“Daren. Really?” Beni kemudian menghela napasnya.
“Jadi, siapa yang sakit? Kamu yakin, dia sakit biasa? Kalau ternyata hamil?” tanya Beni kemudian.
“Ya udah, periksa dulu makanya. Gak usah banyak nanya, bisa?”
Beni mengangguk-anggukkan kepalanya, menuruti perintah dari lelaki itu. Ia pun memeriksa kondisi Devya yang terbaring di atas tempat tidur.
Keningnya mengkerut usai melihat tanda merah di pipi kiri Devya. Ia pun menelan salivanya dan membuka stetoskop di telinganya.
“Daren. Bisa bicara sebentar? Di luar?” tanya Beni kemudian.
Daren mengangguk. “Boleh, Om.” Ia kemudian menoleh ke arah Devya. “Kamu di sini dulu,” ucapnya lalu beranjak dari duduknya.
“Tapi, aku lagi gak hamil, kan?” tanya Devya kemudian.
“Oh, tidak. Kamu tidak sedang hamil,” ucap Beni kemudian menerbitkan senyumnya. Ia lalu menarik tangan Daren membawanya keluar dari kamar tersebut.
“Daren! Kamu habis nampar perempuan itu?” tanyanya dengan mata melotot menatap Daren.
“Hah? Nggak! Aku gak pernah main tangan ke perempuan, Om. Mana mungkin aku tega mennyakiti perempuan.” Daren menyangkal tuduhan Beni.
“Terus, siapa yang udah nampar pipi Devya sampai lebam begitu? Demam yang Devya alami itu berasal dari tamparan keras. Laki-laki. Atau ayahnya?”
“Ayahnya di penjara. Pasti Zion. Hanya dia yang berani menyakiti Devya.”
“Siapa dia? Kakaknya?”
Daren menggeleng pelan. “Mantan suaminya. Yang tidak pernah menganggap jika mereka telah bercerai.”
“What?” pekik Beni. Matanya kembali membola usai mendengar ucapan dari Daren.
“Are you crazy, hm? Memacari istri orang dan membawanya kemari. Atau jangan-jangan, dia ditampar karena ketahuan selingkuh sama kamu? Jangan membuat malu keluarga kamu, Daren!”
“Ck!” Daren berdecak pelan. “Bukan gitu ceritanya, Om! Aku kan udah bilang, mantan suaminya!”
“Look, Daren. Bukan hanya sekali dua kali, perempuan itu … siapa namanya?”
“Devya.”
“Devya ditampar … heuh? Devya? Suaminya Zion? Pemilik perusahaan The Future?” Beni baru sadar dengan nama kedua orang itu.
“Daren! Kamu ingin memulai perang atau bagaimana? Jauhi dia! Jangan pernah dekat dengan mereka! Kamu tahu kan, persaingan mereka sangat licik. Kamu mau, skandal kamu terendus oleh keluarga itu?”
Daren menghela napasnya dengan panjang. “Apa yang terjadi pada Devya? Dia demam karena bekas tamparan yang dilakukan oleh Zion, mantan suaminya? Itu kan, maksud Om?”
Beni mengangguk. “Kasihan sekali, anak itu. Dia harus mengalami KDRT.”
“Bagaimana jika kita visum saja?”
“Kamu yakin, mau visum dia? Memangnya kamu tidak pernah menyentuhnya selama ini? Aku tahu otak kamu, Daren. Mana mungkin kamu membawa perempuan jika tidak … ah, sudahlah.”
Daren memijat keningnya. Ia tahu, ini akan jadi polemik besar jika dia meminta Devya untuk melakukan visum atas kekerasan yang dilakukan oleh Zion.
Akan merembet ke mana-mana dan akhirnya Devya pun ketahuan jika perempuan itu sudah menikah dengannya.
“Devya memiliki tanda-tanda menuju kehamilan. Kamu harus tahu itu. periksakan kondisinya dua minggu yang akan datang. Jika memang kamu merasa telah menghamilinya,” ucap Beni kemudian pamit pergi dari sana usai memberikan resep obat yang mesti dibeli.
Daren menelan salivanya. Ia tidak tahu, anak siapa yang akan dikandung oleh Devya. Dia atau Zion. Lelaki itu kemudian masuk ke dalam kamar dan menghampiri Devya.
“Selama dua minggu terakhir ini, apakah kamu melakukan hubungan badan dengan suami kamu?” tanyanya ingin tahu.
“Heuh? Aku hamil? Aku beneran hamil?” tanya Devya terkejut.
“Baru mau tumbuh. Bisa jadi rahim kamu sedang pembuahan. Dokter selalu menghitung tumbuh kembang janin hari pertama mens terakhir.”
Devya menghela napasnya dengan panjang. “Gak ada. Dua minggu yang lalu aku lagi halangan. Seminggu yang lalu dia pergi ke luar kota dan kalau pulang langsung menemui Agatha.”
Daren menggigit bibir bawahnya seraya menatap Devya.
“Kamu gak perlu tanggung jawab, kalau memang tidak mau mengakui anak ini,” ucap Devya dengan pelan.
“No! Aku akan bertanggung jawab. Aku hanya bingung. Kenapa, baru dua kali kita melakukan ini, kamu langsung hamil. Tapi dengan Zion tidak. Padahal kemarin kamu bilang, masih minum pil KB.”
Devya menoleh ke arah Daren dan menatapnya. “Mungkin sudah waktunya aku pergi dari hidupnya Zion. Benar-benar pergi tanpa ada gangguan dari mereka lagi. Tapi, memangnya perkiraan dokter tadi beneran? Dia bukan dokter kandungan, kan?”
Daren menggeleng pelan. “Gejalanya hampir sama seperti sedang hamil, katanya.”
Devya menelan saliva pelan. “Aku bingung, Daren. Di satu sisi, aku senang karena akhirnya bisa hamil. Tapi, kenapa saat kamu hadir di hidup aku?” tanyanya dengan pelan seraya menoleh ke arah Daren.
Lelaki itu kemudian menarik tangan Devya dan menggenggamnya. “Listen to me. Jangan bingung. Kita lewati ini sama-sama. Aku tidak akan membiarkan Zion melukaimu setelah pria itu tahu kamu hamil anak aku.”
Devya menatap wajah Daren. Tak mampu berucap apa pun selain tersenyum lirih. Masih bingung kenapa saat menikah dengan Darius dia hamil, dengan Zion tidak?
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.
Devya begitu pulas tidur dalam dekapan hangat Daren. Pun dengan lelaki itu. Tampaknya Devya mengurungkan niatnya yang ingin pergi dari hidup Daren.
Sebab lelaki itu berhasil membuatnya nyaman dan tak ingin pergi. Terlepas dari ucapan Beni kemarin, yang mana Devya sedang dalam masa pembuahan yang mana sebentar lagi janin itu akan segera tumbuh di rahimnya.
Dering ponsel Daren membuat kedua insan itu membuka matanya. Lelaki itu kemudian menerima panggilan tersebut tanpa melihat siapa yang menghubunginya.
“Papi on the way apartemen kamu. Ada yang ingin Papi bicarakan dengan kamu, Daren.”