Beberapa hari setelah canda tawa yang tercetak di wajah mereka, pagi itu keluarga Sasongko seperti di hantam tembok besar yang berhasil merobohkan semua anggota keluarganya. Jeritan tangis terdengar sangat nyaring dari kamar orang tuanya. Mita terbangun karena mendengar suara adzan sekaligus suara jeritan sang Bunda. Ia bergegas mengambil jilbabnya dan memakainya lalu berlari keluar kamar menuju kamar orang tuanya. Saat melewati ruang keluarga ia berpapasan dengan Mas Rizky yang sepertinya juga mendengar jeritan Bunda.
"Mas, dengar juga?"
"Iya Dik, ayo kita lihat."
Mereka berdua berjalan sedikit berlari menuju kamar orang tuanya, di susul Kak Anjani di belakang mereka yang sudah kesusahan jalan dan dipapah oleh Mbok. Mas Rizky mengetuk pintu kamar namun tak ada jawaban, jerit tangis yang justru semakin terdengar nyaring dari dalam. Pikiran Mita sudah kalut, ia mondar-mandir dan bingung harus melakukan apa. Mas Rizky masih terus berusaha memanggil Bunda dan meminta beliau membuka pintunya namun hanya tangisan sebagai jawabannya.
"Mbok, Mita minta tolong ambilkan kunci cadangan di tempat biasa!" perintah Mita pada Mbok. Ia merasa kalut dan harus berpikir lalu sekelibat ingatannya mengenai kunci cadangan. Mbok mengerti dan mengangguk patuh segera mengambil kunci yang diminta oleh Mita dan langsung diberikan pada Mas Rizky.
Pintu dibuka dan mereka semua langsung masuk ke dalam kamar, terkejut melihat keadaan Bunda yang sangat kacau dan ayah yang terbujur kaku. Ketiga anaknya hanya diam, mematung tak bergeming. Tubuhnya seakan kaku dan lidahnya terasa kelu, mereka seakan tak bisa mengucapkan sepatah katapun. Beberapa kali mereka meneguk slavina dengan susah payah, dan tersadar saat mendengar tangisan Bunda yang pecah. Mas Rizky berlari mendekati Bunda dan bertanya apa yang terjadi.
"Bun, ada apa? Kenapa? Ayah kenapa?" Bunda hanya diam tak bergeming, Mas Rizky beralih naik ke atas ranjang dan mengecek kondisi Ayah.
"Innalillahi wa inna illahi rojiun … Ayaaahhh!" teriaknya, tangisnya pecah. Mas Rizky memeluk Ayah dengan erat dan menangis sesegukan. Kak Anjani tiba-tiba pusing dan hampir jatuh, Mbok dengan sigap menahannya dan memapah untuk duduk di sofa. Bulir kristal sudah jatuh membasahi pipi Kak Anjani, tangisnya pecah sejadi-jadinya, tangisan yang sangat memilukan.
Mita, ia masih diam tak bergeming, matanya sudah berkaca-kaca dan pelupuk matanya seakan tak sanggup menahan bulir kristal yang sejak tadi sudah akan jatuh membasahi pipi. Tes … tes … bulir kristal mulai jatuh satu persatu membasahi pipinya. Tubuhnya bergetar hebat, lututnya terasa lemah, ia menyeluruh jatuh ke lantai. Tangisnya pecah, jeritannya sangat memilukan, tubuhnya bergetar hebat, keadaannya sedang tidak baik-baik saja sekarang. Kondisinya terlihat sangat kacau, ia mencoba bangkit dan menghampiri Mas Rizky yang masih memeluk ayah dengan menangis.
Mita naik ke atas ranjang, ia pandang wajah tampan Ayahnya, dibelainya wajah indah itu, dikecup keningnya. Tubuhnya semakin bergetar, ia tak sanggup lagi menahan dirinya. Ia peluk erat-erat tubuh sang Ayah yang sudah kaku dan dingin, bahunya mulai bergetar, tangisan tersedu-sedu dan teriakannya melengking.
"Ayaaahhhhh …." Dunianya terasa gelap dalam seketika, harapannya pupus, lelaki yang sangat di cinta pergi meninggalkannya untuk selamanya.
Mita menangis sambil memeluk tubuh Ayahnya, ia kecup berkali-kali kening ayahnya, ia membisikkan kata cinta di telinga ayahnya. Ia mengharapkan ayahnya bangun dan bercanda akan hal ini. Ia tak sanggup menerima kenyataan yang menyakitkan ini, sungguh merasa tidak sanggup.
"Ayah … jangan bercanda, ayo bangun. Ini Mita ayah, anak bungsu ayah. Ayo bangun, please Ayaaahhh!" teriaknya mengguncangkan tubuh Ayahnya.
"Ayah, please … Adik mohon … bangun Ayah … bukankah kita sudah berjanji akan menyambut anak Kak Anjani? Ayolah ayah, jangan bercanda …," ucapnya lirih di telinga sang ayah.
"Ayah!! Cepat bangun!! Mita mohon!! Jangan bercanda seperti ini!! Ini semua enggak lucu ayah!! Ayo Ayah bangun!!" bentak Mita semakin mengguncangkan tubuh Ayahnya.
Bunda mendekat dan naik ke atas ranjang, ia memeluk erat tubuh anaknya. Direngkuhnya tubuh mungil itu masuk ke dalam dekapannya, tangis mereka berdua semakin pecah. Bahu mereka bergetar hebat menandakan sang empunya menangis sejadi-jadinya.
"Bunda, ayah lagi bercanda 'kan? Ayah enggak sungguh-sungguh 'kan, Bun?"
"Bunda, ayo katakan!! Jangan diam saja, Bun!! Cepat katakan yang sebenarnya!! Ayah baik-baik saja dan akan bersama kita menyambut Adik Bayi 'kan!! Bun!! Jawab!!" teriak Mita mengguncangkan tubuh Ayahnya. Sang Bunda hanya diam tak bergeming lalu menggelengkan kepalanya lemah.
"Ayah tidak bercanda sayang. Ayah benar-benar sudah tiada, meninggalkan kita semua, Nak."
"Tidak Bun!! Ayah ini pasti bercanda!! Bunda tolong bilang kalau Ayah bercanda!!"
"Mita!! Ayah sudah meninggal!!" teriak Kak Anjani kacau, ia tak sanggup melihat adiknya seperti itu.
"Ayah meninggal, Kak?"
"Ayah meninggal?"
"Ayah meninggal?"
"Ayah meninggalkan kita semua?"
Kata-katanya terus diulang-ulang, Mita menutup telinganya seakan tak mau mendengar apa yang sudah diucapkan Kak Anjani, namun kata-kata tersebut terus-menerus terngiang di telinganya. Ia menekuk kedua kakinya, menyandarkan dirinya ke dipan ranjang dan menutup kedua telinganya erat-erat.
"Tidak, ayah tidak meninggal. Ayah masih ada, disini bersamaku, bersama kita semua."
"Ayah ada disini, akan menyambut adik bayi dan menjadi wali nikahku. Ayah ada, disini bersama kita semua."
Mita depresi, pikirannya kacau, keadaannya sangat miris sekali, penampilannya sudah tak karuan, ia terus-menerus mengulang kata yang itu-itu saja. Kak Anjani tak sanggup melihatnya, ia perlahan keluar kamar dan kembali ke kamarnya. Memuaskan dirinya menangis di kamar tersebut tanpa melihat adiknya yang depresi dan Bundanya yang kacau.
***
Mas Rizky, dengan sisa tenaganya mempersiapkan semua keperluan ayah untuk yang terakhir kalinya. Ia meminta tolong para tetangga sekitar untuk membantunya mengurus pemakaman Ayah. Bunda sudah dibantu oleh Mbok untuk bebersih, beda dengan Mita ia masih tetap diam di samping tubuh Ayahnya yang sudah tak bernyawa.
Mita terus memandang wajah ayahnya, dibelai dan kecup mesra seperti seorang wanita yang tak rela kehilangan kekasihnya. Cintanya terhadap sang ayah begitu sangat dalam hingga membuatnya depresi seperti ini. Lengan dan kaki ayahnya dipijit olehnya, Mita terus mengajak ayahnya ngobrol. Bunda memandang Mita, beliau bingung harus bagaimana memberikan pengertian pada anak bungsunya tersebut. Beliau paham betul, betapa dalamnya Mita sangat kehilangan sosok Ayah yang sangat disayang dan dicinta.
Mita pov
Aku mendengar sebuah jeritan tangis yang sangat memilukan dari kamar ayah dan bunda. Aku masih berdiam diri memastikan apakah benar-benar suara bunda menjerit dan benar itu suara bunda. Aku segera berlari ke kamar mereka berdua. Mas Rizky mengetuk pintu kamar namun tak ada jawaban, aku meminta Mbok untuk segera ambil kunci cadangan.
Setelah dibuka, betapa terkejutnya kami semua melihat keadaan Bunda yang sangat kacau, menangis dibawah ranjang bersandar pada sebuah nakas kecil. Tangisnya begitu sangat memilukan, Mas Rizky mendekat dan menanyakan apa yang terjadi namun tak ada jawaban lalu pindah ke atas ranjang dan melihat keadaan ayah yang ternyata sudah meninggal.
Bagaikan tersambar petir di siang hari bolong, aku terkejut bukan main saat Mas Rizky mengucapkan kata-kata yang begitu menyakitkan. Tubuhku kaku, mengetahui kenyataan menyakitkan tersebut membuat seluruh tulang terasa copot. Duniaku mendadak menjadi gelap, kehidupanku terasa pincang, kekasihku pergi untuk selamanya. Tubuhku menyeluruh dan tangisku pecah, kuberusaha untuk bangkit dan memastikan apakah ya benar ayah sudah tiada.
Perlahan, kunaik ke atas ranjang, dan kuguncangkan tubuh ayah yang tetap diam tak bergeming. Tangisku semakin pecah, saat kupeluk tubuhnya yang sudah dingin. Kutak menyangka akan kehilangan ayah secepatnya ini. Ia berjanji akan menyambut adik bayi dengan bersama-sama namun sekarang lihatlah, ayah justru lebih dulu meninggalkan kami.
Bunda memeluk erat tubuhku seakan memberikan kekuatan, aku mempertanyakan bahwa ayah benar-benar masih ada tapi teriakan Kak Anjani terus mengiang di telinga seakan menyadari diriku bahwa ayah sudah tiada dan meninggalkan kita semua. Kurengkuh kedua kakiku, kututup telingaku rapat-rapat, aku tak ingin mendengar kata-kata Kak Anjani yang terus-menerus terdengar nyaring itu.
Hidupku saat ini terasa sangat hancur. Kehilangan seseorang yang paling berharga dalam kehidupanku membuat duniaku dan hidupku hancur berkeping-keping, hatiku terasa patah dan patahan tersebut hilang entah kemana. Kupandangi wajahnya yang tampan karena aku sadar setelah ini, aku sudah tak bisa lagi melihat wajah tampannya. Kupeluk erat tubunnya yang sudah kaku karena aku sadar setelah ini, aku sudah tak bisa lagi memeluk tubuhnya yang sempat gagah. Kupijat kaki dan tangannya karena aku sadar setelah ini, aku sudah tak bisa lagi selalu memijat kaki dan tangannya. Kukecup kening dan membelai rambutnya karena aku sadar setelah ini aku sudah tak bisa lagi mengecup kening dan membelai rambutnya yang lebat.
Dalam hidup memang akan mengalami sebuah fase ditinggalkan dan meninggalkan, namun untuk saat ini aku merasa belum sanggup ditinggalkan karena belum mampu berdiri tegak di kaki sendiri. Entahlah, bagaimana dengan keadaan Bunda saat ini, aku yakin beliau pasti lebih kacau dariku. Namun, beliau akan tetap tersenyum tegar seakan semua baik-baik saja padahal hatinya hancur dan menangis.