Ketika Emily sudah selesai dengan urusannya dikantor, Emily pun langsung menemui Lukman. Emily masuk ke dalam mobil Lukman sesuai dengan komunikasi terakhir keduanya. Lukman mengemudikan mobilnya menuju rumah Emily dan ketika keduanya sudah sampai di dekat rumah Emily, Emily meminta Lukman berhenti sejenak di sebuah taman dekat rumahnya. Bohong kalau sepanjang jalan Emily tidak gugup. Jantung Emily rasanya hampir meledak karena berpacu sangat kencang. Rasa gugup memeluknya dengan erat hingga rasanya ia kesulitan untuk bernafas. Emily khawatir dengan respon kedua orang tuanya dan wanita itu juga takut dengan reaksi Lukman setelah bertemu dengan kedua orang tuanya.
Emily menatap Lukman lekat-lekat. "Kamu yakin mau ketemu kedua orang tua aku?"
Lukman dengan tekad yang sudah bulat dan keyakinan akan perasaannya pada Emily pun mengenggam tangan Emily yang terasa dingin di dalam genggamannya dan pria itu dengan mantap menganggukan kepalanya. "Aku yakin, Em. Selama kamu percaya sama aku. Aku akan berjuang untuk kita."
Ucapan Lukman membuat Emily merasa lega. Senyum Emily yang sedari tadi hilang karena gugup pun akhirnya muncul. Senyum Emily pun menular pada Lukman.
"Sudah lebih tenang? Aku sadar kamu gugup dan aku enggak mau bikin kamu makin gugup jadi aku tunggu kamu cerita dulu," Lukman bertanya memastikan.
Emily mengangguk.
Lukman pun tersenyum, "Kita lanjut ke rumah kamu, ya. Kita ketemu orang tua kamu. Insya Allah ada jalan.."
Emily mengangguk sambil membalas senyum Lukman. Lukman pun melepaskan tangannya yang sedari tadi mengengam erat tangan Emily dan kembali fokus mengemudi. Keduanya menuju rumah Emily namun sesampainya di rumah keduanya harus menelan pil pahit karena ternyata kedua orang tua Emily tidak ada di rumah.
Lukman pun duduk berdua dengan Emily di sofa ruang tamu rumah Emily. Emily pun menghubungi kedua orang tuanya untuk menanyakan kabar mereka dan hasilnya kedua orang tua mereka sedang pergi ke acara reuni bersama dengan teman-teman mereka dan akan pulang larut. Emily menghela nafas panjang beberapa kali dan merasa bersalah pada Lukman.
"Maaf, Mas. Aku salah. Seharusnya aku cari tau dulu apa papa dan mama ada di rumah."
"Bukan salah kamu, Em. Aku juga lupa untuk nanyain apa orang tua kamu ada di rumah." Lukman tersenyum usai mengucapkan kalimatnya. Pria itu berusaha menguatkan Emily dan berusaha menyembunyikan perasaannya sendiri. Lukman merasa sedih karena ketika ia datang dengan tekad yang sudah bulat untuk berjuang, keadaan seakan menghalangi niatnya.
Karena niatnya datang tidak bisa terpenuhi, Lukman pun memilih pamit, "Em, lebih baik aku langsung pulang. Kamu sendirian di rumah dan aku khawatir nanti ada orang yang menilai buruk kalau aku berlama-lama disini. Aku akan kembali lagi besok pagi."
Emily mengerti maksud Lukman dan mengangguk. Emily paham Lukman tidak ingin posisinya bertambah sulit dengan adanya sebuah kesalahpahaman. Emily pun mengangguki ucapan Lukman dan mengantarkan Lukman menuju mobilnya.
Keesokan harinya sesuai ucapan Lukman, Lukman kembali datang pagi-pagi. Emily dengan hati yang kembali berdetak kencang menyambut kedatangan Lukman dan mempersilahkan Lukman duduk di ruang tamu kemudian menuju belakang rumahnya dimana kedua orang tuanya berada.
Emily memandangi kedua orang tuanya yang sedang asik dengan kegiatan berkebun mereka dan memanggil keduanya hingga pasangan paruh baya itu menoleh secara bersamaan ke arah Emily.
"Ya, Em?" Mama Diva menanggapi panggilan putrinya.
Emily berusaha menyembunyikan kegugupannya dan bersikap biasa saja, "Pa, Ma.. Ada tamu di ruang tamu.."
Papa Johan dan Mama Diva pun saling berpandangan dengan wajah bingung namun keduanya tidak bertanya lebih lanjut dan memilih menyudahi kegiatan mereka dan mencuci tangan mereka sebelum mengikuti langkah sang putri menuju ruang tamu.
Ekspresi wajah Papa Johan dan Mama Diva pun berubah melihat siapa tamu yang putri mereka maksud. Keduanya mendadak memasang wajah tidak bersahabat.
Lukman berusaha mengabaikan ekspresi tidak suka itu dan mendekati kedua orang tua Emily untuk bersalaman namun kedua orang tua Emily menolak.
"Ada perlu apa lagi kamu datang kesini?" Papa Johan bertanya dengan nada tidak suka yang jelas terdengar.
Lukman lagi-lagi mencoba mengabaikan nada tidak suka yang masuk ke dalam telinganya, "Apa kabar, Om, Tante? Saya ke sini bermaksud untuk kembali meminta izin sama Om dan Tante mengenai hubungan saya dan Emily."
Mama Diva memandang Emily dengan wajah kaget, "Selama ini kamu masih berhubungan sama pria ini, Em?" Terdengar nada kaget dan juga kecewa.
Emily menggelengkan kepalanya dan Lukman yang mengambil alih pertanyaan itu, "Tidak, Tante. Kami kembali bersama baru beberapa hari ini. Kami sama-sama sadar bahwa kami masih memiliki perasaan satu sama lain. Saya sendiri yang kembali mendatangi Emily dan meminta Emily untuk percaya sama saya sekali lagi. Saya mau memperjuangkan lagi hubungan kami maka dari itu saya datang ke sini untuk meminta restu dari Om dan Tante untuk hubungan kami."
Papa Johan memandang dingin Lukman. "Saya pikir ucapan terakhir saya sama kamu sudah cukup jelas. Tapi nyatanya kamu masih berani mendekati putri saya."
Emily tiba-tiba merasa jantungnya berhenti berdetak beberapa detik mendengar ucapan papanya. Emily merasa kembali beberapa tahun silam saat ia dan Lukman berada di hadapan kedua orang tuanya yang juga menolak kebersamaan mereka.
"Pa..." Emily tanpa sadar memanggil papanya dengan nada lirih dan air mata sudah mulai menggenangi kedua matanya.
Papa Johan menatap Emily dengan tatapan dingin, "Kamu sudah tau kalau Papa mau mengenalkan kamu dengan Azka. Papa dari awal sudah katakan, carilah pasangan yang sepadan. Pria ini dan keluarganya jelas tidak sepadan dengan keluarga kita."
Mama Diva memandang Emily dengan tatapan kecewa dan Emily menatap mamanya dengan tatapan sendu.
Mama Diva menghela nafas panjang, "Kehidupan pernikahan tidak akan seindah yang kalian bayangkan. Jurang sosial kalian terlalu jauh. Mama tidak yakin kamu bisa bertahan dengan kesederhanaan keluarga Lukman dan Lukman tidak akan tahan dengan kehidupan kita sekarang. Kamu yakin Lukman bisa menghidupi kamu seperti papa menghidupi kamu?"
Lukman menatap Mama Diva, "Saya bisa berusaha keras untuk bekerja dan menghidupi Emily, Tante."
Mama Diva menghela nafas pendek, "Kamu akan tenggelam dalam pekerjaan kamu kalau kamu berniat seperti itu. Tidak ada orang yang benar-benar bisa membagi waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dengan benar-benar adil dan saya tidak mau kamu pada akhirnya mengabaikan Emily dalam pernikahan kalian."
Emily menatap Mamanya dengan tatapan kecewa.
Papa Johan berdiri dari posisi duduknya, "Lebih baik kamu pulang. Keputusan saya dulu dan sekarang tidak akan berubah."
"Pa..." Emily berucap dengan nada lirih dan kali ini air mata Emily sudah mengalir deras.
Papa Johan menatap Emily, "Setiap orang tua ingin melihat anaknya bahagia dan papa yakin kalau Lukman bukan pria yang tepat untuk kamu. Terlalu berat jalan yang akan kamu lalui nanti dan tidak ada orang tua yang mau melihat anaknya susah."
Setelah mengucapkan hal itu Papa Johan pergi diikuti oleh Mama Diva. Emily pun menangkup wajahnya dengan kedua tangannya melepaskan tangisnya. Emily tau kalau kedua orang tuanya akan menolak dan ia sudah mempersiapkan diri mendengar penolakan itu sejak semalam tapi Emily tidak menyangka kalau ternyata ia tetap tidak sekuat itu mendengar penolakan itu lagi secara langsung.
Lukman pun mendekati Emily dan berusaha menenangkan wanita yang ia cintai itu dengan berlutut di hadapan Emily dan menyentuh siku tangan Emily, "Sudah, ya. Kita masih bisa berusaha lagi nanti."
Emily menghentikan tangisnya dan menurunkan tangannya yang kini sudah digenggam erat Lukman, "Kali ini kamu enggak akan menyerah, kan, Mas?"
Lukman tersenyum hangat dan menggelengkan kepalanya, "Enggak. Kita usaha sama-sama ya?"
Senyum Emily pun terbit. Lukman menghapus sisa jejak air mata di wajah Emily dan ikut tersenyum melihat senyum yang terbit diwajah Emily. Lukman membagi kekuatan yang tersisa pada dirinya pada Emily. Sama seperti Emily, Lukman pun remuk mendengar penolakan itu lagi. Namun Lukman sadar bahwa mereka berdua harus bisa saling menguatkan satu sama lain sampai tujuan mereka tercapai.
Lukman pun pamit saat Emily sudah jauh lebih tenang dan sepeninggal Lukman, Emily kembali ke dalam kamarnya lalu Mama Diva masuk ke dalam kamar Emily.
"Mama pikir kamu sudah mengerti maksud mama dan papa selama ini. Kami tidak menerima Lukman karena Lukman akan kesulitan mengimbangi langkah kita. Papa dan Mama tidak mau kamu nantinya kesulitan. Kakak ipar kamu semuanya dari kalangan berada dan Lukman jelas dibawah mereka. Lukman akan dilihat kecil dan nantinya Lukman akan kesulitan berbaur. Kita tidak bisa menutup mata kalau kelas sosial seseorang akan menjadi tolak ukur bagaimana kita akan diperlakukan. Maka dari itu Papa kamu berusaha keras untuk membuat kita hidup dengan nyaman dan karena itu Mama dan kalian menjadi korban papa yang begitu sibuk dengan usahanya."
"Tapi Lukman bukan papa yang akan mengabaikan aku dan anak-anak kami nanti, Ma..."
"Tidak ada yang bisa tau masa depan, sayang. Mama tidak mau semua terjadi sesuai dengan apa yang mama ucapkan nantinya. Mama tau kalau orang tua kadang tidak selalu benar tapi orang tua punya firasatnya sendiri. Mama tidak akan menghalangi kamu menikah dengan siapapun asal pria itu memang meyakinkan, sayang."
"Tapi aku cintanya sama Lukman, Ma..."
Mama Diva menghela nafas panjang, "Mama tau tidak mudah melupakan seseorang tapi percaya sama mama, nantinya ada orang lain yang mampu merebut hati kamu."
Emily menunduk. Matanya kembali berkaca-kaca.
"Setiap orang tua ingin anaknya hidup dengan baik. Anaknya hidup lebih dari pada saat ikut dengan orang tuanya. Mama dan Papa pun sama, Em. Coba kamu pahami dari sudut pandang kami.." Mama Diva menjeda kalimatnya dan menghela nafas panjang sambil meneput tangan Emily yang berada dalam genggamannya, "Sekarang kamu lebih baik siap-siap. Mungkin sebentar lagi keluarga Azka datang. Mama dan Papa tidak memaksa kamu dengan Azka. Kamu bisa berkenalan dulu dan kalau memang tidak cocok kalian bisa berteman saja."
Selesai mengucapkan hal itu Mama Diva keluar dari kamar Emily. Emily mengadahkan wajahnya menatap langit-langit kamarnya berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh namun usahanya itu gagal. Air mata Emily jatuh juga. Kenapa restu untuk hubungannya dan Lukman sesulit ini?
***
Om Sukma, Tante Rinjani dan Azka datang tepat jam sebelas siang. Azka adalah teman lama Emily. Dulu Azka dan Emily sempat les ditempat yang sama jadi beberapa kali Azka ikut Emily pulang dan mamanya Azka akan menjemput dirumah Emily ketika Tante Rinjani ada urusan. Hal ini membuat Emily dan Azka saling mengenal baik.
Azka dan Emily murni berteman. Azka lebih tua satu tahun dari Emily dan keduanya lebih cocok sebagai teman dari pada pasangan. Azka memang menikah lebih dulu dari pada Emily. Emily saat itu hadir bersama dengan Lukman namun kini Azka baru cerai dengan istrinya karena istrinya itu berselingkuh.
Kedua keluarga itu makan bersama saat jam makan siang tiba. Ini bukan pertama kalinya kedua keluarga itu makan bersama karena kedua keluarga itu memang dekat karena Papa Johan dan Om Sukma adalah teman semasa kuliah dulu. Namun di setiap makan bersama ada satu hal yang tidak berubah. Azka dan Emily akan berinteraksi seadanya karena Emily sudah memiliki Lukman dan Azka yang saat itu sudah bersama dengan mantan istrinya. Keduanya menjaga jarak demi kebaikan masing-masing dan itu terbawa hingga saat ini.
Namun yang berbeda kali ini adalah keduanya diminta untuk saling mendekat. Keduanya pun duduk di samping rumah Emily dengan canggung.
"Mereka liatin kita dari dalem," Azka berucap sambil meringis.
Emily terkekeh pelan, "Sorry, pasti nyokap bokap gue yang duluan kasi ide ini ke Om Sukma."
Azka tersenyum tipis lalu menggendikkan bahunya, "Enggak tau juga, ada kemungkinan bokap nyokap gue yang duluan. Mereka getol banget jodoh-jodohin gue semenjak tau Tari selingkuh."
"Are you okay?"
Azka tersenyum tipis dan mengangguk pelan, "Gue udah mulai terbiasa. Tapi gue malu sama orang tua gue karena ucapan mereka ternyata bener. That's way gue gak nolak pertemuan ini. Bukan karena gue mau terima tapi karena gue gak mau keulang lagi aja."
Emily mengangguk mengerti ucapan Azka.
"Lo sama Lukman gimana kabarnya?" Azka bertanya dengan nada santai berusaha mengalihkan pertanyaan dari pembahasan soal perceraiannya.
Wajah Emily mendadak berubah sendu mendengar pertanyaan Azka. Emily pun perlahan mulai menceritakan mengenai kondisi hubungannya dengan Lukman pada Azka. Pria itu pun mendengarkan dengan seksama setiap kata dari cerita Emily.
"Pakai hati lo, Em. Kalo elo gak yakin juga sama jawabannya ya pakai jalur doa. Kadang apa yang gak bisa di jawab otak lo akan terjawab saat elo dateng sama Allah. Akan ada jawaban dengan cara yang enggak lo duga. Kisah gue belom tentu sama dengan kisah elo. Kalau omongan orang tua gue bener belom tentu omongan orang tua elo juga bener. Bisa juga omongan orang tua lo salah tapi bener atau salahnya itu elo mesti cari tau pake hati lo dan jangan lupa tanya sama Allah."