Senang sekali rasanya bisa menikmati malam yang indah ini. Sampai rasanya ini tidak pernah ada bahkan berani muncul di pikiranku. Dengan malam yang indah, di temani suasana yang menyenangkan dan tak lupa adalah orang yang menemani. Hmm... rasanya sangat sulit untuk mengungkapkan keindahan cinta.
Makanan sudah tersaji satu per satu di depan kita, hanya meninggalkan kami berdua saja dalam lingkupan kain itu. Merdunya musik pun perlahan berubah seiring waktu, sedangkan senyuman Dante padaku belum luntur sejak kembalinya diriku merias diri meski sebelumnya tadi ada sedikit hal yang tidak menyenangkan sampai membuat badanku bergetar.
Dengan begitu manisnya, Dante memotongkanku daging yang sudah di racik dengan sedemikian rupa, terlihat sangat enak namun sudah pasti tidak akan mengalahkan Dante seorang. Cukup beruntung bisa memakan makanan selezat dan semewah ini. Karena finansial yang naik turun, tidak pernah sekalipun bisa makan makanan yang seperti ini. Selalu di cukup-cukupkan bahkan pernah suatu hari hanya nasi dengan garam. Pahitnya kehidupanku tidak pernah lepas dari perjuangan ibu, membesarkanku seorang diri. Dan melihat makanan yang banyak di depanku ini membuat sedih. Disini aku menikmati makan malam, sedangkan ibu terbujur tidak sadarkan diri di rumah sakit. Anak macam apa diriku ini?.
"Kenapa? Makanannya tidak enak? Atau mau ganti menu? Mau apa?" Tanya Dante, sangat perhatian. Ternyata ia memperhatikan perubahan raut wajahku, sangat baik sekali. Rasanya sangat menyenangkan bisa memiliki orang yang masih perhatian sama kita.
Aku menggeleng, mencoba untuk tidak memberikan beban pikiran kepada Dante.
"Katakan saja, jangan seperti itu" Paksa Dante membuatku mau tidak mau harus mengungkapkan hal yang sebenarnya.
"Ibu" Hanya itu yang bisa aku sebutkan dengan harapan Dante bisa mengerti dan tidak bertanya lebih lagi. Jangan sampai suasana malam yang romantis ini harus berubah menjadi suasana yang dihabiskan untuk bersedih. Aku rindu ibu, semoga cepat sembuh.
Dante terdiam. Aku melihatnya dia, raut mukanya berubah. Ia melepas alat makannya dan hal ini tidak aku inginkan dari awal. Astaga, aku yang salah telah merubah suasana ini menjadi sama sekali tidak enak. Aku harus apa supaya kembali seperti semula?. Astaga Ana, kenapa kamu harus membuat semua orang kerepotan seperti ini?. Sudah beruntung Dante memberikanmu kemewahan sesaat, setidaknya kamu bisa merasakannya.
Please, aku harus melakukan apa supaya Dante tidak bersedih mengikuti suasana hatiku malam ini?. Bingung.
"Mmm... sepertinya kita jangan terlalu larut dalam kesedihan. Yang namanya hidup, pasti ada kalanya bersedih, ada kalanya senang. Sudahlah, kita lupakan itu sejenak dan kembali menikmati makan malam romantis ini" Aku berusaha untuk mencairkan suasana. Semoga bisa!.
Dante memandang ke arah lain, menghela nafas kasar. Sedikit membuatku tidak enak hati padanya karena sudah menyeretnya begitu dalam di urusan hidupku yang tak menentu ini. aku hanya memainkan kuku, bingung mau mengutarakan apa di depan Dante, sedangkan suasana di atas meja sudah sangat berubah. Menjadi canggung, bahkan lebih.
"Apa perlu kita membawa ibumu ke luar negeri untuk pengobatannya?. Aku tidak mau melihatmu bersedih lagi" Ujar Dante, ku mendengarnya dingin. Astaga, jangan sampai dia marah. Ingat Ana, Dante yang sekarang sangat berbeda dengan Dante yang kamu temui waktu kecil dulu. Dia sekarang punya segalanya, bahkan bisa membeli dirimu, tidak lagi cengeng.
