4. Masih Sama

1162 Words
Kela masih dalam mood yang tidak baik ketika wanita itu tiba di tokonya. Namun karena keadaan toko yang cukup ramai membuatnya mau tidak mau harus tersenyum juga untuk menyapa pelanggannya. Mikela menuju ruang kerja yang ia buat khusus untuknya. Saat baru saja akan mendudukkan diri dikursinya, tiba-tiba saja asisten wanita itu mengetuk pintu. Mikela menyuruh asistennya untuk masuk. "Kenapa?" tanya Kela saat asistennya sudah berada tepat di depan mejanya. "Ada clien, Mbak!" ujar Sukmawati, si asiten. Kela berdecak, agak merasa heran dengan asistennya ini. Biasanya juga kalau ada clien langsung disuruh masuk dan duduk diruang rapat yang tidak jauh dari meja kerjanya. Ini kenapa harus diberitahu segala? "Siapa Suk?" tanyanya. Sukmawati atau biasa dipanggil Sukma a.k.a Suk itu mengedikan bahu. "Katanya penting, Mbak. Sukma juga baru pertama kali lihat orang ini," jelas Sukmawati. Kela mengerutkan keningnya, "suruh masuk aja, Suk!" Sukmawati menganggukkan kepalanya. Dia membuka pintu dan keluar hingga beberapa menit kemudian pintu kembali terbuka. "Maaf Mbak, orangnya minta dijemput sama Mbak langsung, saya harus gimana, Mbak?" "Ck. Siapa sih Suk? Ngerepotin aja deh!" kesalnya. Tapi Kela memaksakan kakinya melangkah meninggalkan ruanganya juga. Mau tak mau dia harus tau siapa tamu atau clien yang diceritakan Sukmawati tadi. "Mikela sayang??!!!!" teriak orang itu saat Kela baru saja sampai di ruang tunggu. Kela menganga setengah tak percaya dengan penampakan di depannya. "Kamu? Li..li?" anggukan itu menandakan bahwa clien yang diceritakan asistennya adalah Lili. Tapi Kela sedikit tak percaya melihat perubahan yang ada pada Lili. Dia jauh berbeda dari yang dulu. "Ini Li..li?" tanya Kela meyakinkan dirinya sendiri. Lili memutar bola matanya sebelum cengiran ciri khas miliknya menyadarkan Kela bahwa makhluk dihadapannya ini benar-benar Lili. Gingsul itu adalah pertanda yang nyata. "Kela sayang peluk gue dong!!" Lili merentangkan kedua tangannya. Dengan senang hati Kela menyambut pelukan itu, "kangen banget sama lo, Li." Ucap Kela disela-sela pelukannya. "Gue juga," balas Lili. Kela mengajak Lili ke ruangannya. Lili adalah sahabatnya waktu ia kuliah diluar negeri dulu. Mereka berpisah sejak masing-masing sudah lulus kuliah dan mengambil jalannya sendiri-sendiri. Kela memilih kembali ke Indonesia untuk membuka toke kue sedangkan Lili memilih tetap berada di sana karena katanya ingin mencari suami bule. 'Ntar gue pulang bawa bule, Kel. Lo jangan sedih ya kalo gue nikah duluan' Mikela terkekeh ketika mengingat ucapan Lili dulu. "Tunggu," katanya. "jadi lo pulang karena mau nikah?" tanyanya. Jawaban Lili membuat Kela menganga, "yes I am," kata Lili bangga. Mata Kela mengerjap lucu, "bule?" tanyanya lagi. "Buleee Kellll. Gila gue senang banget tau gak? Akhirnya gue nikah juga sama bule," raut bahagia dari wajah Lili cukup membuat Kela yakin kalau sahabatnya ini sedang tidak berbohong. "Kenapa gak lo ajak sekalian sih, Li? Kenalin kek sama gue." "Enak aja! Nanti si bule malah naksir lagi sama lo dan gak jadi nikahin gue," "Eh?" Kela merasa ada yang aneh di sini. Kenapa Lili takut calon suaminya naksir lagi dengannya? "Jangan bilang lo nikah sama Gerald? Cinta pertama lo, yang cinta pertamanya adalah gue?" Kela menunjuk dirinya sendiri dan bingo! Tebakannya benar melihat bagaimana reaksi Lili sekarang. Dia bersungut, cemburut karena cemburu? Seriously? "Jadi bener? Dan lo masih cemburu?" tanya Kela. "Ya iyalah b**o! Secara gue ngejar dia udah kayak ngejar apaan?! Susah benget ditaklukin." Jawab Lili. "Tapi sekarang Gerald udah kelepek-kelepek kok sama gue," kini giliran Kela yang geram sendiri. Tadi Lili ketakutan setengah mati si Gerald naksir lagi sama dia dan sekarang? Ck dasar labil. "Jadi lo nikah di mana?? Jakarta atau tetap di luar negeri??" tanya Kela. Lili menggerak-gerakan telunjuknya di depan wajahnya sendiri, "Jakarta dong. Mama