"Cie Ibu Mita, di antar suami balu," ledek Bu Dewi salah satu guru SD.
"Hehe, Ibu Dewi bikin Mita malu saja," jawab Mita tersipu malu.
"Asik ya sudah jadi pengantin baru," ledek Ibu Sista salah satu guru juga.
"Bu Mita, sudah lepas segel belum," timpal salah satu guru yang lain. Mita hanya diam tersipu malu.
Guru lain masih saling menimpal satu sama lainnya membuat Mita semakin tersipu malu dan bingung akan menjawab apa atas semua pertanyaan teman-temannya itu. Seharian Mita menjadi bahan bulan-bulanan teman-temannya yang lain, ia hanya menggelengkan kepalanya saja. Disinilah Mita merasakan kebahagiaan yang luar biasa, melupakan kesakitan saat kehilangan Ayahnya dan teman-temannya adalah obat luar biasa, obat penyembuh bagi Mita. Ia bisa tertawa terbahak-bahak dan bercanda sepuasnya dengan teman-teman yang lain. Ia merasa bahagia mempunyai teman-teman yang luar biasa baiknya.
Lonceng waktunya pulang sekolah berbunyi, Mita berniat membeli gamis di salah satu pasar tradisional untuk persiapan berangkat ke Bogor bersama Ali. Sebelumnya saat masih di sekolah tadi, Mita sudah menghadap kepala sekolah untuk meminta izin cuti satu minggu ke Bogor, ia beralasan bahwa ada acara keluarga disana dan Ibu Kepala Sekolah mengizinkannya. Bahagia terpancar jelas di wajah Mita saat mendapatkan izin cuti.
Kebetulan Mita hari ini ada jadwal untuk belanja bersama salah satu guru, ia sudah meminta izin pada suaminya dan memberitahu bahwa akan pulang telat. Sesampainya di pasar, Mita mulai melihat-lihat gamis yang bagus-bagus namun harganya luar biasa mahal sekali. Mata wanita itu berbinar saat melihat salah satu gamis simpel namun terlihat indah dan sangat elegan.
"Bu Mita, memang untuk apa gamis itu?" tanya Ibu Dewi yang pergi membeli keperluan sekolah bersama Mita.
"Untuk Mita, Bu. Besok Mita 'kan ke Bogor dan di sana kata suami lingkungan bercadar, jadi rasanya Mita ingin sekali membuat suami senang."
"Memang Bu Mita akan memakai cadar?"
"Belum Ibu Dewi kalau dalam waktu dekat sekarang, setidaknya Mita bisa menjaga nama baik suami dengan berpakaian yang baik saat di Bogor. Menyenangkan hati suami itu juga mendapatkan pahala, 'kan?"
"Semoga selalu istiqomah ya, Bu Mita." Mita tersenyum dan mengangguk. Lalu mulai kembali memilah dan memilih pakaian mana yang cocok dan masuk dengan harganya.
Ayah, sekarang Mita sedang berusaha menjadi istri yang baik dan memberikan yang terbaik untuk suami. Mita akan selalu ingat pesan Ayah untuk selalu mengabdi saat sudah menikah dan selalu sabar juga ikhlas menjalani semua keadaan dalam sebuah bahligai rumah tangga. Dulu, ayah sangat yakin sekali Mita bisa melakukan semuanya itu dan lihatlah Ayah, sekarang Mita sedang berusaha.
Saat ini, Mita sudah mulai berubah Ayah. Mita berusaha menjadi perempuan yang baik, berbicara lemah lembut dan inshaa Allah selalu menjaga kehormatan dan martabat suami. Mita akan selalu berusaha mengerti dan menuruti keinginan suami.
"Bu, sudah milihnya?"
"Eh Bu Dewi, iya sudah. Ayo kita pulang, Bu," ajak Mita. Ia keluar dari pasar dengan senyum sumringah. Ia menatap lekat bungkusan yang berada ditangannya. Tatapan dengan penuh kebahagiaan yang luar biasa. Dan itu adalah gamis pertamanya dan juga gamis satu-satunya.
Ibu Dewi mengantar Mita pulang ke rumah, saat pulang ke rumah ia disambut oleh suaminya. Mita menunjukkan gamis yang baru saja dibelinya, Ali tersenyum bahagia karena istrinya sudah mulai menurut dengannya. Kodratnya Mita mulai terlihat dan banyak perubahan lebih baik darinya.
Akhirnya, kau masuk ke dalam duniaku dan juga perangkapku. Aku dapat pastikan, kau sangat bahagia dalam sebuah penderitaan. Penderitaanmu akan dimulai saat esok hari kubawa kau berangkat ke Bogor, batin Ali berbicara.
