Mas Rizky mengurus semua persiapan pemakaman ayah. Mita yang sejak tadi masih duduk diam di samping sang ayah perlahan mulai ditarik lembut oleh Mbok untuk kembali ke kamarnya dan membersihkan diri sebab sebentar lagi ayah akan segera dimandikan. Mita mendengar bahwa ayah akan dimandikan membuatnya kacau dan menangis kembali. Namun Mbok segera membawanya pergi dari kamar ayah dan masuk ke dalam kamar pribadi Mita.
Ternyata di kamarnya sudah ada bunda yang sedang duduk bersandar di ranjang, diam tak bergeming, tatapannya kosong dan seakan menerawang sangat jauh entah sampai mana. Mbok memberikan teh manis dan makanan untuk Bunda pun tak digubris, Mita paham Mbok tak ingin Bunda sakit. Mita segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya sendiri dan duduk bergabung bersama Bunda. Ia memang merasa hancur dan kacau, tetapi Bunda pasti lebih hancur dan kacau darinya.
Untuk saat ini, Mita tak ingin egois hanya ingin memikirkan dirinya sendiri untuk tetap menangis dan terpuruk karena saat ini ada Bunda yang membutuhkan seseorang yang mampu membuatnya tegar. Kak Anjani sudah dapat dipastikan tidak akan bisa, karena ia sekarang harus lebih menjaga kondisinya agar tidak drop menjelang persalinan dan sudah pasti suaminya yang akan membuatnya tegar.
"Bunda, Mita sayang dan cinta sama Bunda. Ayo Bun, kembali ke dunia Bunda yang sebenarnya, bareng-bareng kita bangkit. Ayah sekarang butuh doa dari kita semua," ucapnya membisikan di telinga sang bunda. Bunda meliriknya dan memeluk tubuh Mita, tangisnya pecah kembali dan meminta maaf karena ayah tak bisa menepati janjinya untuk menjadi wali di pernikahan Mita kelak.
Tangisannya begitu pilu membuat Mita yang tadi sudah berusaha tegar, kembali hanyut dalam kesedihan dan nangis kembali bersama Bunda. Tangis mereka sekarang terdengar saling sahut menyahut, Mita masih ingat janji Ayahnya untuk menjadi wali di pernikahannya. Namun, janji tinggallah janji, saat ini Ayahnya butuh doa dan ketegaran hati dari keluarganya. Mita tak berpikir untuk menagih janji tersebut karena ia sadar saat ini sudah tak ada lagi janji yang bisa ditagih dari sang ayah.
Setelah puas nangis bersama, mereka berdua turun ke bawah dan masuk ke dalam kamar Kak Anjani. Disana terlihat sekali keadaan Kak Anjani yang sangat kacau, bumil satu itu terlihat sedang memeluk salah satu baju yang ayahnya sering pakai. Air matanya sudah mengering, namun kesedihannya masih terlihat jelas dari sorot matanya. Ia beberapa kali mencium baju tersebut dan memeluknya dalam dekapan hangatnya.
Mereka paham betul kesedihan Kak Anjani, pasalnya ayah yang paling semangat mempersiapkan semua keperluan persalinannya. Ia merasa sangat terpukul sekali dan hancur sudah pasti. Bunda dan Mita mendekat ke arah Kak Anjani lalu mereka bertiga berpelukan, mentransfer kekuatan dan energi positif satu sama lainnya. Dekapan hangat ketiga wanita hebat yang luar biasa, siapapun yang melihatnya tak akan pernah menyangka mereka adalah wanita-wanita hebat yang akan menguatkan satu sama lainnya ketika guncangan kehidupan maha dashyat menghantam mereka. Seperti sekarang ini, kekuatan positif yang selalu mereka tanamkan dalam diri terlihat keluar dan menebarkan pada sekitar.
Ayah sudah bersih dan mereka beranjak untuk mengantar sang ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya. Dengan kaki dan lutut yang bergetar hebat, Bunda dan Mita masih tetap berusaha untuk tetap berdiri tegak dan berlapang d**a, Kak Anjani tidak diperbolehkan ikut karena ini menyangkut kesehatannya juga jadi mau tidak mau ia harus nurut.
Kedua wanita hebat itu melangkahkan kakinya dengan gontai dan terseok namun tetap bisa berjalan dengan tangguh. Ia mengantar peristirahatan suami dan juga ayah tercinta mereka. Langkahnya pelan namun pasti, hatinya rapuh namun berusaha tegar, dunianya gelap namun lilin kecil masih mereka nyalakan untuk jalan terang ayahnya. Beberapa orang di sekitar memberikan ucapan bela sungkawa dan menguatkan mereka berdua, lalu dijawab dengan senyum keikhlasan yang bagi siapapun tak menyangka keluarga tersebut akan setegar dan seikhlas itu.
Perjalanan mereka sampai juga di sebuah pemakaman yang tidak jauh dari komplek perumahan. Tanah sudah digali dan perlahan namun pasti katil yang menutupi tubuh Ayah mulai dibuka lalu tubuh kaku ayah diangkut dan diletakan di bawah tanah. Mulai ditutup oleh papan dan pasir yang mulai berjatuhan menutupi tubuh Ayah. d**a Mita terasa sangat sesak sekali, ia merasa tak sanggup melihat pemandangan menyakitkan di depannya ini. Tanah yang menutupi tubuh ayah dan setengah liang lahat mulai diinjak-injak, Mita sangat kacau melihat itu. Ia merasa tidak terima ayahnya diinjak-injak seperti itu.
"Tidaakkk!!!" teriaknya.
"Jangan injak-injak ayahmu seperti itu!!" teriaknya akan menerjang para penggali makam.
Mas Rizky menarik lengan Mita dan mulai menarik juga tubuhnya menjauh dari makam ayah, Bunda mengikuti kemana Mas Rizky menyeret Mita karena gadis kecil itu sempat melawan.
"Jangan injak-injak ayahku!!" teriakannya menggelegar di setiap sudut makam.
"Mita!! Tenang Mita!! Tenang!!" bentak Mas Rizky menenangkan Mita yang sangat kacau.
"Itu ayahku!! Dan kalian sudah berani menginjak-injaknya, maka urusan kalian denganku!!"
"Mita!! Istighfar!! Mita!!" bentakan Mas Rizky semakin kencang. Namun Mita semakin melawannya.
"Adik, tenang!! Bunda mohon!! Bunda butuh adik sekarang!! Kalau adik kacau seperti ini, Bunda sama siapa!!" Mita mulai sadar saat mendengar bentakan Bunda.
"Maafkan Adik Mita, Bun."
"Enggak pa-pa sayang. Adik tenang ya, ayo kita kembali ke makam ayah."
Pemakaman selesai, semua tetangga dan pengantar kembali ke rumah masing-masing. Saat ini tinggal menyisakan Bunda, Mita dan Mas Rizky saja. Mereka berdoa kembali untuk Ayah, Mita memeluk tanah makam yang masih basah tersebut. Bunda mengelus punggung anak bungsunya, menguatkannya agar tetap tenang dan tidak kacau seperti tadi.
Saat ini, semua keadaannya sudah berbeda, Mita sudah tak bisa lagi mengecup kening dan membelai rambut ayahnya karena saat ini dan seterusnya ia hanya bisa mengecup nisan dan memeluk nisannya saja, saat ini sudah tak bisa lagi memeluk tubuh ayah dan sudah tergantikan dengan memeluk gundukan tanah yang menutupi tubuh ayah, saat ini sudah tak bisa memijat kaki ayah dan hanya bisa membersihkan dedaunan yang berserakan di sekitar makam ayah.
Dulu, ia selalu berpikir lebih baik pulang ke rumah tapi masih disambut dan bisa melihat ayah tersenyum walaupun dalam keadaan sakit daripada pulang ke rumah tapi sudah tak disambut dan tak bisa melihat ayah tersenyum lagi bahkan saat ini sudah tidak bisa lagi melihat wujudnya.
Kehilangan salah satu orang tua membuat hidupnya menjadi kacau dan hancur, dunianya gelap, langkahnya pincang, arahnya tak karuan. Tak ada lagi tempat berkeluh kesah, tak ada lagi tempat bercanda tawa, tak ada lagi tempat berbagi cerita, tak ada lagi tempat bersandar dan tak ada lagi tempat kembali tersenyum karena sebuah nasehat luar biasa yang selalu ditanamkan dalam diri anak-anaknya.
Sosoknya yang humoris, tegas, baik hati dan selalu menolong siapapun seseorang yang sedang dalam kesulitan hilang bagaikan ditelan bumi untuk selamanya dan memang benar-benar hilang selamanya. Mereka memang sangat menyayangi dan mencintai lelaki yang saat ini sudah tiada, tetapi ternyata Gusti Allah lebih menyayangi dan mencintainya maka dari itu dengan cepat diambilnya dan Ayah sudah tak merasakan sakit yang sangat luar biasa lagi. Seharusnya keluarga Sasongko bersyukur karena tidak lagi melihat kepala keluarga mereka menangis meringis kesakitan, seharusnya keluarga Sasongko bahagia karena kepala keluarganya saat ini sudah tenang dan damai.