Papa gue juga mau anaknya ini nikah di Jakarta aja." Kela menganggukan kepalanya. "Lo ke sini mau ngasih gue rezeki, kan?" candanya. "Iya gue mau sekalian pesan kue buat pernikahan gue nanti hehe, tapi yang spesial ya!" ujarnya. "Kue buatan gue gak ada yang gak spesial, Li, karena gue bikin kuenya dengan hati," Kela menggerak-gerakan alisnya. "Asekkkk," "Ngomong-ngomong berhubung kita udah bahas soal hati, gue mau tanya apa kabar hati lo itu?" Kela terdiam setelah mendengar pertanyaan itu. Iya, apa kabar dengan hatinya? Karena tak ingin terlalu larut dengan pertanyaan itu cepat-cepat Kela mengalihkan pembicaraan. "Eh emang kapan sih lo mau nikahnya?" Lili tahu sahabatnya sedang berusaha mengalihkan pembicaran. Dari caranya mengalihkan pembicaraan ini Lili tahu Kela masih sama seperti terakhir kali mereka bertemu. Tapi Lili harus membuat Kela sadar dari kesakitan yang telah lama tinggal di hatinya itu. Lili mendengus, "gue tanya hati lo! Jadi jangan ganti topik dulu deh!" Kela menghembuskan napasnya dengan lirih. Dia tahu Lili tak mudah untuk dihindari. "Seperti yang lo tebak, Li. Gue masih sama," ada mendung di wajahnya. Selain itu bibir Kela terlihat enggan untuk tersenyum. "Hati gue masih seperti dulu dan gue gak peduli dengan itu." lanjutnya. Lili menghampiri Kela dan memeluk wanita cantik itu. Lili tak berniat membuat sahabatnya kembali mengingat masa lalunya. Tapi satu yang Lili pelajari hari ini, Kela tak pernah berubah, hanya penampilannya saja yang jauh lebih dewasa tapi hatinya masih sama. Bahkan kepura-puraan yang ia sampaikan pun masih sama. Dia seolah tak peduli dengan apa yang pernah ia rasakan padahal diam-diam dia masih tenggelam dalam kenangan yang menyakitkan.  Sekali ini saja Lili berjanji akan membantu Kela untuk menggapai kebahagian lain dan melupakan kebahagian yang pernah terenggut oleh masa lalunya dan semoga Tuhan memberi jalan atas niat baiknya itu. "Gue nikahnya bulan depan, lo harus datang. Dres lo nanti harus mirip sama Mama, Papa dan adik gue. Lo udah pernah datang ke rumah, kan?" Lili yang kini sengaja mengalihkan pembicaraan. Dia bahkan menjawab pertanyaan yang beberapa saat lalu Kela tanyakan.  Mendung di wajah Kela perlahan berganti dengan senyum yang memperlihatkan gigi putihnya. Kela mengangguk antusias. Namun reaksi itu membuat Lili meringis, Kela tak seperti kebanyakan wanita dewasa lainnya yang tiba-tiba menjadi galau jika melihat orang lain yang seumuran dengannya menikah. Kela berbeda, dia biasa saja. Itu karena hatinya sudah teramat beku tentang laki-laki dan sebuah hubungan. Kepercayaannya terhadap kaum itu sudah hilang sejak ia berumur tujuh belas tahun, kemudian bertambah parah ketika mereka masih di luar negeri dulu. Sibuk dengan pikirannya sendiri membuat Lili tanpa sadar menghembuskan napasnya dengan lirih. Hal itu mengundang tanya dalam benak Kela. Dia mengutarakannya pada Lili. "Kenapa?" Lili mengerjapkan mata berulang kali, dia mengalihkan perhatian Kela pada handphonenya yang berbunyi. "Gerald sudah di Indonesia. Aku akan pulang," beruntung calon suaminya itu memberinya kabar sehingga dapat ia jadikan alasan untuk menghindari pertanyaan Kela. Mereka berdua meninggalkan ruangan itu untuk menuju parkiran. "Nanti gue telpon ya!" ujarnya. "Iya. Hati-hati ya calon pengantin," balas Kela saat Lili membuka pintu mobilnya dan mulai menjalankan benda itu. Kela masih berdiri di tempatnya sampai mobil Lili tak kelihatan lagi. Kini hanya ada hening. Keramaian di dalam tokonya sama sekali tak mempengaruhi kesunyian yang dia rasakan. "Masih sama, ya?" tanyanya dalam diam. Kela meletakan telapak tangannya tepat di mana hatinya masih berteriak kesakitan atas masa lalunya itu. Kela mendengus. "Apa peduliku?" selalu seperti ini, dia akan kembali berpura-pura bahwa dunianya baik-baik saja. Tak perlu ada air mata lagi. Dia kuat dan itu adalah sebuah keharusan. . . . Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD