Lukman pulang ke Jogja. Hatinya kacau karena kedatangan Handi Kurniawan. Tanpa pikir panjang Lukman langsung meminta izin pada Ryandra Algantara dan mencari penerbangan paling pagi untuk kembali pulang. Lukman bahkan baru mengabari Emily ketika ia sudah berada di bandara. Lukman cukup kacau dengan kemunculan pria paruh baya itu dan alasan kedatangannya.
Sesampainya di rumah Ibunya, Lukman langsung disambut Ibunya dengan tangisan. Lukman membiarkan wanita paruh baya itu menangis. Laura pun berada di rumah. Lukman sudah memberi tau Laura pagi-pagi betul bahwa ia akan pulang ada ada hal yang ingin ia bicarakan. Di dalam kamar Ibunya, Lukman dan Laura duduk menunggu hingga Ibu mereka selesai menumpahkan kesedihannya. Isak tangis Ibu mereka terdengar begitu memilukan.
Ibu Lasmi menyusut tangisnya, dengan air mata yang masih terus mengalir wanita paruh baya itu mencoba menceritakan apa yang terjadi, "Dia kesini, Man... Dia datang setelah sekian lama bukan karena ingin meminta maaf tapi membutuhkan bantuan kalian. Ibu sakit hati, Man..."
Lukman memandangi Ibunya lalu menatap Laura. Lukman menghela nafas panjang dan menatap Ibunya lalu berucap, "Dia butuh donor ginjal kan, Bu?"
Ibu Lasmi dan Laura memandang kaget Lukman.
"Dia juga datengin Lukman kemarin, Bu. Ini alasan Lukman pulang. Lukman pengen Ibu tau kalau dia juga datengin Lukman. Tapi Lukman enggak sudi donorin ginjal Lukman buat pria itu, Bu."
"Laura juga enggak, Bu."
Ibu Lasmi kembali menangis pilu, "Dulu dia memilih meninggalkan kita dan memilih keluarganya. Sekarang saat dia membutuhkan bantuan dia mendatangi kita. Seharusnya dia mendatangi keluarganya yang ia pilih itu. Ibu sampai kapan pun enggak akan rela kalau kalian ada yang mendonorkan ginjal kalian buat pria pengecut macem dia itu."
Lukman mengangguk. "Enggak, Bu. Ibu bisa tenang. Ibu denger sendiri tadi kalau Lukman dan Laura enggak akan donorin ginjal kami buat pria itu."
Ibu Lasmi mengangguk dan Lukman bisa melihat wajah Ibunya kini jauh lebih tenang. Lukman sendiri tidak akan pernah mendonorkan ginjalnya untuk pria yang sudah menyebabkan kekacauan besar dalam hidup keluarganya. Karena perbuatannya Ibunya menjadi trauma dan efeknya Ibunya tidak memberikan restu pada hubungannya dan Emily. Seandainya pria itu tidak bersikap pengecut mungkin cerita hidupnya tidak akan begini dan hubungannya dengan Emily tidak akan sesulit ini.
Lukman dan Laura keluar dari kamar Ibu mereka ketika melihat Ibu mereka sudah tertidur pulas. Wanita paruh baya itu kelelahan menangis. Lukman dan Laura membiarkan Ibu Lasmi untuk beristirahat dan keduanya duduk di sofa.
"Mas... Soal Mba Emily..."
Lukman menatap Laura, "Kenapa sama Emily, La?"
Laura menghela nafas panjang, "Maaf, Mas. Tapi aku mohon Mas sudahi saja. Kesehatan Ibu menurun, Mas. Ibu sering menangis memandangi foto Mas Lukman. Kalau Mas tetap bersikeras meminta restu Ibu, rasanya akan semakin berpengaruh sama kesehatan Ibu. Aku tau aku enggak punya hak bilang ini cuma aku enggak tahan liat Ibu nangis terus. Kesehatan Ibu juga makin turun. Ibu sering ngeluh sakit kepala dan pernah sampai demam."
Lukman terdiam mendengar ucapan Laura.
"Aku mau Mas bahagia tapi kalau kebahagiaan Mas membuat Ibu seperti ini, aku rasanya enggak bisa dukung kebahagiaan Mas itu. Kesehatan Ibu dan kebahagiaan Ibu lebih penting, Mas. Selama ini Ibu berjuang sendirian membesarkan kita. Kalau bukan membahagiakan Ibu, siapa lagi yang mau kita bahagiain?" Laura menjeda kalimatnya untuk menghela nafas panjang, "Bapak masih hidup tapi aku ngerasa selama ini Bapak sudah meninggal. Bapak enggak pernah sekali pun kembali pulang untuk sekedar menanyakan kabar kita lalu Bapak datang untuk meminta kita melakukan hal besar. Cuma Ibu yang kita punya sekarang, Mas... Ayo, bahagiain Ibu sama-sama."
***
Ibu Lasmi masih tertidur pulas, Laura sedang menyapu halaman rumah sementara Lukman merapihkan tanaman milik ibunya. Satu jam berlalu setelah percakapan ketiganya dan Laura dan Lukman memilih membantu Ibunya merapihkan rumah mereka demi meringankan rutinitas ibu mereka. Hal ini sudah biasa mereka lakukan sejak dulu sehingga bukan hal aneh melihat keduanya melakukan pekerjaan rumah.
Lukman dan Laura fokus dengan kegiatan mereka masing-masing namun fokus mereka terpecah saat seseorang kembali datang dan kali ini ia tidak sendiri. Ada seorang wanita lain yang berdiri disebelahnya. Lukman berdiri dengan wajah menahan amarah dan Laura berdiri dibelakang kakak laki-lakinya.
"Untuk apa anda datang lagi ke rumah ini? Kehadiran anda tidak diterima disini jadi lebih baik anda pergi dari rumah ini!" Lukman mengusir Handi Kurniawan dengan tegas lalu mengajak Laura menuju rumah mereka.
Namun pria paruh baya itu menahan keduanya, "Bapak minta tolong, Nak... Hanya kalian yang bisa menolong bapak..."
Langkah Lukman dan Laura terhenti. Tangan Lukman yang merangkul Laura untuk kembali ke rumah mereka spontan mencengkram lengan Laura tanpa sadar. Laura meringis dan menatap Lukman yang sudah menahan emosi. Lukman memutar tubuhnya diikuti oleh Laura.
Lukman tersenyum sinis, "Tidak ada yang akan menolong anda disini. Anda bisa tinggalkan tempat ini sama seperti apa yang anda lakukan puluhan tahun yang lalu."
Lukman hendak memutar tubuhnya namun wanita yang menemani pria paruh baya itu pun angkat suara, "Kalian seharusnya membantu Bapak kalian. Kalian lahir kedunia ini karena bapak kalian. Harusnya kalian balas budi sama bapak kalian bukannya bersikap kurang ajar seperti ini."
Emosi Lukman melenggak naik. Lukman tau siapa yang berada disamping pria yang sialnya adalah ayah kandungnya. Lukman sudah menyelidiki semuanya dengan bantuan anak buah kenalan bosnya. Wanita itu adalah istri kedua Handi Kurniawan dan mereka pun dikaruniai dua anak laki-laki dan anak laki-laki pertama mereka usianya hanya berbeda dua tahun dengan Laura. Lukman tertawa sinis mendengar ucapan wanita itu.
"Kenapa kami harus membalas budi pada pria yang sudah membuat hidup kami kacau. Harusnya kedua anak anda yang membalas budi pada ayahnya yang sudah menghidupi mereka dengan baik. Kemana mereka? Mereka juga memiliki darah yang sama dengan pria yang berdiri di sebelah anda. Seharusnya mereka bisa mendonorkan ginjal mereka. Ah, atau mereka bukan anak kandung pria yang disebelah anda?"
Wanita tidak tahu malu itu dengan penuh percaya diri menjawab ucapan Lukman, "Kurang ajar! Mereka anak suami saya. Jelas dengan kemiripan mereka dengan ayah mereka. Lagi pula mereka masih terlalu muda untuk mendonorkan ginjal mereka. Masa depan mereka masih panjang dan mereka tidak mungkin mengorbankan semua itu."
Laura yang sejak tadi diam pun tersulut emosinya mendengar ucapan wanita itu dan hendak angkat suara namun Lukman menahannya dengan meletakkan tangannya dibahu Laura dan menggelengkan kepalanya memberi kode larangan pada adiknya. Laura pun menahan keinginannya dan membiarkan Lukman yang membereskan semuanya.
Lukman menatap kedua orang dihadapannya dan tertawa terbahak-bahak membuat kedua orang dihadapannya bingung. Lukman tertawa seakan-akan ada lelucon lucu yang wajar mendapat tawa yang begitu heboh. Begitu selesai tertawa Lukman memandang sinis kedua orang dihadapannya, "Sampah memang akan berkumpul dengan sampah. Pada akhirnya Allah memberikan hukuman yang setimpal atas apa yang anda perbuat selama ini. Meninggalkan keluarga anda sendiri lalu membangun keluarga baru dan sialnya keluarga baru anda menolak menolong anda saat anda membutuhkan bantuan."
Lukman menatap Laura sambil tersenyum lembut, "Kamu lihat sendiri kan, La. Allah enggak tidur. Semua akan mendapatkan ganjarannya. Yang penting kita tetep baik..." Lukman menjeda kalimatnya menatap pria paruh baya dihadapannya dengan tatapan sinis, "dan si jahat pasti akan mendapatkan balasannya cepat atau lambat." lanjut Lukman dengan nada sinis.
Lukman kembali mengajak Laura menuju rumah mereka namun sebelum melangkah Lukman menoleh ke samping, "Jangan pernah datang lagi ke rumah ini atau ke tempat tinggal saya di Jakata. Saya bisa melamporkan ini sebagai gangguan dan saya tegaskan anda tidak akan menerima bantuan apapun dari kami."
Setelah selesai mengucapakan kalimatnya, Lukman merangkul Laura untuk masuk ke dalam rumah dan Lukman menutup pintu rumah Ibunya. Biarlah ia dicap sebagai anak durhaka. Semua tidak akan seperti ini jika pria itu tidak meninggalkan mereka dulu. Lukman sakit hati dan biarlah pria itu menyelesaikan masalahnya dengan keluarganya sendiri. Lukman, Laura atau pun Ibunya sama sekali tidak mau lagi dikaitkan dengan pria itu. Hubungan keluarga mereka sudah putus sejak pria itu meninggalkan mereka.
***
Emily menatap Kafka yang berada disebelahnya menaiki motor miliknya. Wanita itu bingung kenapa kedua pria itu muncul disaat yang tidak tepat.
Kafka pun menoleh ke arah belakang dimana Wisnu berada. Kafka mengenal Wisnu dan menyapa pria itu sebagai bentuk formalitas sebelum Kafka kembali menatap Emily, "Lo mau berangkat ke kantor? Bareng gue aja. Gue anterin sekalian."
Emily menggelengkan kepala, "Enggak usah. Gue berangkat sendiri aja, Kaf. Thank you.."
Emily berjanjak meninggalkan Kafka dan berjalan lurus kedepan ke arah jalan raya berharap ia menemukan taksi kosong yang bisa ia naiki untuk ke kantor. Namun belum sampai keluar dari gerbang apartemennya, Wisnu kembali muncul dengan mobilnya.
"Ly, kita sekantor, satu divisi. Ayo, bareng saya."
Emily mengabaikan Wisnu dan terus melangkah menuju jalan raya namun langkahnya terhenti saat klakson lain terdengar dan suara lain terdengar memanggil nana Emily.
Azka berada di dalam mobilnya baru saja masuk ke dalam area apartemen Emily dan menepikan mobilnya agar mobil lain yang masuk tidak terhalangi oleh keberadaan mobilnya. Keluar masuk apartemen memang tidak jauh sehingga Azka bisa menyadari keberadaan Emily.
"Ka? Kok elo disini?" Wisnu membuka jendelanya dan bertanya dengan nada heran dan bingung.
Emily mengerutkan alisnya menyadari Wisnu mengenal Azka. Namun mengabaikan kebingungannya, Emily memilih dengan cepat menuju mobil Azka dan memasuki mobil pria itu. Emily tidak mengerti kenapa Azka bisa ada di area apartemennya pagi-pagi begini namun Azka satu-satunya yang bisa menolongnya saat ini.
"Ka, gue nebeng ya."
Azka menoleh bingung menatap Wisnu dan Emily secara bergantian. Azka mendadak bingung mendapati teman dekatnya bersama dengan Emily. Namun belum sempat bertanya lebih lanjut, Emily sudah memintanya untuk jalan. Azka pun mengikuti ucapan Emily dan langsung memutar mobilnya menuju arah pintu keluar dan Wisnu pun melanjutkan arah mobilnya keluar dari apartemen Emily. Wisnu menepikan mobilnya menunggu mobil Azka keluar dan mengikuti mobil itu dari belakang.
Di belakang kedua mobil itu ada Kafka yang mengamati adegan demi adegan yang terjadi dalam diam. Untungnya jam masih menunjukkan kurang dari jam enam pagi. Area apartemen belum begitu ramai. Kafka mengamati dari motornya sambil bersedekap dan begitu kedua mobil itu berlalu Kafka tanpa sadar terkekeh sebelum kembali menyalakan mesin motornya, "Saingan gue banyak juga..."
***
Di dalam mobil tidak ada percakapan apapun. Azka bingung pada awalnya namun otak cerdasnya langsung menghubungkan semua yang terjadi dan menyimpulkan bahwa teman kecilnya adalah wanita yang selama ini Wisnu ceritakan padanya. Wanita tanpa nama itu ternyata Emily. Azka pun sesekali menatap mobil Wisnu yang mengikuti mobilnya dari belakang lalu menoleh menatap Emily.
"Lo kenal sama Wisnu?" Azka bertanya untuk mencari titik terang.
Emily yang sedang sibuk memaki Wisnu dalam hatinya pun terkesiap kaget. "Sorry, lo tanya apa, Ka? Eh.. Lo kok bisa ada di apartemen gue?"
Azka mendengus. Entah apa yang membuat Wisnu tertarik pada Emily. Teman kecilnya ini kadang memiliki kemampuan loading yang cukup lama, "Gue nanya kok elo bisa kenal sama Wisnu?"
Emily membulatkan bibirnya membentuk huruf 'O' setelah mendengar pertanyaan Azka, "Dia atasan gue, Ka. Lo kenal sama Pak Wisnu?"
Azka mengangguk, "Temen gue. Udah kenal lama banget. Gue enggak nyangka kalian saling kenal."
"Temen lo orangnya nyebelin. Gue kesel banget. Keras kepala juga," ucap Emily dengan nada sewot.
Azka pun spontan terkekeh. Apa yang Emily katakan memang adalah sebuah kenyataan. Azka tidak bisa menyangkalnya. "Terus kenapa dia bisa ada di apartemen elo? Setau gue dia bukan tinggal di area sini atau jangan-jangan dia udah pindah tinggal dia apartemen sini?"
Pertanyaan Azka membuat Emily menatap horor pria disebelahnya, "Astaga, mulut lo mau gue kasih kembang tujuh rupa, Ka... Serem banget ucapan elooo.. Bisa gila beneran gue ketemu dia setiap hari."
Azka tertawa mendengar ucapan Emily. Entah apa yang sudah Wisnu lakukan pada teman kecilnya hingga wanita disebelahnya ini begitu antipati pada Wisnu dan ketika mobil mereka berhenti di lampu merah sebuah pesan dari Wisnu masuk dalam ponsel Azka.
Jangan langsung pergi. Lo mesti ketemu gue dulu. Tunggu gue diparkiran. Lo mesti cerita kenapa Emily bisa kenal sama elo.
Azka tersenyum sinis membaca pesan Wisnu. Katanya enggak jatuh cinta tapi liat Emily pergi berangkat kerja bareng dirinya, Wisnu bersikap seolah uring-uringan. Tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Azka bisa menilai Wisnu sudah jatuh cinta pada wanita yang ada disebelahnya namun Wisnu menyangkal perasaannya sendiri. Azka tau seberapa besar cinta Wisnu pada Nadira dan mungkin Wisnu menyangkal perasaannya pada Emily karena merasa bersalah pada mendiang istrinya karena kembali jatuh cinta. Azka tau betul dulu Wisnu pernah berjanji tidak akan mencintai wanita lain, selain Nadira dan itu Wisnu ucapkan di depan jenazah istrinya sebelum dikebumikan.