"Tidak perlu, lagi pula ibu sudah mendapat penanganan yang maksimal. Kita tidak mungkin melawan alam seperti itu. Aku yakin, suatu hari ibu pasti akan tersenyum bersama dengan kita. Tidak perlu khawatir, aku tidak akan bersedih lagi. Ayo makan, sebelum kemalaman. Aku harus kembali ke rumah sakit untuk menjaga ibu" Aku sengaja memakan rakus makanan yang ada di depanku sekarang, tersenyum di depannya seakan melupakan semuanya. Sebenarnya itu hanya lah kepura-puraan saja, karena pada dasarnya ingin sekali muntah. Hmm, aku berharap tidak semudah itu untuk menjadi daging yang menggumpal.
Melihat perubahan dariku, Dante tersenyum. Bukannya malah makan seperti yang aku lakukan, ia malah berdiri dan memberikan tangannya di depanku. Sudah barang tentu aku kebingungan melihat tangannya.
"Ada apa?" Tanyaku. Makanan masih belum sepenuhnya di kunyah olehku. Please deh, lama-lama kesal juga jika hal seperti ini terjadi terus.
"Berdiri!"
Mau tidak mau, aku berdiri. Memegang tangannya. Ternyata oh ternyata, ia mengajakku untuk berdansa. Memelukku layaknya sedang berdansa pada sebuah pesta.
"Dante, kita ngapain dansa segala? Makanan belum habis, nanti kita mual kalau sekali makan, sekali dansa" Bisikku. Sedikit menyayangkan makanan yang terabaikan begitu saja.
"Hmm... aku hanya mencoba untuk membuatmu bahagia dan melupakan sejenak segala kesedihan yang ada. Aku mau hari-harimu bahagia, selamanya. Denganku, bersama kita saling mencintai" Bisik Dante, sedikit geli.
Sepertinya ia sedang memancingku. Namun aku sedikit tersentil dengan ucapannya tentang kebersamaan. Nyatanya, kami akan berpisah. Entah dalam waktu dekat ini, atau nanti. Entah pada saat aku sudah berhasil memberinya anak, atau ketika nanti istri sahnya mengetahui hubungan gelap ini. Pada akhirnya hanya aku yang akan tersakiti, membawa luka dengan tubuh bersimbah lara.
Pada akhirnya, hanya aku yang tersakiti.
***
Sudah larut malam baru kami pulang. Itu pun aku memaksa Dante untuk membawaku ke rumah sakit secepat mungkin. Meski aku bahagia malam ini, tidak menutup kemungkinan aku juga tetap memikirkan ibu yang belum sadarkan diri.
Namun dengan satu syarat. Jika aku tidak menyetujui syarat itu, mungkin Dante akan membawaku ke tempat entah berantah lagi. Syaratnya adalah menemaninya ke Bali, untuk urusan bisnis. Aku tidak punya pilihan lain, selian nurut dan nurut atau pikiranku akan melayang ke sembarang arah.
Sebenarnya aku cukup curiga dengan Dante. Dia terlalu memaksaku untuk menemaninya dalam urusan bisnis kali ini. Untuk apa aku disana? sebagai boneka yang nurut saja kemana pun dia melangkah?. Oh no, aku tidak mau bersikap bodoh seperti itu.
Aku sangat yakin kalau Dante punya rencana sendiri kali ini. Dan kita tunggu, rencananya akan seperti apa. Jujur saja, aku agak takut. Bagaimana jika nanti ada yang menangkap kita sedang berduaan, sedangkan yang orang tahu Gio itu memiliki seorang istri. Tidak tahu lagi, toh juga pada dasarnya aku sudah di bayar untuk menuruti segala macam perintahnya. Bahkan harga diriku pun menunduk hormat pada kekuasaannya.
"Istirahat lebih pagi. Malam ini aku akan menyiapkan segala macam keperluanmu untuk pergi ke Bali" Dante mencium keningku, di depan pintu ruang rawat ibu. Agak was-was juga, bagaimana jika ada orang yang lewat?.
"Hmm... sebenarnya kamu tidak perlu melakukan itu. Dan apakah aku harus ikut denganmu besok? Kamu masih punya banyak pengawal yang bisa menemanimu, jadi aku tidak harus" Semoga dia mengizinkan untuk tidak pergi dengannya
"Kamu, harus!" Sudah tidak ada harapan lagi.
Astaga, tidak. Ada satu harapan lagi.
"Tapi, ibu? Dia harus ada yang jaga, 24 jam"
"Tidak. Aku sudah menyuruh seseorang untuk menjaganya Sudahlah, jangan mengelak lagi. Kamu harus ikut denganku, besok!"
Mau tidak mau, suka tidak suka, karena aku sudah menjadi boneka. Huft, seorang boneka yang malang.
"Baiklah" Ujarku terpaksa.