Mita melihat ke setiap sudut tak ada satupun makanan yang terlihat, bahkan beras pun tak ada, hari pertama di Bogor ia benar-benar hanya minum air mineral tanpa makan sedikit pun. Sebenarnya, ia membawa uang namun bingung harus membeli makan kemana, lagi pula pesan suaminya adalah untuk tidak keluar dari kamar. Dulu, sebelum menikah Bunda menitipkan pesan bahwa jangan pernah membantah ucapan suami dan jangan keluar rumah tanpa izin suami, Mita tidak ingin menjadi suami yang pembangkang dan ia berusaha menahan rasa laparnya.
Ia pikir, honeymoon akan menyenangkan ini justru sangat membuat derita. Dipikir akan makan bersama berdua dengan mesra, ini justru suaminya asik makan sendiri di dapur umum tanpa memperdulikan istrinya. Mita pikir, saat ini ia mempunyai suami walaupun membawa uang seharusnya ada suami yang tanggung jawab pada dirinya termasuk untuk urusan makan. Malam hari tiba, selepas maghrib ia baru datang ke kamar dan lagi-lagi memberitahu bahwa sudah makan di dapur umum.
Mas Ali makan sendiri tanpa mengingat istrinya sudah makan atau belum? Lelaki macam apa dia ini? Meninggalkan istri sendirian di kamar tanpa makanan sedikitpun, gerutunya dalam hati. Mita harus meneguk kembali air mineral, mungkin saat ini tubuh Mita penuh dengan air karena ia merasa sangat kembung sekali.
Menjelang malam, pintu diketuk seseorang dan ternyata ada beberapa orang berkunjung, termasuk amah-amah dan juga kepala sekolah. Mereka berbincang di depan kamar, Ali tak mengajak istrinya untuk ikut serta dalam obrolan. Mita sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran suaminya itu, benar-benar berubah tidak seperti awal merayu dan meminta menikah. Sekarang, semua sikap dan sifat jeleknya perlahan mulai terlihat. Mita sengaja berniat menguping pembicaraan mereka diluar dengan menempelkan telinganya ke pintu.
Ada canda tawa suara amah-amah dan kepala sekolah yang mungkin mengusili Ali dan membuat lelaki itu malu. Kepala sekolah juga banyak bercerita mengenai masa lalunya saat awal-awal manisnya menikah hingga saat ini dan Mita yakin istri dari Kepala Sekolah tersebut pasti akan tersipu malu mendengarnya.
"Barakallah ya ustad, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah," ucap Kepala sekolah di sela-sela obrolan mereka.
"Aamiin, terimakasih ustad."
"Ngomong-ngomong tadi dari Pekalongan jam berapa dan sampai sini jam berapa?"
"Dari Pekalongan pagi tad, dan sampai di pondok menjelang dzuhur."
"Antum kesini bersama istri 'kan?" tanyanya mungkin heran karena sejak tadi tak melihat keberadaan Mita.
"Betul ustad, kemari bersama istri."
"Lalu dimana istrimu, tad? Tinggal dimana kalian?"
"Di kamar, ustad."
"Di kamar bujang? Yang benar saja ustad Ali, masa kalian tinggal di kamar bujang. Ana siapkan kamar untuk kalian tinggal ya? Biar nyaman dan tidak merasa terganggu, kalau di kamar bujang kasihan, takut istri antum tidak nyaman," ucap Kepsek memberi saran.
"Iya di kamar bujang. Tidak usah, ustad. Lagian kamar bujang saat ini kosong, teman-teman yang lain 'kan sedang ada tugas di luar. Lagipula istri ana disini cuman seminggu saja, lalu kembali lagi ke Pekalongan karena harus kembali mengajar dan masa cutinya habis," jelas Ali. Mita menggerutu di kamar, ia merasa suaminya itu bermuka dua dan berkepribadian ganda, bisa-bisanya lelaki itu memakai topeng saat berada di rumah dan di pondok.
