Mita terkejut saat merasakan pipinya ditepuk-tepuk lembut oleh seseorang, ia langsung membuka mata dan mengerjapkan matanya berkali-kali membuat lehernya sakit. Ternyata selama perjalanan pulang ke rumah ia tertidur dan sekarang sudah sampai tepat di depan rumah mereka.
"Dik, bangun. Sudah sampai," ujar Kak Anjani lembut.
"Iya, Kak. Maaf Mita ketiduran," balasnya mengucek-ngucek mata.
"Engga pa-pa, Dik. Ayo kita turun," ajaknya mengulurkan tangan mengajak adiknya untuk turun dan masuk ke dalam rumah.
"Bergandengan tangannya nanti Kak, saat Mita sudah turun saja. Kalau sekarang kita bisa jatuh berdua, hehe," ucapnya terkekeh. Mita ini ada-ada saja tingkahnya membuat Kak Anjani tersenyum lembut.
Mereka berdua masuk ke dalam rumah disambut hangat oleh Bundanya dan Ayahnya. Senyum bahagia melihat anak-anaknya sudah kembali tepat waktu sebelum maghrib tiba. Dan tanpa ada yang mengetahuinya, Ayah berharap Mita bertemu dengan lelaki yang memang sudah dirancang sedemikian rupanya.
"Pada mandi dulu gih, Sayang. Biar bersih dan segar," ucap Bunda. Mereka bertiga mengangguk patuh dan berjalan ke kamar masing-masing.
Saat Mita hendak mandi, ponselnya berdering namun ternyata itu nomor baru membuatnya enggan untuk mengangkat telepon tersebut dan ia lebih memilih untuk mandi. Ia menyegarkan diri dengan berendam air hangat, menenangkan semua pikiran yang ada di dalam otaknya. Menyegarkan tubuhnya dengan aroma lavender yang memenuhi ruangan kamar mandi. Ia sangat menyukai aroma lavender, karena menurutnya sangat menyegarkan tiap menghirupnya lebih dalam.
Puas menenangkan dan menyegarkan diri, ia mulai beranjak dan bergegas memakai piyamanya lalu keluar kamar untuk berkumpul bersama keluarga. Di ruang keluarga ternyata sudah ada Kak Anjani dan Mas Rizky yang sedang menyantap cemilan juga teh hangat yang disediakan oleh Mbok.
"Pasti berendam," ucap Kak Anjani menebak kelakuan adiknya itu.
"Hehe, Kakak tau aja," balasnya terkekeh.
"Apa sih yang Kakak engga tau semua tentang kamu, Dik."
"Hahaha, jelas semua tau karena kakak adalah kakak aku yang tersayang," ucap Mita dan memeluk Kak Anjani yang berada di sampingnya.
"Bagaimana acara tadi?"
"Biasa aja Ayah, seperti acara-acara halal bihalal pada umunya saja. Engga ada yang beda kok, ya 'kan, Mita?"
"Iya, Kak. Betul ayah kata Kak Anjani, biasa saja dan lebih membosankan."
"Kenapa membosankan, Nak?"
"Sebab, tidak ada yang kenal haha. Dan aku, dipanggil anak kecil oleh Om-om."
"Om-om?" tanya Ayah dan Bunda serempak membuat Kak Anjani dan Mas Rizky terkekeh.
"Yang dimaksud Om-om oleh Adik Mita itu Imam Hamdali, Ayah. Anaknya Emak Juleha itu loh, Ayah," jelas Mas Rizky. Ayah mengangguk lalu tersenyum manis.
"Oh iya? Tumben sekali dia datang," ujar Bunda bingung.
"Entahlah, Bun. Mita tak mengenalnya, orang aneh. Seenaknya saja dia panggil Mita dengan sebutan anak kecil! Sebal!"
"Mita, tidak boleh begitu dong, Nak," ucap Ayah mengingatkan. Mita acuh saja mendengar ucapan ayahnya itu.
"Mita keki loh ayah dikatain anak kecil, padahal dia memang masih anak kecil 'kan? Haha," ledek Kak Anjani.
