Ketika jam kerja selesai, Emily dan Lukman melakukan apa yang mereka rencanakan. Keduanya pulang bersama dan menuju cafe langganan mereka. Emily duduk berhadapan dengan wajah sama-sama serius. Emily dan Lukman tidak mampu membohongi diri sendiri bahwa hari ini fokus keduanya cukup sulit diraih karena ulah Wisnu.
"Apa yang Mas bicarain sama Pak Wisnu tadi?" Emily memulai percakapan mereka dengan mengajukan pertanyaan yang sudah ia ingin tanyakan semenjak keduanya selesai bertemu tadi.
Lukman menghela nafas panjang dan mengusap wajahnya dengan gerakan frustrasi, "Atasan kamu itu terang-terangan bilang kalau dia mau mendekati kamu padahal aku sudah memperingatkannya agar menjauhi kamu karena kita sudah kembali bersama. Jelas aku punya hak melarang dia mendekati kamu. Tapi sialnya dia malah bilang kalau dia tau tentang kita dan dia melihat kesempatan selama kita belum menikah."
"Orang gila!"
"Aku sangat kesal karena dia dengan penuh percaya diri mendeklarasikan bahwa ia akan mendekati kamu karena dia tau kondisi hubungan kita."
"Aku pun sudah berkali-kali mengatakan sama Pak Wisnu supaya tidak ikut campur urusan kita, Mas. Aku bahkan mengancamnya untuk menjadikannya musuh tapi sialnya aku tidak bisa benar-benar memusuhinya karena bagaimana pun dia atasanku di kantor. Aku bukan Keyra atau Mila yang bisa terang-terangan memusuhi seseorang."
Lukman memijit pelipis kepalanya. Kepalanya mendadak berdenyut sakit. Restu yang belum ia dapatkan, kedatangan tiba-tiba pria yang dulu meninggalkan dirinya, ibunya dan adiknya secara tiba-tiba dan kini kehadiran Wisnu yang berpotensi merusak hubungannya dengan Emily.
"Mas..."
Lukman menatap Emily dan tersenyum sambil mengenggam erat tangan Emily, "Kalau pria itu mendekati kamu lagi, tolong info Mas ya, Em. Mas akan usahakan keluarga kita memberi restu pada kita secepatnya agar pria itu tidak bisa mendekati apa lagi menganggu kamu."
Emily mendengarkan ucapan Lukman dan spontan tersenyum sambil mengangguk. Emily hanya mencintai Lukman dan dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah. Ia hanya takut kalau Lukman kembali menyerah tapi sejauh ini yang Emily lihat adalah Lukman yang berusaha keras untuk memenuhi janjinya untuk terus berusaha. Emily tidak putus-putusnya berdoa. Emily meminta Allah melunakkan hati kedua keluarga agar mereka mau memberikan restu pada mereka agar mereka bisa menuju jenjang pernikahan dengan segera.
***
Lukman mengantarkan Emily sampai di lobby apartemen wanita itu. Emily melambaikan tangannya pada Lukman yang sudah berlalu dengan mobilnya meninggalkan gedung apartemen tempatnya tinggal. Emily berjalan masuk ke dalam lobby hendak menuju lift ketika namanya dipanggil oleh suara Kafka.
Emily menoleh mencari sumber suara dan menemukan Kafka berjalan dari arah pintu lobby dengan pakaian kerjanya. Emily pun tersenyum formalitas.
"Baru pulang, Em?" Kafka bertanya sambil mempercepat langkahnya mendekati Emily.
Emily mengangguk lalu memencet tombol lift. Emily fokus menatap layar yang menunjukkan dimana lift berada. Emily sengaja melakukannya karena ia tidak ingin banyak berbincang dengan Kafka. Emily sadar ia pun harus menarik garis tegas dengan pria itu. Ia tidak mungkin menerima perasaan pria itu dan lebih baik kalau ia membuat garis tegas karena Kafka pun cukup keras kepala.
"Sudah makan malam?" Kafka kembali bertanya.
Emily menoleh sesaat ke arah Kafka dan mengangguk, "Sudah."
Kafka tersenyum dan mengangguk memperhatikan Emily yang fokus melihat posisi lift dan ketika lift terbuka Emily pun masuk ke dalam lift dan Kafka mengikuti wanita itu. Lift tertutup dan Emily hanya diam. Keheningan tercipta di dalam lift namun Kafka tidak mau melewatkan kesempatan. Pria itu pun menatap Emily lalu bertanya pada wanita itu untuk memecah keheningan.
"Besok sore kamu ada waktu? Aku mau ajak kamu keluar..."
Emily pun menoleh menatap Kafka, "Kaf, sorry gue enggak bisa pergi sama elo. Gue juga enggak bisa menerima perasaan elo. Jadi jangan bersikap seperti ini lagi. Gue takut Mas Lukman salah paham kalau gue terima ajakan elo."
Selesai mengucapkan kalimat itu pintu lift terbuka dan Emily keluar meninggalkan Kafka di dalam lift. Pria itu memandangi punggung Emily yang perlahan menjauh lalu menghilang ketika lift tertutup kembali. Kafka tertawa miris.
"Ternyata kalian benar-benar sudah bersama. Sudah tidak ada harapan rupanya..."
***
Lukman pulang ke apartemennya dan saat ia baru sampai ke unit apartemennya, pihak keamanan menghubunginya melalui interkom yang ada di unitnya bahwa ada seseorang sudah menunggunya di lobby. Lukman mengerutkan alisnya dan kembali turun dengan pakaian kerjanya. Tubuh Lukman menegang melihat siapa yang menunggunya.
Handi Kurniawan.
Lukman kembali memutar tubuhnya dan memencet tombol lift. Lukman tidak ingin bertemu dengan pria itu dengan kondisi hatinya yang masih kacau. Hari ini kondisi Lukman tidak baik dan bertemu dengan pria yang sudah meninggalkannya dan keluarganya jelas membuat hatinya semakin buruk.
"Lukman... Tunggu, Nak. Tolong dengarkan bapak dulu..."
Tubuh Lukman menegang. Emosinya melenggak naik mendengar ucapan pria itu yang meyebut dirinya sendiri bapak. Lukman tidak memiliki seorang bapak karena selama ini ia hanya memiliki Ibunya. Ibu Lasmini.
Pria paruh baya itu kini sudah berdiri disebelah Lukman. Lukman pun menoleh menatap pria disampingnya dengan tatapan dingin. "Untuk apa anda mendatangi saya? Apa yang ada inginkan?"
Lukman yakin Handi Kurniawan menginginkan sesuatu karena pria itu mendatanginya padahal selama ini pria itu tidak pernah mendatanginya apa lagi keluarganya. Kini Lukman sadar bahwa pria paruh baya itu tau tentang dirinya namun tidak sekali pun pria paruh baya itu mendatanginya atau keluarganya. Hal ini membuat emosi Lukman semakin membakar pria itu.
"Tolong Bapak, Nak. Bapak butuh bantuan kamu. Bapak mengalami gagal ginjal dan membutuhkan donor ginjal."
Lukman terdiam sesaat. Ingatannya melayang teringat akan cerita Laura. Ibunya histeris karena pria itu ternyata alasan kedatangannya karena pria ini membutuhkan donor ginjal. Lukman dan Laura adalah anak-anak Handi yang jelas memiliki potensi memiliki kecocokan ginjal dan bisa menjadi pendonor untuk pria paruh baya itu. Tanpa sadar Lukman tertawa sinis lalu memandang pria paruh baya itu dengan tatapan kasihan.
"Anda mendatangi saya untuk melakukan donor ginjal untuk anda setelah apa yang anda lakukan selama ini? Anda pikir saya atau Laura akan mau memberikan ginjal kami untuk anda?"
Bapak Handi menunduk, "Bapak minta maaf, Man. Bapak tau kalau Bapak salah. Bapak terlalu pengecut dan tidak bisa mempertahankan keluarga kita."
Dalam posisi tangan yang bersedekap, Lukman tanpa sadar mencengkram lengannya sendiri. "Anda tau? Efek dari perbuatan anda kini saya rasakan. Ibu trauma dan saya dan Laura menjadi korban. Kubur dalam-dalam harapan saya atau Laura akan menjadi pendonor karena sampai kapan pun kami tidak akan melakukan hal itu."
Setelah mengucapkan hal itu Lukman memencet tombol lift dan kembali naik ke unit apartemennya. Lukman menyugar rambutnya dengan kedua tangannya dengan frustrasi. Pria itu memiliki anak-anak lain dari istrinya yang lain, kenapa harus mendatangi keluarganya? Lukman bersumpah ia tidak mau berurusan dengan pria itu karena apa yang sudah pria itu lakukan jelas bukan hal yang mudah dimaafkan.
***
Ditempat lain Wisnu kembali bertemu dengan Azka. Wisnu kembali mengajak Azka bertemu di club. Wisnu langsung menuju club tepat jam delapan malam ketika ia sudah selesai dengan seluruh pekerjaannya. Wisnu menunggu Azka sambil menyesap minuman beralkohol yang beberapa waktu belakangan ini menjadi teman baiknya lagi setelah sekian lama ia mulai tinggalkan.
"Gue ngerasa elo kayak balik ke waktu Nadira baru-baru ninggalin elo, Nu."
Wisnu menoleh dan tersenyum tipis mendengar ucapan Azka. Pria itu baru datang dan duduk disebelah Wisnu sambil memesan satu gelas minuman pada bartender.
"Gue bener-bener enggak ketolong. Rasa penasaran gue bener-bener bikin gue enggak bisa lepas dari cewek itu."
"Kita lagi bahas cewek yang bikin elo penasaran itu?"
Wisnu mengangguk sambil menatap lurus kedepan dengan tatapan menerawang.
"Elo suka sama cewek itu?"
Wisnu menoleh ke arah Azka dan menatap ragu pria disebelahnya, "Gue yakin gue cuma penasaran."
"Tapi rasa penasaran elo ini enggak wajar. Lo suka sama cewek itu?" Azka kembali mencecar Wisnu.
Wisnu menghela nafas panjang, "Gue cuma khawatir liat dia, Ka. Hubungan cewek itu sama pacarnya enggak ada harapan. Gue cuma takut dia patah hati karena gue pernah denger pengakuan cewek itu kalau dia takut keulang lagi dan nada bicaranya waktu itu sukses bikin gue ngerasain sakit yang dia rasain."
Azka menenggak minumannya dalam sekali tenggak. Azka menatap miris Wisnu, "Elo suka sama cewek itu. Elo jatuh cinta. Lo tinggal akuin itu, Nu."
Wisnu menggelengkan kepalanya cepat, "No, gue yakin cinta gue punya Nadira dan sampe saat ini gue masih cinta sama Nadira biar dia udah enggak ada di dunia ini cuma cewek itu bikin gue enggak mampu menahan diri buat ikut campur karena firasat gue, ketakutannya akan jadi nyata."
Azka menggaruk tengkuknya padahal tidak terasa gatal. Azka bingung sendiri dengan pria yang ada di sebelahnya dan sebuah ide terlintas dalam benak Azka, "Gue enggak yakin kalo elo enggak ada perasaan apa-apa sama cewek itu. Gue udah kenal lo lama dan gue rasa elo cuma takut mengakui perasaan lo. Cinta lo buat Nadira udah selesai dan cewek itu bikin lo ngerasain cinta yang baru. Sekarang lo bisa test dengan deketin cewek itu. Kalau perasaan lo tetep biasa aja, berarti elo cuma iseng penasaran tapi kalo elo semakin serakah pengen terus deket sama cewek itu, berarti fix elo jatuh cinta sama cewek itu."
Wisnu merotasi bola matanya mendengar ucapan Azka.
Azka terkekeh, "Lo bukan pemain baru, Nu. Lo kan tau kalau cowok udah suka sama satu cewek dia akan posesif dan serakah. Enggak ada cowok yang suka berbagi apa lagi soal cewek. Jadi lo pinter-pinter aja baca hati lo sendiri. Kebanyakan nyangkal perasaan lo sendiri bisa bikin lo repot sendiri, Nu."
Azka menepuk bahu Wisnu lalu meninggalkan Wisnu ke arah lain dimana rekannya berada. Wisnu memandangi kepergian Azka sesaat sebelum kembali menatap gelas yang ada dalam genggamannya. Apa mungkin selama ini dirinya sudah banyak menyangkal perasaannya sendiri? Wisnu yakin ia tidak sampai jatuh cinta pada Emily. Ia hanya tertarik pada wanita itu karena rasa penasarannya tapi bagaimana kalau yang Azka ucapkan benar?
***
Keesokan harinya Emily berangkat sendiri ke kantor karena mendadak Lukman memberi kabar bahwa ia harus pulang ke Jogja untuk bertemu dengan keluarganya. Emily sudah menanyakan mengenai tujuan Lukman pulang namun pria itu masih belum membalas pesannya. Emily memilih bersiap dengan pakaian kerjanya dan hendak memesan taksi online namun sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya. Nama Wisnu tertera disana dan Emily pun memilih mengabaikan panggilan pria itu. Jam belum menunjukkan jam kerja jadi ia masih memiliki hak untuk tidak mengangkat panggilan dari atasannya itu.
Ketika pesan masuk ke ponselnya dari pria itu pun, Emily tetap mengabaikannya dan tidak membacanya sama sekali. Emily memilih fokus memesan taksi online dan turun menuju lobby apartemennya karena ia sudah mendapatkan taksi online yang akan mengantarkannya hingga kantor Algantara.
Emily turun dan ketika keluar dari lobby matanya membulat sempurna ketika mobil Wisnu yang ia hapal betul sudah berada dihadapannya.
"Pagi, Ly... Saya kontek kamu tapi kamu tidak angkat panggilan saya. Saya datang buat jemput kamu.."
Emily menghela nafas panjang dan menatap jengah Wisnu, "Kalau saya tidak angkat panggilan Bapak seharusnya bapak mengerti kalau saya tidak ingin berkomunikasi dengan bapak."
Wisnu terkekeh melihat reaksi Emily, "Pagi-pagi jangan cemberut dong. Nanti cantiknya hilang..."
Emily merotasi bola matanya dan ketika pendengarannya menangkap bunyi klakson dengan cepat Emily mencari sumber suara dan ketika menyadari mobil yang ia tunggu sudah tiba, Emily pun dengan cepat mendatangi mobil itu dan Wisnu dengan cepat keluar dari dalam mobilnya menghalangi niat Emily.
"Ly, kan sudah saya bilang kalau saya mau jemput kamu." Wisnu menahan tangan Emily yang hendak membuka pintu.
"Lepas. Saya mau berangkat nanti saya telat lagian kasihan bapaknya nungguin begini," ucap Emily dengan nada dingin.
"Ly, bareng saya pleaseee..." Wisnu memasang wajah memohon pada Emily yang sudah menatapnya dengan ekspresi datar.
Setelah percakapan itu sang supir taksi online langsung membuka kaca jendela dan bertanya pada keduanya. Wisnu dengan cepat menatap sang supir, "Maaf, Pak. Saya cancel tapi tetep saya bayar ya. Pacar saya marah karena saya sibuk kerja. Tolong saya ya, pak..."
Emily membulatkan matanya mendengar ucapan ngawur bin ngaco Wisnu. "Bohong, Pak. Jangan percaya. Dia bukan pacar saya."
"Pak, tolong ya." Wisnu dengan cepat mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu dari dompetnya sambil menahan pintu dengan tubuhnya agar Emily tidak bisa membuka pintu itu.
Wisnu dengan cepat menyodorkan uang itu pada bapak supir dan pria itu menerima uang Wisnu sambil berucap, "Kalau ada masalah dibicarakan baik-baik, Neng. Kasian pacarnya. Sok atuh baikkan, pacarnya sayang pisan sama neng itu. Saya permisi ya."
Wisnu tersenyum penuh kemenangan. Taksi online berlalu dan Wisnu dengan santai mengarahkan Emily menuju mobilnya dari gerakan tangannya. "Sok atuh, Neng. Masuk. Nanti kita telat." Wisnu berucap dengan gaya sang supir tadi.
Emily mendengus kesal. Pria ini sudah tidak waras. Emily pun memilih pergi berjalan menuju jalan raya namun baru beberapa langkah, Kafka muncul disebelahnya dengan motor miliknya membuat Emily kaget. Emily pun spontan meringis. Tadi Wisnu, sekarang Kafka. Ada apa dengan hari ini?