"Ustad, antum seharian ini makan di dapur umum sendirian? Lalu istri antum bagaimana? Bawa jugalah sekalian istri antum, lebih enak kalau makan bersama."
"Baik, ustad. Nanti ana akan ke dapur umum untuk membawakan istri makanan dan makan bersama di dalam kamar."
"Nah, begitu 'kan lebih baik. Jadi terlihat sekali penganten barunya, hehe," canda Kepsek dan beliau pamit kembali ke rumah tak lupa mengingatkan Ali ambil makan malam untuk istrinya.
Lalu Ali ikut keluar bersama kepsek dan amah-amah. Ia berjalan menuju dapur umum untuk mengambil sepiring nasi dan tempe 3 balok lalu dibawa ke dalam kamar. Mita melihat Ali membawa sepiring nasi itu dengan mata berbinar dan merasa sangat bersyukur suaminya mengambilkan makan. Rasa lapar sudah mendera perutnya, ia merasa tak tahan lagi untuk menahan rasa lapar yang luar biasa membuat perutnya sakit dan terasa seperti di tusuk-tusuk. Mita makan bersama Ali dan nyatanya ia hanya memakan beberapa suapan saja selebihnya suaminya lah yang menghabiskan makanan itu. Mita merasa kesal namun ia juga bersyukur lumayan beberapa suap untuk mengganjal rasa sakit perutnya. Mita meminum kembali air mineral agar merasa kenyang, bukan kenyang yang didapat melainkan kembung.
***
Malam semakin larut, hawa dingin semakin terasa menusuk ke tubuh dan tembus ke dalam tulang. Mita merasa malam itu akan menghabiskan malam bersama berdua saling membelai, mencinta dan menyatu. Namun lagi-lagi semua itu diluar ekspetasi Mita, mereka memang menghabiskan waktu bersama dan berdua tetapi hanya untuk menonton film blue saja. Suaminya hanya fokus ke ponsel dan meraba setiap inci tubuh Mita tanpa menyentuh dan melakukan lebih, setelah merasa puas dengan bermain fantasi sendiri, ia menghempaskan Mita begitu saja tanpa memasukinya dan meninggalkannya dengan tertidur pulas. Kesal bukan main Mita saat itu, karena ia merasa hanya sebagai bahan permainannya setelah puas ditinggal tidur begitu saja. Mita membalikkan tubuhnya dan memakai kembali pakaiannya lalu bergegas tidur dengan penuh kekesalan.
Mencoba memejamkan matanya, namun rasanya sulit sekali. Ia bingung sekarang harus ngapain, dulu sebelum menikah jika tak bisa tidur ada sahabat pena yang selalu bisa ia curahkan semua hati dan perasaannya. Namun, sekarang sahabat penanya itu tertinggal di Pekalongan membuatnya tak bisa mencurahkan semua isi hatinya. Jam dinding sudah menunjukkan larut malam namun mata indah itu belum juga mau terpejam, ia sudah bersholawat tetapi tetap saja tak bisa tertidur.
Pikirannya mulai menerawang, di rumah Bunda dan Kakaknya sedang apa, Mita mulai merindukan mereka. Ia berpikir, jika keadaannya seperti ini sejak awal tak akan mau untuk ikut ke Bogor. Janjinya honeymoon dan berlibur di puncak, nyatanya hanya berada di dalam kamar, ditinggal sendirian, tanpa makanan dan juga cemilan. Mita merasa tertipu dengan sikap Ali dan merasa memang ada yang tidak beres dengan suaminya itu. Berkali-kali membuang semua pikiran buruk itu namun keadaan selalu menunjukkan pada yang buruk.
Cukup lama juga Mita tak bisa tidur hingga waktu sepertiga malam tiba, ia mengambil air wudhu dan menggelar sajadah indahnya, menumpahkan semua isi hatinya dalam sujud dan doanya. Ia menangis dalam diam, jika seseorang menangis dalam diamnya itu artinya seseorang tersebut sedang merasakan luka yang sangat mendalam. Ingatannya mulai berputar, masa lalu bersama keluarga menari-nari di otak dan pikirannya membuat hatinya gunda gulana. Ia menengadahkan kedua tangannya ke atas, memohon ampun dan menceritakan semua proses yang terjadi ini. Berdoa agar suaminya kembali seperti awal saat mereka menikah. Ia berharap doanya sampai hingga langit ketujuh.
Setelah puas mencurahkan semua isi hatinya pada Gusti Allah, ia merapikan kembali sajadah dan mukena lalu pergi tidur dan akhirnya ia bisa tertidur pulas hingga subuh tiba. Mita membangunkan suaminya untuk sholat subuh berjamaah, setelah sholat subuh mereka berdua berbaring bersama di atas ranjang. Matahari perlahan namun pasti mulai naik ke permukaan bumi menunjukkan kecerahan dan senyum indahnya membuat siapapun akan tersenyum saat menyambutnya. Ali mulai kembali meraba setiap inci dari tubuh istrinya, ternyata lelaki itu sudah menyiapkan banyak file film blue yang membuat Mita membelalakan matanya tak percaya dengan kelakuan suaminya yang mendadak aneh.
Ali mulai memeluk Mita dengan sangat erat, menghirup aroma lavender yang keluar dari tubuh istrinya itu. Aroma yang selalu membuatnya terbuai dan memabukkan setiap saat sedang bersama. Ali meraba gundukan daging itu kembali dan mulai meremasnya perlahan.
"Dik, kenapa gundukanmu sekecil ini? Apa tak bisa semontok yang di film ini?"
"Bagaimana caranya untuk bisa montok, Mas?" Lagi-lagi pertanyaan dilontarkan padanya agar ia berpikir. Mita sama sekali tak mengerti bagaimana lagi caranya membuat suaminya itu tidak lagi berbicara yang sungguh menyakitkan hatinya.
"Ya kamu berpikir dong, Dik. Masa Mas yang berpikir, heran!" sergahnya membuat Mita kesal.
"Lah, yang mau montok 'kan Mas, ya Mas dong ya mikir masa adik, enak saja!" pekik Mita mulai kesal dan tak menghiraukan suaminya. Namun rabaan suaminya semakin keras dan membuat Mita meringis kesakitan karena ulahnya.
Penglihatannya, fokusnya dan perhatiannya hanya pada ponsel yang menayangkan film blue tersebut, tanpa menjamak istrinya hanya dengan menonton ia bisa klimaks begitu saja. Setelah puas dengan nafsunya, ia meninggalkan istrinya sendirian di atas ranjang, dan ternyata lelaki itu memilih mandi lalu bersiap untuk keluar mengajar. Mita tertegun tak percaya dengan sikap suaminya itu, sungguh sangat tidak percaya dengan kenyataan yang ia terima ini. Sudah tanpa sehelai benang pun tetapi tidak dijamah sedikitpun lalu ditinggal begitu saja. Bayangkan saja, di puncak gunung lalu ditelanjangi, digesek-gesek saja dan ditinggal begitu berlalu saja. Udara pagi yang sangat dingin membuat Mita mendadak beku seketika.
Mita bergegas mandi dari pada semakin beku karena ulah suaminya. Saat ia sedang membersihkan diri, mulai teringat ucapan suaminya yang sungguh sangat menyakitkan. Suaminya selalu berucap bahwa gundukan gunung milik istrinya itu kecil, kurang montok dan tidak menggairahkan. Ia berpikir bahwa awal pernikahan itu akan indah dan sangat manis namun kenyataan berbanding kebalik, sebab pernikahan yang dijalani olehnya seperti meminum jamu yang sangat pahit.