"Mamih, mulai deh!" pekik Mas Rizky menegur istrinya yang menyebalkan itu.
"Mamih! Jangan nakal! Mita cubit nih!" pekik Mita gemas, kakaknya itu sangat menyebalkan sekali menurutnya.
"Mita! Nakal deh ah!" pekik Kak Anjani mengelus pipinya yang berhasil di cubit oleh adiknya itu.
"Kalian itu, berantem aja kerjaannya. Sudah diam, pusing Ayah melihat kalian seperti itu," ucapnya tegas. Kedua anaknya terkekeh setelah ditegur oleh sang ayah.
Banyak sekali yang mereka bicarakan dan lebih banyak membicarakan apa saja yang dilakukan tadi selama di Kota Tegal. Mas Rizky yang selalu menjawab pertanyaan ayah, sedangkan Mita selalu acuh ketika di tanya dan fokus pada tontonan kartunnya. Ayahnya hanya menggelengkan kepala tiap kali diacuhkan anak bungsunya itu.
Mita … untung saja kamu engga tau rencana Ayah, Nak …, gumamnya lirih dalam hati.
Ayahnya sudah tidak akan punya jawaban jika anak bungsunya itu mengetahui rencana terselubungnya. Kira-kira apakah rencana terselubung ayah? Sepertinya hanya Ayah Dodo seorang dirumah tersebut yang mengetahui maksud hatinya, bahkan istrinya sendiri pun tidak diberitahu olehnya.
***
Maghrib pun tiba, mereka semua kembali ke kamar masing-masing untuk menunaikan kewajibannya. Sedari tadi, Mita tak mengecek ponselnya sehingga membuatnya terkejut saat melihat ada puluhan panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal dan juga ada pesannya. Ia menyeritkan dahinya, siapakah gerangan yang menghubunginya itu. Sepenting apa sehingga harus menghubunginya berkali-kali.
Seperti orang tidak tau etika, maghrib-maghrib menelpon. Masa bodo ah, lebih baik aku sholat dulu, gumamnya.
Mita melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, ia menggelar sajadah indahnya dan mulai menunaikan kewajibannya. Ia bersujud kepada sang pemilik bumi dan isinya, tak luput mendoakan ayahnya yang sedang tidak enak badan agar segera pulih kembali. Ia menengadahkan kedua tangannya ke atap langit, lantunan doa yang dipanjatkan selalu merdu, permintaanya selalu dengan suara yang lembut, membuat siapapun akan terpana dengan suara indahnya.
Setelah selesai, ia berniat ke bawah untuk makan malam, namun tiba-tiba ponselnya berdering kembali. Ia menyeritkan dahinya, sebab itu masih dengan nomor yang sama. Dengan ragu, ia mencoba menjawab telepon tersebut, namun tetap diam tak bersuara.
"Assalamualaikum, gadis kecil," ucap seseorang di seberang sana. Mita mulai berpikir, ia merasa mengenal suara ini namun siapa. Mita mencoba mengingat-ingat sebab ia memang tidak asing dengan suara dan panggilan tersebut.
"Gadis kecil! Kenapa kau hanya diam saja? Ini aku, Imam Hamdali."
Gotcha! Benar saja 'kan, orang itu lagi. Malas sekali aku dibuatnya. Seenaknya saja dia memanggilku gadis kecil, ocehnya dalam hati.
"Waalaikumsalam. Ada apa?"
"Kenapa kau sangat jutek sekali? Heum? Save nomorku ya, hanya ingin tau sudah sampai di rumah belum."
"Oh … sudah."
"Ya sudah kalau begitu. Jangan lupa makan dan sholat isya ya, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Dasar orang aneh! Enggak jelas banget sih! Tujuannya telepon itu apa coba? Heran! Lagi pula, siapa yang memberikan nomor teleponku padanya! Kesal sekali, gerutunya kesal.
***
Mita menyimpan kembali ponselnya di atas nakas, lalu ia berjalan keluar kamar menuju dapur untuk makan malam bersama keluarga. Di meja makan sudah pada berkumpul dan tinggal Mita yang belum duduk manis di sana. Saat Mita datang sangat disambut dengan baik.
