Savannah [10]

1197 Words
Setelah beberapa hari Bian terus rutin mengirimkan sesuatu ke butik Sava, hatinya menjadi menduga-duga apa yang membuat gerangan begitu intense datang menemui Sava hanya untuk memberikanya kopi? Mungkin Sava sudah tahu jawabannya namun ia tidak mau membiarkan kalau hatinya mulai mengharapkan sesuatu dari orang lain. Hal ini juga ia sampaikan pada Risa, pada malam hari menjelang tidur Sava mengobrol dengan Risa yang sudah menghabiskan waktu selama hampir satu jam. "Kau sudah tahu jawabannya," "Tapi aku tidak mau terlalu kepedean?" "Aku rasa sih Bian punya perasaan dengan mu. Tinggal tunggu waktunya aja dia mengungkapkan perasaannya." Sava tidak merespon. "Kau masih ingat kan apa yang pernah aku katakan?" tanya Risa. "Iya." Tentang membuka hati untuk orang lain. "Sekarang saatnya." "Hei, kita belum tahu kebenarannya. Jangan langsung menyimpulkan." "Kalau itu sampai terjadi, jangan menyia-nyiakan kesempatan." Sava menghembuskan napasnya berat. "Aku tahu ini tidak mudah, tapi minimal coba untuk berdekatan dengan pria lain, kenali pribadi nya kalau cocok bisa dilanjutkan dengan pembicaraan yang serius. Kalau tidak cocok, yah setidaknya kamu cukup tahu dengan orang itu." "Yah, kau ada benarnya juga." "Jangan lupa, nanti temani lusa temani aku untuk test food. Kau harus punya pengalaman untuk ngurusin hal-hal menjelang pernikahan, siapa tau tahun depan kau menikah." Sava tertawa sumbang. "Entahlah." Setelah itu Sava mematikan sambungan teleponnya dan menatap langit-langit kamarnya. Apa yang dikatakan Risa mungkin ada benarnya juga, selama ini ia begitu menutup diri takut hal buruk menimpa nya lagi, sekarang ia rasa sudah cukup dewasa memahami apa arti cinta itu. *** Hari pekan akhirnya tiba, tiba pula lah saat dimana Sava menghabiskan waktunya sendiri menelusuri toko buku dan memborong sejumlah buku yang akan dijadikannya stok untuk bahan bacaannya selama beberapa bulan ke depan. Biasanya, Sava bisa menghabiskan berjam-jam sendirian hanya untuk memfilter bahan bacaan yang akan ia baca dan selain buku ia juga menyukai stationary yang lucu mulai dari notebook sampai buku sketsa untuk keperluannya menggambar sketsa rancangan gaun untuk butiknya.  Setelah ada kejadian yang cukup menyita waktu nya, akhirnya saat-saat seperti ini lah yang membuat Sava menikmati waktunya. Ada seseorang yang menepuk bahu nya, Sava menoleh dan mendapati Bian sedang berdiri di depan nya menyunggingkan senyum. "Hai, kamu sendiri?" tanya Sava menyapa Bian. "Iya, ada yang mau aku beli, kamu sendiri juga?" "Iya." "Belanjaan kamu banyak juga ya?" Bian melihat tas belanja Sava yang sudah dipenuhi dengan beberapa n****+ dewasa, terjemahan bahkan ada beberapa notebook yang berbagai macam. Sava menyengir, "Yah bisa dibilang ini semacam belanja bulanan lah." "Belanja bulanannya buku?" Kali ini Sava tertawa, "Yah, hobi sih jadi nyetok bahan bacaan juga, by the way kamu mau nyari apa di sini?" "Bukan nyetok bahan makanan tapi bahan bacaan ya?" Bian melebarkan senyum nya. "Kalau itu bagian nya Ibu ku." Jawabnya santai. "Oh ya, tadi lupa jawab pertanyaan mu. Aku habis nyari buku ini." Bian memperlihatkan sebuah buku bisnis tebal berbahasa inggris kepada Sava. "Buat kamu?" Bian mengangguk. "Habis ini, kamu ada acara lain lagi?" "Enggak ada sih," "Mau makan bareng sama aku?" Bian memandang Sava dengan ragu. "Kalau kamu enggak keberatan, tentunya." Sambungnya. Sava tidak langsung menjawab, ia mengulum senyumnya sembari melihat air muka Bian. "Mau kok, aku juga sebernya agak sedikit laper." Sava melihat jam yang ada di pergelangan tangan kiri nya. "Emang udah lewat jam makan siang, kamu pasti terlalu betah keliling toko buku sampe lupa waktu." Sava tertawa, "Ya begitulah kadang kalau sudah berada di toko buku bisa asik sendiri." Akhirnya, Sava dan Bian berjalan menuju salah satu restaurant yang letaknya didalam mall, karena untuk mempersingkat waktu mereka langsung memesan makanan dan untungnya karena sudah lewat jam makan siang, restaurant saat itu tidaklah terlalu ramai, Sava dan Bian