Senyummu yang sekarang terlihat bahagia dengan berjalannya waktu akan menjadi sebuah senyum penderitaan, itu adalah janjiku saat awal menikahimu. Kau adalah pembawa keburukan dalam kehidupanku karena dengan adanya dirimu datang dan masuk ke dalam kehidupanku gagal sudah rencanaku menikah dengan wanita pilihanku yang sungguh cantiknya luar biasa bahkan lebih baik juga seksi darimu, batin Ali lagi-lagi berbicara.
***
Pagi hari tiba, sejak selesai sholat subuh Mita prepare menyiapkan semua perlengkapan yang akan dibawanya ke Bogor. Ali membantunya berkemas, lagi-lagi senyum dan canda tawa hadir diantara mereka berdua. Selesai berkemas mereka berdua turun ke bawah dengan bergandengan tangan, menemui anggota keluarga yang lain dan meminta izin untuk segera berangkat ke Bogor. Mita sudah tak sabar lagi untuk sampai di Bogor, ia berekspetasi akan banyak kebahagiaan yang mereka ukir selama seminggu ke depan. Menurut banyak orang, Bogor adalah tempat yang indah dan banyak sekali Villa di sekitaran puncak. Dan memang menurut Ali, mereka akan berlibur ke Puncak.
"Bunda, Mita berangkat dulu ya," ucapnya meminta izin memeluk erat tubuh Bundanya.
"Iya Nak, berbahagialah disana dan nurut apa kata suamimu ya. Jangan pernah membantah apa kata suamimu ya, Nak."
"Mita akan selalu mengingat pesan Bunda dan juga almarhum Ayah. Bunda tenang saja ya, Mita akan selalu bahagia dan itu pasti." Pelukannya beralih ke Kak Anjani.
"Kak, Mita titip Bunda ya. Jagain Bunda untuk kita berdua ya, Mita berangkat dulu ke Bogor."
"Iya sayang. Mita bahagia selalu disana ya," ucap Kak Anjani memeluk erat Mita dan mengelus punggung mungil adiknya.
"Iya Kak, pasti akan bahagia sama Mas Ali."
Tiba-tiba Mita menangis karena merasa akan pergi sangat jauh dan meninggalkan orang-orang tersayang. Tangisnya pecah dan tergugu, isakannya terus terdengar nyaring membuat Ali menggelengkan kepalanya dan memutar bola matanya malas.
Dasar gadis cengeng! Cuman di bawa berlibur ke Bogor saja nangisnya sudah seperti ini! Cih! Lemah sekali! Bagaimana nanti saat kubuat bahagia dalam sebuah penderitaan, mungkin nantinya akan menangis pilu lebih dari ini, atau mungkin akan menangis darah? Aku tak sabar melihat pemandangan indah saat kau menangis karena sebuah penderitaan, haha. Kita mulai permainan ini Aurora Sasmita, istriku yang cantik, mungil, namun bodoh dan bego!, ucapnya dalam hati penuh dengan kesinisan.
Ali meminta izin untuk membawa Mita ke Bogor dalam seminggu kedepan. Bunda dan Kak Anjani juga Mas Rizky menitipkan Mita pada Ali-suaminya-, mereka benar-benar berharap Ali bisa membahagiakan Mita dengan ketulusan. Mereka berdua melangkahkan kakinya keluar dari rumah dan menuju ke Bogor. Di selama perjalanan mereka hanya diam dan tak banyak yang dibicarakan karena mereka lebih banyak beristirahat.
***
Dalam perjalanan banyak sekali pikiran yang ia pikirkan dan rencanakan saat sudah sampai di Bogor. Ia akan meminta Ali untuk membawanya liburan ke banyak tempat. Sesampainya di Bogor, mereka harus melanjutkan perjalanan ke Puncak, namun betapa terkejutnya Mita saat mereka masuk ke salah satu pondok yatim dan bukannya ke puncak. Memang, sebelumnya Ali pernah bilang bahwa pondok yatim tempatnya mengajar itu masih berada di sekitaran puncak tetapi masa iya liburannya di pondok yatim.
Kok, kesini ya? Mau ngapain? Bukankah Mas Ali berjanji akan ke puncak, kupikir akan liburan di salah satu villa disini. Ini malah ke pondok yatim tempatnya mengajar, atau mungkin kesini dulu untuk sekedar bertemu, bercengkrama dan mengenalkanku ke teman-teman disini lalu kami ke Villa? Ah iya mungkin seperti itu, aku harus berpikir positif pada suamiku. Ia pasti sudah menyiapkan kejutan untukku dan kami bisa menikmati kejutan itu bersama, batinnya berbicara.
"Mas, kok kesini? Bukankah kita akan ke puncak?"
"Iya, Dik. Mas sudah memberitahu atasan bahwa kita akan menikah dan tak ada salahnya bukan kita mampir kesini? Ini juga daerah puncak, Dik. Tenang ya," ucapnya mencoba menenangkan Mita. Ia hanya mengangguk paham dan mengerti atas ucapan suaminya.
"Tapi kita bener liburan 'kan?" Ali hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban, aneh sekali rasanya. Pikiran Mita mulai enggak karuan sekarang dan merasa aneh, berusaha untuk menghilangkan rasa aneh tersebut namun rasanya sulit sekali. Ia berusaha tenang dan tetap tersenyum walaupun banyak pertanyaan di dalam benak dan pikirannya.
Sesampainya disana, banyak sekali yang menyambut dan membuat Mita bahagia ternyata orang-orang di sekitaran pondok tidak seperti apa yang dipikirkannya. Namun, ia merasa tak enak hati karena rata-rata wanita disana memakai gamis sangat lebar, jilbab lebar dan juga bercadar, Mita merasa canggung sebab belum seperti ukhti yang lainnya. Setelah sambutan dari semua penghuni, mereka segera masuk ke dalam kamar. Mita semakin heran, karena suaminya justru membawanya ke kamar bukan pergi keluar dari lingkungan pondok.
"Dik, tunggu di kamar ya dan jangan kemana-kemana. Pokoknya jangan pernah keluar kamar tanpa perintah dari Mas!" ucapnya tegas..
"Loh? Memang Mas mau kemana? Kenapa Mita ditinggal sendirian?"
"Ke depan sebentar. Kamu tenang saja, tidak usah takut, karena di kamar bujang ini hanya kita berdua saja dan ustad yang lain sedang ada tugas di luar. Jadi kau tenang saja," ucapnya menyakinkan Mita.
"Tapi, jangan lama-lama ya, Mas."
"Iya! Bawel sekali kamu itu, apa salahnya menuruti perintah suami, tinggal bilang iya dan jangan banyak bicara lagi! Diam! Paham! Jangan menjadi istri yang pembangkang! Paham kamu!" bentaknya membuat Mita terkejut karena sikap suaminya berubah. Hati Mita mencelos karena dibentak oleh suaminya, ia tak menyangka hanya dalam beberapa jam saja suaminya berubah. Mita mengangguk patuh, dan diam tak banyak berbicara lagi.
Ali keluar kamar dengan membanting pintu, membuat Mita semakin terkejut karena sikapnya benar-benar berbanding kebalik.
Astaghfiraallah ada apa ini? Kenapa Mas Ali tiba-tiba berubah hanya dalam beberapa jam saja? Atau mungkin ada masalah disini? Sikapnya benar-benar sangat aneh tak seperti Mas Ali yang biasanya, gumam Mita tak percaya.
Ekspetasi Mita honeymoon itu masih selalu bersama dan menempel satu sama lainnya. Seperti pengantin baru yang lainnya, di dalam kamar bersama, semua dilakukan bersama-sama, tersipu malu bersama, ya pokoknya ada banyak manis-manisnya begitu tetapi keadaan seperti itu tak berpihak pada Mita. Sesampainya di kamar, ia justru ditinggal oleh suaminya seharian. Entah kemana perginya Ali, ia sama sekali tak izin pada Mita. Ia merasa sangat lapar sekali sebab belum makan sejak sampai di pondok hingga sore menjelang maghrib. Ia hanya minum air mineral yang disediakan di kamar tersebut, Mita berpikir apakah suaminya tak ingat bahwa ada istri yang ditinggalkan di dalam kamar.
Aduh, Mas Ali kemana sih? Sampai jam segini belum juga kembali ke kamar, mana aku lapar sekali. Aku 'kan belum makan siang, masa seharian hanya minum air mineral saja untuk menahan rasa lapar, tega sekali suamiku ini. Atau mungkin ia balas dendam karena kemarin di rumah aku hanya asik makan sendiri dan melupakannya? Ah tidak mungkin, Mas Ali pasti tidak seperti itu, mungkin ia benar-benar lupa karena meninggalkan istrinya di kamar, gumamnya sambil meneguk kembali air mineral yang sudah di minum kesekian kalinya.
Hampir menjelang maghrib suaminya tak kunjung datang juga, perut Mita sudah merasakan sakit yang luar biasa karena memang dia punya penyakit magh yang artinya ia tidak bisa telat makan, tetapi kali ini benar-benar sangat telat makan beberapa jam. Menahannya hanya dengan minum air mineral saja, rasanya masyaAllah.
Ayah, kenapa keadaannya menjadi seperti ini? Mita jadi bingung harus melakukan apa, benar-benar aneh sekali sikap Mas Ali pada Mita. Kenapa dia berubah sampai seperti ini? Ayah tolong Mita.
***