Tidak banyak yang dibicarakan, mereka hanya makan dalam diam karena memang ayah tidak memperbolehkan ada obrolan saat sedang makan. Setelah selesai makan, mereka kembali ke kamar masing-masing namun tidak dengan Mita. Gadis mungil itu justru pergi ke kamar ayah dan bundanya.
"Ayah, Bunda," panggilnya mengetuk pintu kamar.
"Iya Nak, masuk," balas Ayah mengintrupsi.
"Lagi pada apa?" tanya Mita melongokkan kepalanya dan tersenyum manis.
"Sini Nak, jangan disitu," panggil Bunda agar Mita mendekat ke arah mereka. Mita mengangguk patuh dan masuk ke dalam kamar, berjalan ke arah mereka lalu duduk manis di sebelah ayahnya. Tangannya terulur dengan sangat ringannya untuk memijat kaki ayahnya.
"Ayah, bagaimana sudah enakan?"
"Sudah Nak. Kenapa?"
"Enggak pa-pa, Mita hanya takut Ayah kenapa-kenapa saja. Ayah jangan cape-cape dong, banyakin istirahat aja."
"Ayah enggak pa-pa, Mita. Mungkin Ayah sedang kecapean dan memang butuh istirahat total. Tenang saja ya, Ayah baik-baik saja."
"Syukurlah kalau begitu, Ayah."
"Hm … Ayah … Imam Hamdali tuh siapa sih? Menyebalkan sekali dia itu, selalu panggil Mita dengan sebutan gadis kecil. Tadi juga dia menelpon terus-menerus entahlah dapat nomor ponsel Mita dari mana. Mungkin saja ini ya, Kak Anjani atau Mas Rizky yang kasih nomor ponsel Mita. Suka sebal tuh Ayah kalau kasih nomor tidak izin dulu, huft."
"Ya ampun, anak Bunda ini kalau sudah bicara panjang sekali macam kereta. Pelan-pelan bisa, Nak? Kasih jeda gitu di setiap kata yang dilontarkan bisa 'kan? Jangan ditrabas aja kayak jalan tol," ucap Bunda terkekeh melihat tingkah anaknya itu.
"Hehe, maaf ya Bun. Habisnya, Mita kesal sekali Bun! Kenapa Kak Anjani dan Mas Rizky seenaknya kasih nomor Mita."
"Memang kenapa sih sayang? Ada apa dengan Alinya?"
"Ya enggak pa-pa sih, Ayah. Cuman menyebalkan saja orang tua satu itu."
"Hush, sayang enggak boleh bicara seperti itu. Mungkin ia hanya ingin berkenalan saja tidak lebih, enggak boleh bersikap seperti itu ya, tidak baik."
"Berkenalan? Bukankah kita semua bersaudara? Kenapa harus berkenalan, Bunda?"
"Ya memang bersaudara, tapi kalian semua 'kan sudah lama tidak bertemu, mungkin saja lupa wajah masing-masing saudaranya."
"Aneh sekali bisa lupa, mungkin itu hanya alasannya saja untuk mengejek Mita, Bunda."
"Sudahlah Nak, memang masalahnya ada dimana jika ia benar-benar ingin berkenalan denganmu?"
"Enggak ada masalah Ayah, cuman Mita enggak suka kalau laki-laki menelpon tidak tau waktu. Maghrib itu waktunya sholat, mengadu pada gusti Allah eh ini dia malah menelpon terus-menerus tanpa henti."
"Ya sudah, maafkan saja, Nak. Memaafkan seseorang itu mulia loh, jangan kotori hatimu dengan rasa kesal yang terlalu dalam. Hati-hati bisa jadi cinta nanti kau, Nak hehe," balas Ayah terkekeh. Ayah hanya tersenyum saja memandang anak bungsunya yang sedang kesal itu.
Bunda hanya menggelengkan kepala saja, pasalnya anak bungsunya itu akan sangat cerewet sekali apabila menemukan hal atau mendapati suatu hal yang memang tidak ia sukai. Jadi ini adalah hal yang wajar, hanya saja gadisnya itu sering kali kebablasan bicara jika sudah tak menyukai suatu hal. Maka dari itu, seringkali Ayah dan Bundanya lah yang mengerem ucapan dan juga tindakan Mita agar tidak keterlaluan terhadap orang lain terlebih lagi lawan jenis.
***
Sudah seminggu setelah acara halal bihalal Ali masih terus menghubungi Mita dengan segala cara dan alasan klasik yang menurut gadis mungil itu enggak mutu. Sering kali Ali tidak di hiraukan oleh Mita dan sering kali Mita di buat muak oleh Ali. Mita seperti menjaga jarak pada lelaki itu, memang pada dasarnya Mita tidak ingin dekat dengan lelaki manapun dulu. Saat ini, yang ada di pikirannya adalah kuliah hingga selesai dan membuat Ayah bangga.
Jika diakui, Mita adalah gadis yang digandrungi para lelaki tampan dan kaya, sayangnya gadis itu tidak melihat lelaki dari semua itu melainkan dari akhlak dan juga imannya. Mita lebih menghargai lelaki yang bisa menghormati dan menghargai wanitanya seperti lelaki tersebut menghargai dan menghormati ibunya. Menurut Mita, lelaki yang seperti itu suatu saat nanti pasti akan sangat menyayangi keluarga kecilnya karena terbukti sangat menyayangi ibunya.
Sebenarnya, dalam seminggu ini Ali sudah sering sekali memberi kode untuk bisa lebih dekat dengan Mita, namun lagi-lagi Mita memberi batasan sebuah tembok besar yang susah sekali ditembus atau dirubuhkan. Ali hampir frustasi dan tidak tahu lagi cara apa yang harus dilancarkan agar hati gadis itu luluh dan mau menerima Ali perlahan-lahan masuk ke dalam kehidupannya, kesehariannya, kedunianya dan juga dirinya.
Mita lambat laun sadar akan perubahan Ali, ia bukannya luluh dan membuka hatinya justru malah semakin memberikan batasan dan tembok besar. Ia hanya menganggap Ali sebagai Om dan tidak lebih dari itu, karena memang dalam silsilahnya Ali adalah Om dari Anjani dan Mita. Itu karena, Neneknya Ali adalah adik dari Neneknya Mita lalu Neneknya Mita meninggal dan Adiknya-Neneknya Ali- menikah dengan Kakek Mita. Rumit? Iya sangat, tapi ya memang seperti itulah silsilahnya.
Saat ini, Mita sedang duduk bersantai di balkon kamarnya. Duduk sambil memeluk kedua kakinya dan menerawang jauh ke depan. Dalam hatinya yang paling dalam, ia merasakan kenyamanan saat diberikan perhatian luar biasa oleh Ali, namun entah mengapa hatinya masih ragu dan sedikit menolaknya. Entah sebabnya apa, tetapi ada gejolak aneh yang membuatnya masih enggan memberi Ali sebuah kesempatan.
Ya Allah sebenarnya apa yang membuatku ragu terhadapnya ya? Kok rasanya seperti ini sekali, satu sisi aku terbuai karena perhatiannya namun sisi lain aku enggan memberi kesempatan padanya, gerutunya.
Ya Allah, jika memang dia adalah jodohku maka tolong dekatkan dengan cara Mu, namun jika memang dia bukan jodohku maka jauhkan juga dengan cara Mu. Sungguh, aku tak ingin terjebak dalam sebuah rasa yang aku sendiri belum paham ini adalah perasaan apa. Ya Allah, aku tak ingin rasaku padamu berkurang jika ia mulai masuk ke dalam kehidupanku. Saat ini, aku membutuhkan lelaki yang sama-sama mencintaimu dengan tulus tanpa maksud terselubung.
Ya Allah jauhkan dia sejauh mungkin jika ia mempunyai maksud tak baik, doa Mita sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas langit. Ia berharap doanya terdengar hingga langit ketujuh.