Memenuhi Perintah

1031 Words
Devan pulang dalam keadaan lemah. Tubuhnya seperti kehabisan tenaga. Bahkan saat berjalan pun sempoyongan, ada apa dengan dirinya? Mengapa dia lelah begini? Devan berangsur menaiki tempat tidur di rumahnya yang baru. Lumayan juga tempat ini, bisa dipakai untuk sementara, batinnya. Tak terasa hari sudah hampir gelap. Namun, keadaan tubuh Devan masih sama, tidak bertenaga, bangun dari tempat tidurpun masih susah. Sepertinya tubuh itu memang tidak ada tenaga. Nol persen. Karena tak sanggup untuk bangun, akhirnya ia menutup matanya karena lelah, Devan berharap pagi esok keadaannya kembali normal. *** "Devan ..." Tidak ada cahaya apapun di sana. Hanya ada suara yang menggema di sekitar telinganya. "Siapa?" Devan meraba tempat itu seperti sedang ada di hutan. Saat itu tangannya hanya mengambil sebuah ranting pohon yang basah. Mungkin habis terkena hujan, tapi lebih anehnya, kenapa hanya ranting pohon itu yang basah dan mengapa tanah juga dedaunan terasa kering? Tidak, ini bukan tanah. Tapi seperti pasir. "Saya dimana? Dan siapa kau?" gumamnya. Devan meraba kembali. Sekarang bahkan dia memegang sehelai kain panjang dan dia mulai menggulungnya. Tapi kain itu malah seperti ada yang menarik. "Siapapun kau, tolong aku. Aku tidak tau ada dimana, tapi bisakah kau pinjamkan aku lampu senter? Di sini gelap." Wus ... Devan melihat cahaya dari telapak tangan seorang yang ada di depannya. Orang itu memakai jubah yang menutupi seluruh wajah dan tubuhnya. Dia memakai tongkat. Tangan yang satunya sudah mengeluarkan api. Apa? Api? Devan menganga tak percaya, apa dia sedang berkhayal? Atau ini semua mimpi? "K-kau ..." Devan mengenali sorot mata itu, tak salah lagi, dia si Jubah Hitam yang sudah memberi kesempatan untuk hidupnya. "Sudah terang?" tanya si Jubah Hitam. Devan hanya memanggut dan masih tak percaya. Apa benar dia sudah mengeluarkan api di tangannya? Tuk. Hanya dengan satu kali ketukan, cahaya berubah menjadi terang. Kenapa bisa? Devan bahkan lebih menganga, dia melihat sekitar dan dia kini sedang berada di sebuah tempat yang tak kalah aneh. Banyak pepohonan yang tumbuh di sana. Namun, semua pepohonan itu tumbuh di atas pasir putih seperti gurun pasir. Ada daun yang menyala juga, dunia apakah ini? Pikir Devan. "Aku dimana?" tanya Devan lagi. "Sepertinya tempat ini sangat aneh. Aku bahkan baru melihat pohon yang tumbuh di padang pasir, benar-benar tumbuh. Buahnya pun nampak sangat lebat. Apa ini bisa dimakan?" Sang Jubah Hitam menggeleng, "Jangan kau ambil buah itu," ucapnya nyaring. "Kenapa? Sepertinya enak." Devan hendak memetik buah itu. Namun, Jubah Hitam sudah menepuk tangannya dengan kasar. "Aduh," pekiknya. "Yang harus kau ambil adalah daun ini." Sang Jubah Hitam menelapakkan tangannya lalu keluar dedaunan yang dia maksud. Dedaunan itu nampak terbang di telapak tangannya. Benar-benar aneh. "Kenapa kau bisa melakukannya? Bisakah aku pinjam tanganmu? Aku ingin melakukan itu agar aku disebut sebagai orang dengan ilmu tinggi. Apa ilmu mu tinggi juga?" Pltak!! Jubah Hitam itu menyentil kening Devan yang selalu mengoceh di depannya. Benar-benar tidak sopan. "Aduh!! Sakit Pak Le. Jangan kau sentil keningku, nanti bocor bagaimana? Tenaga mu kan kuat," gerutu Devan. "Fokuslah, Devan. Dengan kau meracik daun ini, maka tenaga mu akan bertambah kuat. Ingatlah, kau harus mencarinya di sebuah hutan rimba dekat pantai sana!" "Apa kau bilang? Hutan rimba? Namanya aja udah ngeri. Nggak, aku nggak mau, aku nggak mau mati dimakan hewan." "Apa kau lebih memilih mati ditangan ku?" Devan melotot, "Ya ... ng-nggak gitu juga. Mati ditangan mu lebih menyeramkan. Kau pasti akan mencabut seluruh organ tubuhku." "Jadi, apa kau mau turuti permintaanku?" Devan mengangguk cepat. "I-iya mau, mau. Dasar pemaksa," bisik nya. "Apa kau bilang?" "Eh, nggak. Kau baik, sungguh baik." Devan cengengesan. Sang Jubah Hitam kembali menelapakkan tangannya, dan daun itu kembali melayang seperti ada yang meniupnya dari bawah. Entahlah, tapi itu sangat menakjubkan. "Waahh." Devan mendekat. "Kau perhatikan daun ini dan hapalkan. Daun inilah yang harus kau cari, kemudian kau meraciknya seperti meracik obat. Dengan begitu kau akan merasakan manfaatnya. Percayalah, aku hanya ingin membantumu. Tapi ingatlah, pergunakan kelebihan mu untuk kebenaran. Jika tidak, maka aku akan mengambil kembali semuanya termasuk nyawamu. Kau hanya bisa menemui ku di sini. Di alam mimpi mu, Devan." "Baiklah, tapi aku ..." Wuss!!! Pandangannya kembali gelap. Devan membuka matanya dengan napas tersengal. Hah, hah, hah. Keringat dingin telah membasahi seluruh tubuhnya. Devan duduk dan termenung. Apa benar semua itu mimpi? Devan menggerakkan kedua tangan dan jarinya, saat ini dia tidak merasakan apa-apa, hanya saja masih lemah. "Kenapa aku bisa seperti ini? Apa aku harus menuruti apa yang diperintahkan orang itu? Apa orang itu akan kembali mengambil nyawaku? Tidak, itu tidak boleh terjadi. Aku masih ingin menemui Raya dan aku ingin dia kembali padaku." Devan bangkit dari tempat tidurnya. "Aku harus menemukan bahan yang orang itu katakan. Tapi bagaimana mungkin aku menemukannya di hutan sana? Lalu, dengan apa aku ke sana? Jalan? Ah, tubuhku sangat lelah." Sebelum pergi, Devan meregangkan otot-ototnya terlebih dahulu. Dia ingin bisa sampai sana dengan kondisi badan yang maksimal. Keluar dari rumah dan saat itulah dia menemukan sebuah sepeda. Ah, lumayan juga buat pergi ke sana, batinnya. "Punya siapa nih? Kalo diambil ntar takut orangnya cari," gumamnya. Devan celingukan melihat sekitar, dan memang di sana tidak ada siapapun atau bahkan seorang pun yang lewat. Hanya ada angin dingin menuju sore hari. Pikirnya, percuma saja dia menggunakan sepeda itu, toh dia merasa cape walaupun tidak melakukan apa-apa. Devan memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Namun, entah mengapa, hatinya begitu tak tenang. Ada apa ini? Kenapa batinku terus ingin pergi dari sini? batinnya kembali. Perkampungan itu tidak begitu jauh dari pantai, hanya beberapa kilo saja. Tapi dengan menggunakan sepeda pun percuma, hari sudah hampir gelap. "Aarrghh ... daripada gak tenang gini mending pergi aja dah, gak peduli gelap juga." Devan kembali keluar rumah dan mengambil sepeda itu. Demi memaksakan perasaan batinnya, Devan rela pergi dalam keadaan lemah. "Lah, kemana sepedaku? Tadi ada di sini, kenapa sekarang malah gak ada?" Seorang lelaki sekitar setengah abad itu celingukan mencari kendaraan yang sempat ia bawa dari rumahnya. Setiap hari beliau selalu membawa sepeda ontelnya hanya untuk membawa padi dari hasil ia panen. Sebut saja namanya Ruslan, dia bekerja sebagai buruh tani. "Woy, Devan. Mau dibawa kemana sepeda ku? Devan ... woy ..." Pak Ruslan mengejar Devan yang sudah membawa sepedanya, sayangnya beliau sudah tertinggal jauh. "Anak kurang asem. Awas aja kalau pulang!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD