. Dua pasangan sejoli itu tengah membaca buku masing-masing denganp posisi Ardan duduk dengan kaki selonjoran dan Naira yang tidur dengan menjadikan paha Ardan sebagai bantal.
Ardan meletakkan bukunya ke tanah. Dia menatap wajah cantik kekasihnya dengan tatapan penuh sayang. Dia sangat beruntung bisa bersama dengan wanita sebaik Naira. Ardan merasa dia sudah menemukan rumah, dimana dia bisa kembali dan menikmati waktu dengan nyaman.
"Nay, apa aku berpikir kejauhan kalau aku ingin segera menikahi kamu? Seandainya saja peraturan keluargaku tidak ada, aku tidak dituntut untuk balajar dan belajar, mungkin aku sudah membawamu pergi jauh. Kita bisa bersama, tanpa ada seseorang yang mengganggu," ucap Ardan sambil menerawang.
Kelihatan sekali kalau Ardan memang sudah tidak nyaman dengan kehidupannya. Dia ingin lepas dari jeratan keluarga yang terus membuat dia merasa tidak memiliki pilihan hidup sendiri.
"Itu tidak berlebihan sama sekali, Kak. Tapi kita masih sangat muda. Aku belum kepikiran untuk menikah. Bukan karena aku tidak yakin dengan Kak Ardan. Terkadang memang ada satu hal yang memaksa kita untuk bisa memahami kondisi yang sedang kita alami saat ini." Naira meraih tangan Ardan dan mengecup singkat bagian punggungnya.
"Aku terlihat sangat putus asa, ya? Aku sangat lelah Naira. Kehidupanku tidak sama seperti orang pada umumnya." Ardan memainkan rambut Naira uang terurai.
"Sekarang kakak kan udah punya aku, kita juga bisa jalan-jalan seperti ini. Jangan putus asa lagi, Kak. Jadikan aku penyemangat buat kakak. Keluarga kakak seperti itu pasti ada tujuannya. Mereka ingin kehidupan kakak di masa depan akan lebih baik. Tidak ada orang tua yang berniat untuk menjerumuskan anaknya, percaya sama aku."
Naira mencoba untuk menghibur Ardan sebisa mungkin. Dia tidak tahu dengan pasti bagaimana kondisi Ardan saat ini. Dia hanya bisa mencoba untuk memberikan pemuda itu masukan supaya dia bisa menerima keadaan yang memaksa dia untuk terus belajar.
"Iya, aku juga sudah sangat bersyukur bisa bersama kamu. Entah apa yang menjadi akhir dari kisah kita nanti, aku cuma bisa menikmati waktu kita selama kita masih bisa bersama seperti ini. Sekarang ... gimana kalau kita jalan-jalan ke sana?" Ardan menunjuk ke arah tanah lapang tanpa binatang ternak yang berkumpul.
Naira mengangguk setuju. Gadis itu segera bangkit dari posisinya semula dan berdiri disusul oleh Ardan. Lelaki itu langsung menggandeng Naira dan membawa gadis itu berjalan dengan langkah santai.
"Ngomong-ngomong, kita belum memiliki panggilan kesayangan. Bolehkah aku memberimu nama panggilan yang manis?" Ardan membuka suaranya kembalj.
Naira memandangi Ardan dengan soriot mata bahagia. Tanpa menunggu waktu lama.gadis itu langsung mengangguk.
"Boleh saja, Kak."
"Mulai detik ini aku akan memanggil kamu dengan sebutan bunny. Bunny itu kelinci manis. Kenapa aku kasih kamu nama itu, karena kamu selalu melompat-lompat di pikiranku." Ardan mulai mengeluarkan kalimat gombalannya.
Naira tersipu. Pipinya kontan memerah dengan senyum yang tertahan, sangat imut, dan Ardan menyukainya.
"Kak Ardan bisa saja. Aku suka dengan panggilan yang kakak berikan. Kebetulan aku juga sangat menyukai kelinci."
"Serius kamu suka kelinci? Wah, bisa kebenaran begitu, ya? Kalau begitu, nanti aku akan membelikan kamu sepasang kelinci biar bisa kamu pelihara. Terus setiap melihat kelinci itu kamu akan mengingat aku."
"Jangan, Kak. Kelinci itu lumayan mahal. Aku tidak mau kakak boros. Nanti aku beli sendiri saja kelincinya. Walau bukan kakak yang beku, aku akan tetap mengingat kakak setiap lihat kelinci itu."
Ardan menarik pinggang Naira dengan gerakan cepat, membuat mereka sekarang berubah posisi menjadi berhadapan. Ardan merapikan anak rambut Naira yang sedikit berantakan diterpa angin. Memandangi wajah kekasihnya dengan seksama.
"Mulai sekarang tolong kamu biasakan untuk menerima apapun yang aku mau kasih ke kamu. Jangan pikirkan soal uang. Aku punya banyak tabungan, Naira. Membelikan di kelinci saja tidak akan membuat aku miskin." Ardan tertawa renyah, Naira juga ikut tertawa.
"Aku hampir lupa kalau kak Ardan itu memiliki keluarga sultan. Cuma beli dua kelinci saja pasti akan seperti meniup debu bagi kakak. Terima kasih banyak, Kak." Naura merangkul lengan Ardan, mengikuti kemana langkah kaki mereka berjalan.
Pepohonan yang ditanam meski sedikit jarang membuat sejuk tempat itu. Tidak salah kalau binatang yang berada di sana gemuk berisi. Rumput di sana sangat lebat, sehingga memungkinkan para sapi untuk makan sepuasnya.
"Uangku kalau tidak untuk menyenangkan kamu, untuk apa? Waktuku sama-sama sama kamu di kampus cuma tinggal berapa bulan lagi, Naira. Aku harus memanfaatkan waktu dengan baik. Kita harus membuat lebih banyak kenangan lagi. Bilang padaku kalau kamu ingin pergi kemana atau ingin membeli apa. Jangan sungkan."
Ardan mengacak-acak rambut Naira. Gadis itu justru menundukkan kepalanya. Mengingat waktu kebersamaan mereka yang tidak lama lagi berakhir membuatnya menjadi sedih. Dia sudah lama mrnantikan akan kebersamaan seperti ini bersama Ardan. Rasanya itu menyakitkan.
Bagaimana nanti Naira bisa menikmati kesendirian? Kalau bisa memohon, Naira ingin memanjangkan waktu sebentar lagi untuk bisa bersama Dengan Ardan.
"Kenapa? Kamu sedih? Tenang, Sayang ... kita masih punya cukup waktu untuk bersama. Ayo kita nikmati waktu kebersamaan kita."
Perlahan senyum Naira kembali lagi.
"Ayo, Kak. Aku mau "