terlihat semakin akrab sembari sesekali tertawa karena mendengar cerita dari keduanya. Hingga tiba saatnya Bian kembali menawarkan Sava untuk mengantarnya pulang. Sava memang tidak terlalu sering membawa kendaraan sendiri, ia lebih nyaman memesan taksi online untuk mengantarkannya kemana-mana. Kali ini Sava menyambut ajakan Bian tanpa berpikir. Setelah mereka sampai di depan rumah Sava, Bian memberanikan diir meminta nomor Sava agar bisa menghubunginya, Sava pun tidak keberatan. Setelah bertukar nomor ponsel, ia keluar dari mobil mengucapkan terima kasih banyak kepada Bian karena sudah dua kali diantar nya ke rumah. "Anytime. Sampai bertemu lagi ya, Sava." Setelah itu, Bian melajukan mobilnya meninggalkan Sava yang masih memerhatikan mobil Bian menghilang berbelok di ujung jalan.  *** Sava menemani Risa untuk melakukan kunjungan test food pada salah satu cathering untuk acara pernikahannya yang sudah sebentar lagi, belakangan ini dia super duper sibuk dan agak senewen karena selain dari waktunya yang memang mepet, Dafa calon suaminya malah sedang sibuk-sibuknya bekerja. "Harus saling mendukung lah, Dafa kan kerja buat kamu juga." Sava sudah mengingatkan sahabatnya itu berulang kali. "Iya tapi acara ini juga gak kalah penting lho, masa aku harus memutuskan sendiri. Yang nikah emang siapa?"gerutu Risa untuk kesekian kali. Baru kali ini Sava melihat sahabatnya menjadi seperti ini. "Kan ada Wedding Organizer, dan ada aku juga yang siap membantu mu, Ris. Anggap aja Dafa memberikan mu keleluasaan untuk mengantur pernikahan impian mu. Selama ini Dafa oke aja kan dengan pilihan mu?" Risa tidak mengelak lagi tapi dalam hati membenarkan juga. "Jangan pakai emosi ya, yang aku tahu tekanan calon pengantin itu memang besar. Kasih pengertian aja sama Dafa, nanti dia juga begitu." "Iya Ibu Sava." Acara mereka hari itu berjalan lancar, setelah itu mereka berdua berencana ingin mampir ke mall untuk menonton film, karena ada film yang sedang ingin Risa dan Sava tonton, adalah kisah sepasang suami istri yang sudah menikah namun bercerai lalu menikah lagi. Diperjalanan pulang, Risa memperhatikan Sava yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya tampak sedang berkirim pesan. "Lagi chattingan sama siapa sih serius amat?"  Risa juga melihat sesekali Sava menyinggingkan senyumnya, meskipun hanya sekilas tapi tidak luput dari pandangan Risa yang mempunyai mata yang jeli. "Sama Bian." "What the— udah tukeran nomor? Kok gak bilang sih?" "Udah, kemarin gak sengaja ketemu sama Bian di toko buku, jadi kita sempetin makan siang bareng dan dia nganterin pulang lagi." Sava meringkas ceritanya. "Hmm, berarti ada yang sudah membuka hati?" "Membuka hati apanya, kan cuma tukeran nomor aja." "Tapi chattingan aja sampe senyum-senyum begitu." Lanjut Risa. Sava terdiam lalu berpura-pura membenarkan rambutnya. "Its ok, itu awal yang bagus kok. Aku turut senang melihatnya setidaknya saran ku di dengarkan." Ujar Risa menyunggingkan senyumannya tulus. "Terima kasih, Ris." "Untuk?" "Karena sudah selalu ada." Risa mengenggam tangan Sava, "Aku menganggap mu lebih dari sekadar sahabat, tapi kita adalah saudara." Tibalah mereka didepan rumah Sava, Risa memarkirkan mobil di depan rumah dan ikut masuk ke dalam karena memang berniat untuk menyapa kedua orangtua Sava. Mereka masih tertawa karena sedang membicarakan sesuatu yang serius sambil meledek Sava. Ketika ia membuka pintu, dirinya mematung yang menyebabkan Risa bertanya. "Ada apa sih kok diem di depan pintu, ga bagus." Ujar Risa, namun Sava masih bergeming di tempatnya menatap heran sesosok yang sedang duduk di sofa ruang tamu nya. "Kamu sedang apa disini?" tanya Sava. "Kamu sudah pulang? Kebetulan aku memang mau ketemu kamu sekalian ada pesenan kue untuk Tante Hana dari Mama ku." Baik Sava maupun Risa diam mematung. Tak lama muncul Hana sambil membawa nampan berisi gelas dan beberapa macam kue. "Kamu sudah pulang? Oh iya, Sava pasti kamu udah kenal kan siapa tamu kita, Tristan." Ujar Hana. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD