Menolak batin

1074 Words
Menengadah kedua tangan di atas berharap sang penguasa mendengarkan keluh kesahnya saat ini. Lagi dan lagi cairan bening menetes melewati pipi, jika ditampung mungkin akan langsung penuh hanya dengan sekitaran lima menit. Mia kini tengah berserah diri kepada Tuhannya, mengharapkan jalan terbaik untuk ia dapat menyelesaikan masalahnya. Uraian cairan bening menetes melewati pipi, air mata itu semakin deras begitu saja. Semua memori kenangan bersama orang tuanya berputar dalam ingatannya. Mia yang selalu manja kepada Bundanya. Bergelayut manja ketika meminta sesuatu agar keinginan dapat dengan mudah seger terpenuhi. Namun kemanjaan itu harus berhenti karena perubahan akan keputusan yang ia ambil itu, dimana Mia mulai membuang semua pakaiannya dan mulai mengganti dengan yang baru. Dan hampir semuanya diisi dengan setelan gamis, beserta lengkap dengan jilbab lebarnya tak lupa juga dengan niqab dan kaos kaki yang masih terhitung aurat bagi kaum hawa. Cukup jauh dari keberadaan Mia saat ini, sosok laki-laki idaman kaum hawa menatap intens diri Mia tanpa kedip sama sekali. Hatinya tersentuh melihat sang istri sedang bermunajat dengan Rabbnya. Sudah sangat lama dirinya tidak pernah sholat sama sekali. Bisa diperkirakan terakhir sholat saat dirinya masih sekolah dasar dan hal itu pun ia lakukan karena dipaksa oleh Mamahnya. Biadap! Ya memang seperti itulah sosok Feroka Mahardika yang sangat terkenal akan ke playboyaannya yang suka mainin wanita, maka jelas sudah dirinya memang sangat jauh dari agama. Se'playboy-playboy seorang laki-laki maka ia akan vakum setelah menemukan wanitanya yang tepat. Dan Fero hingga saat ini sedang mencari wanitanya, yang kini keberadaannya masih dipertanyakan. Takdir kadang memang sangat menipu, ada kalanya orang yang kita cari ternyata ada disekitar kita, hanya saja kita belum menyadari atau bahkan tidak mau menyadari. Begitu juga dengan hati, kapan kita akan membenci dan berubah menjadi mencintai semuanya punya tolak ukur masing-masing yang masih saja kita belum sadar akan hal tersebut. Lalu apakah kita akan menyalahkan kehendak, jelas itu hal yang sia-sia! Kita hadir hanya untuk memerankan skenario yang telah dibuat oleh-Nya. Diakhir kalimat yang di ungkapkannya Mia menghapus semua bekas air mata yang mengalir melewati pipi mulusnya. Dengan tarikan nafas beratnya, Mia berusaha menerima semua takdir yang menerpanya saat ini. Menjadi anak sebatang kara bukanlah keinginannya tapi Tuhannya sudah mencatat takdirnya. ⏺️⏺️⏺️⏺️⏺️ Ada penjelasan dalam ilmu tauhid, yaitu dimana mengenai takdir yang memberitahukan. takdir adalah istilah yang merujuk pada qadla’ atau keputusan Allah yang telah tertulis di lauh mahfudz sejak sebelum dunia tercipta. Allah menyinggung hal ini dalam banyak ayat, misalnya: مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ "Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah" (QS. Al-Hadid: 22). لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَلَا أَصْغَرُ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرُ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ “Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sekalipun seberat zarrah baik yang di langit maupun yang di bumi, yang lebih kecil dari itu atau yang lebih besar, semuanya (tertulis) dalam Kitab yang jelas (lauh mahfuzh),” (QS. Saba’: 3). Kalau demikian, maka bisakah manusia mengubah takdir dengan usahanya sendiri? Jawaban pertanyaan ini sebenarnya tak ada, tak bisa dijawab dengan ya atau tidak, sebab pertanyaan ini bermasalah. Pertanyaan ini muncul dari asumsi seolah ada usaha atau tindakan di dunia ini yang tak tercatat sebagai takdir di lauh mahfudz sehingga hendak dipertentangkan dengan catatan di lauh mahfudz. Seolah-olah penanya ingin membenturkan antara usaha manusia di satu pihak dengan takdir di pihak lain. Padahal kejadiannya tidaklah demikian. Usaha manusia, baik itu berupa tindakan, pilihan rasional, atau doa yang dipanjatkan, semuanya adalah kejadian yang tertulis di lauh mahfudz sebagaimana disinggung dalam ayat di atas. Sama sekali tak ada kejadian apa pun yang tak terekam di sana. Jadi, ketika seorang manusia dengan pilihan sadarnya berusaha keras agar kemiskinannya berubah menjadi kekayaan dan itu berhasil dilakukannya, sebenarnya dia tidak mengubah sedikitpun takdirnya. Takdirnya bukanlah miskin kemudian dilawan hingga berubah menjadi kaya, namun takdirnya adalah miskin lalu berusaha keras lalu kaya. Dengan demikian tak relevan sama sekali menanyakan apakah usaha dapat mengubah takdir sebab usaha itu sendiri adalah juga bagian dari takdir. Kesalahpahaman sehingga muncul asumsi seolah usaha dapat melawan takdir biasanya juga muncul dari pemahaman yang tidak tepat terhadap ayat ar-Ra’d: 11 berikut: إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11) Banyak yang menyangka bahwa kata “keadaan” di ayat tersebut sebagai takdir yang telah digariskan di lauhul mahfudz. Dengan makna demikian seolah takdir Allah ditentukan oleh manusia itu sendiri. Anggapan ini tidak tepat sebab takdir telah ditulis sejak sebelum alam semesta tercipta, seperti dibahas di atas. Kata “keadaan” dalam ayat itu sebenarnya adalah kondisi mendapat nikmat dari Allah. Maksudnya, suatu kaum pada asalnya akan selalu mendapat nikmat dari Allah dan ini akan terjadi terus hingga kemudian kaum itu sendiri yang mengubah keadaan ini dengan maksiat yang mereka lakukan. Bila mereka telah bermaksiat, maka nikmat akan diubah menjadi musibah. Demikian juga ketika maksiat telah berhenti, maka musibah akan kembali diubah menjadi nikmat. Syaikh Ibnu Katsir dalam tafsirnya menukil riwayat Abi Hatim yang isinya: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ: أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ: إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ قَرْيَةٍ وَلَا أَهْلِ بَيْتٍ يَكُونُونَ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ فَيَتَحَوَّلُونَ مِنْهَا إِلَى مَعْصِيَةِ اللَّهِ، إِلَّا تَحَوَّلَ لَهُمْ مِمَّا يُحِبُّونَ إِلَى مَا يَكْرَهُونَ “Allah berfirman kepada seorang Nabi dari para nabi Bani Israil: Katakan pada kaummu, sesungguhnya tidak ada satu pun penduduk desa dan penghuni rumah yang taat kemudian mengubahnya menjadi maksiat pada Allah, kecuali keadaan yang mereka sukai akan berubah menjadi keadaan yang tak mereka sukai.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, vol. IV, hlm. 440) Ayat ar-Ra’d: 11 di atas selaras dengan firman Allah di ayat lain berikut ini: ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui,” (QS. Al-Anfal: 53). Dengan demikian semua ayat di atas maknanya selaras dan tak bertentangan satu sama lain. Intinya, usaha tak bisa dipertentangkan dengan takdir sebab usaha itu sendiri, baik usaha positif atau usaha negatif, adalah juga bagian dari takdir. Wallahu a’lam
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD