Debat satu

284 Words
Bagi siapapun berjalan dengan pikiran kosong adalah suatu kecerobohan. Dan Mia kini benar-benar melakukannya. “Dhita? Kamu Miandhitakan?” ujar dokter muda tersebut Seketika Mia langsung disadarkan oleh sebuah pertanyaan tersebut. Mata Mia kini berpusat penuh kepada dokter tersebut. “Nisha?” yah semenjak tadi Mia hanya dapat menatap ke arah bawah. “Ya ampun Mia, aku kangen banget sama kamu, kamu apa kabar?,” ujarnya dengan berlari ke arah Mia. “Udah lama banget kita tidak berjumpa, sumpah sekarang kamu benar-benar berubah sampai aku tidak dapat mengenalnya jika kamu tidak pakai gelang itu mungkin aku tidak tahu jika itu kamu, Dhita,” ungkapnya dengan panjang lebar. Rasa perih di dalam lubuk hati, saat kalimat tanya mengenai keadaan dirinya. Pikirannya langsung menuju kepada orang tuanya yang tengah berbaring lemah di bangkar rumah sakit. Tak bisa ditahan lagi di dalam pelukan Nisha, Mia menangis dengan tubuhnya yang bergetar. “Hey, Dhita. Kamu kenapa sayang? Cerita-cerita sini cerita, kali saja … aku bisa membantunya.” Nisha sedikit merenggangkan pelukannya dengan posisi yang masih memeluk Mia sambil mengusap punggung Mia, agar dapat memberikan sedikit ruang untuk Mia. Dengan pertanyaan seperti itu membuat Mia semakin nangis kejer didalam pelukan Nisha. Jelas hal itu membuat dokter Nisha menjadi bingung. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Tiba-tiba ada tangan yang gagah mendorong keras tubuh Nisha hingga hampir mengenai tembok. Hal itu justru membuat mata Mia terbelalak. “Mas! Apa yang kamu lakuin,” ujar Mia serikit mebentak melihat sahabatnya yang diperlakukan seperti itu. Untuk pertama kalinya Mia melakukan kesalahan besar yaitu dengan menaikan satu oktaf nada bicaranya. Dan sudah jelas Fero kini memberikan tatapan intimidasinya, suami mana yang tidak akan marah jika sang istri berujar dengan nada yang seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD