Awal Kejadian

1386 Words
Devan tengah duduk di ranjang pasien dengan tubuh yang banyak perban. Semua luka di tubuhnya sudah terbalut dengan rapih. Setelah diperiksa kembali, rupanya luka itu cukup dalam. Dokter menyarankan agar Devan tidak banyak bergerak untuk satu munggu kedepan sebab, luka itu bukan luka sembarangan. Namun, sepertinya luka itu sengaja dibuat karena si pelaku ingin membunuhnya. Devan merenung, ia mengingat-ngingat apa yang terjadi tadi malam sampai dia bisa begini. Ingatannya memang sedikit terganggu, bukan hanya luka tusuk, tapi dokter menemukan luka memar di bagian kelapanya. Ada kemungkinan Devan susah mengembalikan memori dalam otaknya. Tapi itu kembali lagi, dokter menyarankan agar Devan tidak terlalu menekan otaknya untuk berpikir. Kepalanya mulai terasa sakit setelah memori nya kembali. Devan ingat saat dia dikejar oleh beberapa orang yang ia kenal. Salah satunya ialah Tristan. Tristan adalah pria bertubuh tinggi dan kekar, wajahnya seram dan dia selalu memakai pakaian serba hitam. Tak lupa dengan jaket kulit yang selalu dipakainya. Tristan pria berdarah dingin dan kejam. Dia dari kelompok sang mafia sejak lahir. Ayahnya telah memberinya darah kelahiran sebagai seorang mafia. Malam hari, saat Devan hendak keluar rumah karena ia hendak membeli sesuatu untuk Raya. Saat itulah ada sekitar lima orang termasuk Tristan datang menghadap dirinya. Devan memundurkan langkahnya karena takut. Secara, dia tak mampu melawan Tristan dengan tubuh lemah gemulai nya. Devan mempunyai bentuk tubuh yang ramping tapi tingginya sama dengan Tristan. Dia tak memliki kekuatan apapun. Mengangkat beban berat saja sudah kelelahan, apalagi melawan!! Tristan mencengkram leher Devan sampai tubuh Devan terangkat ke atas. "Uhuk, heukk ..." Devan merasa sesak. "Lepaskan Raya untukku. Jika tidak, kau akan mati sekarang juga ditangan ku, Devan." Tristan menghempaskan nya dengan kasar hingga Devan hampir tersungkur karenanya. "Mau yang mana? Kiri? Atau kanan?" Tangan kiri Tristan sudah ada pisau belati yang tajamnya melebihi pedang. Sementara di tangan kanannya sudah ada pistol yang merupakan senjata kesukaannya. Saat itu, Devan memilih untuk kabur. Ia berlari terbirit-b***t karena takut ancaman dari Tristan. "Kejar dia," perintah Tristan kepada geng nya. Ada sekitar empat orang yang mengejar Devan. Sedangkan dia sendiri hanya berjalan dengan santai. Baginya, kecepatan lari Devan tidak ada bandingannya jika dengan dirinya berlari. Pria tinggi dan besar itu seperti monster bertubuh manusia. Sungguh menyeramkan. "Mau kemana, huh? Kau sudah tidak bisa berlari lagi, Devan." Keempat orang itu mengunci tubuh Devan, membiarkan Tristan berjalan ke arahnya. Sret ... sret ... sret ... Tristan menyayat tubuh Devan dengan cara mengenaskan. Devan berteriak kesakitan. "Aarrrghh ... k-kau ... aarrgghh ... uhuk ..." Devan mengeluarkan darah di mulutnya dan tak kalah dengan tubuhnya yang juga sudah banjir akan darah. Sedangkan Tristan mengambil darah itu dengan tangannya dan tertawa puas. "Ajalmu sudah di depan mata. Selamat pergi ke neraka, Devan. Sayangnya, Raya tidak ada di sini dan sebentar lagi dia akan menjadi milikku. Haha." "K-kau ... j-ja-jangan ... uhuk ..." Saat itu juga Devan sudah tidak bisa menghembuskan napasnya. Dia mati dalam keadaan mengenaskan. *** "Apa Anda ingat sesuatu?" Devan tersadar dari lamunannya setelah dokter itu bertanya. "Jika Anda ingat, sebaiknya Anda laporkan pelaku ke pihak berwajib," ucap dokter lagi. "Saya tidak ingat siapa pelakunya. Hanya saja saya ingat saat mereka mencoba membunuh saya." Dokter itu menepuk pundak Devan pelan, "Semoga pelaku segera tertangkap." Devan sengaja tidak memberitahu siapa pelaku yang mencoba membunuhnya. Ia ingat dengan perkataan sang jubah hitam di alam akhirat yang sempat ia datangi. Tapi ada satu hal yang akan Devan lakukan. Ia ingin orang itu sadar akan perbuatannya dan tidak untuk membalasnya sendirian. Dia ingin Tristan kembali mencarinya dan memberinya sedikit pelajaran tersebut. *** Devan sudah kembali ke Kotanya, Kota Jera. Jera termasuk Kota terbesar. Sebagian penduduknya adalah orang kaya berada. Namun Devan terlahir dari keluarga tak mampu, tak banyak orang juga yang tahu akan asal usulnya. Tapi, setelah menikah dengan Raya, Devan menjadi terkenal dengan sebutan menantu pengangguran. Kebetulan Devan memakai jaket panjang dan sebuah topi bulat menutupi wajahnya. Ia tak mau kehadirannya diketahui banyak orang. Karena orang-orang di sana sudah menganggapnya mati. Ya ... sejak kejadian itu, Tristan sudah mengambil alih posisinya. Dia sengaja mendekati Raya setelah semua orang tahu jika Devan mati karena terbunuh. Ini sudah hari ke tujuh. Tapi berita itu masih diperbincangkan. Hingga Devan mendengar dari segelintir orang yang berjalan di dekatnya. "Kamu tau, Devan sudah mati terbunuh." "Baguslah, Tuan Raymon tidak akan malu lagi dengan menantu pengangguran itu." "Lagian si Raya itu sudah buta apa? Dia menikah selama tiga tahun dengan orang pengangguran. Apa bagusnya dia?" "Dia bukan seorang pengangguran, tapi dia suami rumah tangga." "Tetap saja, itu memalukan." Devan kembali berjalan setelah mendengar perkataan dari beberapa orang itu. Tidak mungkin juga ia kembali ke kediaman Raymon. Devan memutuskan untuk mencari tempat tinggalnya sendiri. Sebuah perkampungan dekat dengan Kota Jera. Kampung itu bernama kampung Hurip. Sepertinya dia akan aman di sini. Di tempat ini, dia akan belajar memperdalam kekuatan yang diberikan oleh Jubah hitam. "Halo ... ada orang di sini?" Devan memasuki sebuah rumah kosong. Tidak ada penghuni di sana. Yang ada hanyalah seorang petani yang membawa cangkulnya. Sepertinya petani itu baru pulang dari ladangnya. "Aden cari siapa? Rumah ini kosong sejak lama, tidak ada yang mengurusnya," ucap petani itu. "Saya tidak mencari siapa-siapa, saya hanya mencari tempat tinggal. Rumah saya kebakaran jadi saya tidak punya tempat tinggal lagi. Apa Bapak tau siapa pemilik rumah ini?" "Wah, kalau pemiliknya saya tidak tau, tapi kalau Aden mau nempatin gak apa, silakan aja. Mau urus pun gak masalah, malah bagus ada penghuninya. Sayang juga, rumah sebesar ini tidak ada yang urus bertahun-tahun." Pantas saja. Devan terus memperhatikan bangunan itu, terlihat sangat kumuh tapi lumayan juga untuknya tinggal. "Kalau begitu saya permisi, kalau Aden perlu sesuatu silakan ke rumah saya. Rumah saya tepat di belakang rumah ini," sambung petani itu. "Baik, Pak. Terimakasih sebelumnya." Petani itu lantas pergi. Devan memasuki rumah itu dan mulai membersihkannya. Barang di sana masih kumplit. Hanya saja berkarat hingga bertanah tak terurus. Pekerjaan bersih membersih adalah keahliannya. Rumah satu lantai namun luas itu berhasil dibersihkan nya. *** Pagi hari, Devan mencari bahan makanan untuk dimakan. Pasalnya, dia tidak memegang uang sepeserpun, apalagi untuk membeli makanan. Dia pergi ke belakang rumah untuk mencari petani yang ia temui kemarin. "Pak, bisakah saya membantu Anda? Saya perlu pendapatan untuk bertahan hidup," ucap Devan. Petani itu tersenyum dan mau menerimanya. Devan sudah mendapat penghasilan dari hasilnya bertani. Kini, ia mencari stok makan di Kota. Perkampungan itu memang bersebelahan dengan Kota Jera. Dan hanya banyak stok makanan di Kota. Jadi Devan memutuskan untuk mencarinya di sana. Saat Devan memasuki sebuah supermarket, rupanya ada yang mengenal dirinya. Orang-orang itu ternyata geng Tristan. "Bukankah itu Devan? Dia masih hidup?" Oh, tidak. Rupanya orang itu mengenali dirinya. Devan berjalan keluar dan mulai lari. Ia tak bisa memastikan jika dirinya bisa melawan kedua orang itu, walaupun ia tahu jika jubah hitam memberi kesempatan untuk hidup. "Mau lari kemana, huh? Rupanya kamu bisa bertahan juga, Devan. Sepertinya Tuan Tristan harus tau kalau kamu masih hidup, dengan begitu beliau mungkin akan membunuhmu kembali." "Tidak, jangan bunuh saya. Saya masih mau hidup," ucap Devan dengan tubuh bergetar ketakutan. "Masih mau hidup ya?" Bugh ... Orang itu memukul bagian perut Devan dengan keras, namun Devan bisa menahannya hingga orang itu menatap Devan aneh. Bugh, bugh, bugh. Berkali-kali pun Devan tidak merasakan pukulan di perutnya. Aneh, sangat aneh. Bahkan Devan sendiri merasa terkejut dengan keadaan tubuhnya yang bisa menahan pukulan itu tiba-tiba. Devan menarik rambut orang itu dan memukul wajahnya hingga mengeluarkan darah. Tes, tes. Orang itu terkesiap, menatap Devan dengan wajah penuh tanya. Kenapa bisa? "Rupanya kamu sudah bisa melawan ya?" kata salah satu orang yang belum mencoba memukulnya. Kini, Devan tidak akan mundur. Dia mengepal dan siap untuk bertarung. Sret!!! Orang itu rupanya sudah mengeluarkan benda tajam. Namun Devan mampu menghindarinya. "Sial." Bugh. Devan membalasnya, hanya dengan satu pukulan saja, orang itu merasa kesakitan. Kali ini Devan sedang berolahraga. Untung saja kedua orang itu datang menyerang, hingga Devan bisa membuktikan kekuatan yang diberikan sang jubah hitam yang awalnya ia anggap sepele. Hah, hah, hah. Di tengah pertarungan, Kedua orang itu kalah telak. Namun, tubuh Devan sepertinya sangat lelah. Kenapa dia bisa seperti ini? Awalnya saja kuat, tapi jika digunakan lama malah semakin tidak bertenaga. Untung saja kedua orang itu tak sadarkan diri, jadi dia bisa pergi dari sana dengan aman. Sampai di rumah. Devan masih merasakan tubuhnya yang lemah tak bertenaga. Apa mungkin dia harus segera berlatih? Jika iya, dia harus melakukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD