Semalaman Abel menangis, bahkan matanya sampai membengkak. Ia tetap belajar dengan keras, memahami dari dua puluh referensi penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitiannya. Tidak ada yang tahu betapa hancur dan kacaunya kehidupan yang Abel rasakan. Ia sangat lelah, tetapi menyerah pun ia tidak punya waktu.
Abel sadar jika ia mengeluh dan terus berdiam diri maka tidak ada kemajuan dalam kehidupannya. Kertas jurnal yang sudah iya cetak bahkan terkena tetesan air mata. Hanya ini yang Abel lakukan, menangis sendirian. Meluapkan segala rasa sesak di d**a, kadang iya juga berbicara sendiri.
Abel tidak tidur semalaman suntuk, ia berusaha memahami apa kegunaan optimasi pada penelitiannya. Abel tidak tahu bagaimana kondisi fisiknya, ia benar-benar lelah. Apalagi sakit kepala perlahan lahan mulai menyerang.
Setelah shalat subuh, Abel menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya dan sang Ibu. Setelah bersiap-siap barulah ia berangkat ke tempat kerjanya.
Tidak ada semangat, itu gambaran semua orang yang melihat ke arahnya. Abel tidak seheboh dan seceria biasanya. Palingan saat berpapasan dengan karyawan yang lain ia hanya tersenyum seadanya. Abel mengerjakan pekerjaan dengan baik hari itu, walaupun beberapa kali pandangannya mulai tidak jelas.
"Lo kemana? pucet gitu," ujar Ella merasa ada yang tidak beras dengan sang teman.
"Gue mau bimbingan ke kampus, Lo langsung pulang?"
Ella mengangguk, "Yakin lo bisa sendiri?"
Abel tertawa sejenak. "Bisalah, hati-hati ya."
"Lo yang seharusnya hati-hati, kabari ntar kalau udah sampai kampus," pinta Ella.
Abel mengangguk sambil tersenyum, ia langsung menancap gas ke kampus. Sebelum itu, Abel membeli minuman kopi agar rasa kantuknya hilang. Padahal sejak pagi ia sudah menghabiskan dua botol minuman berkafein itu.
Abel langsung menuju ke ruangan sang dosen, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Ia mengucap salam dan mengetuk pintu. Jawabannya tetap sama yaitu "Masuk".
Abel masuk, jika kemarin ia memperhatikan penampilan dan bau badannya tetapi hari ini berbeda. Ia sama sekali tidak memperhatikan penampilannya lagi, bahkan hijabnya sudah tidak beraturan. Beruntung Abel menggunakan hijab langsung jadi tidak terlalu ribet. Ia juga sadar bau badannya tidak bisa dikatakan baik, yang paling miris Abel lupa memakai deodoran tadi pagi. Ets, sebenarnya bukan lupa tetapi deodorannya kebetulan sudah habis. Abel bisa apa kalau gitu. Abel pede saja, biar saja sang dosen mencium bau badannya. Mungkin bisa menjadi pelet agar kepincut padanya.
"Bapak sakit?" tanya Abel dengan berani. Ia melihat Pak Edgar memijit-mijit kening. Ya kalau sedang tidak enak badan, lebih baik tidak bimbingan hari ini dari pada Abel menjadi samsak yang bagus untuk di semprot-semprot oleh sang dosen.
"Tidak, kalau saya sakit mana mungkin ada di depan kamu. Coba jelaskan apa yang saya minta kemarin?"
Ternyata Pak Edgar tidak ada berubahnya, selalu saja to the point tidak ada intro terlebih dahulu ketika berhadapan begini.
Abel mengambil nafas terlebih dahulu agar rilex, ia berdoa di dalam hati agar penjelasan yang akan mulutnya katakan sesuai dengan kemauan sang dosen. Sebenarnya ganti pembimbing pun tidak masalah, tetapi Abel tidak mau jika mendapat pembimbing yang lebih menakutkan lagi.
Abel mulai menjelaskan, ia sudah belajar semalaman suntuk sampai mimisan karena kurang tidur. Sejauh penjelasannya, tidak ada komentar sang dosen. Abel bisa sedikit lebih rilex. Pak Edgar mendengarkan dengan serius, bahkan tangan kiri menopang dagunya. Abel terdiam ketika penjelasannya telah selesai, ia menghabiskan waktu tujuh belas menit. Abel saja tidak tahu kalimat apa-apa saja yang keluar dari mulutnya. Semua terjadi begitu saja. Sepertinya ia memang pintar haha.
"Gi-gimana Pak?" tanya Abel karena tidak ada respon dari Pak Edgar. Ia sudah menyiapkan mental jika di semprot lagi.
"Penjelasan kamu Bagus, tidak mengecewakan saya. Jika saja kemarin kamu menjelaskan seperti ini pasti tenaga saya nggak bakalan habis buat ngomelin kamu."
Abel tersenyum dalam diam, tidak sia-sia ia belajar dengan kerja rodi seperti semalam.
"Setelah saya pikir-pikir untuk memudahkan kamu metode optimasi yang dipakai hanya satu, saya rekomendasi pakai metode optimasi PSO. Metode itu belum banyak yang buat untuk penelitian yang kamu angkat tetapi referensinya terkait metode itu sudah banyak. Saya rasa kalau kamu serius, dalam satu minggu kamu bisa mengerti tentang metode itu."
Mata Abel melebar, tubuhnya langsung melemah. Ia yang awalnya senyum-senyum seperti orang kasmaran malah diam seketika. Bapak dosen di depannya ini bisa sekali membuat anak orang terbang dengan cepat tetapi tidak kalah cepat untuk menjatuhkannya ke dasar selokan.
Abel bisa apa jika begini? padahal mulut nya tidak ada mengeluarkan kata "PSO". Abel saja tidak tahu PSO itu bagaimana cara kerjanya. Abel benar-benar tidak mengerti sama sekali, ia sudah mencari dua metode optimasi dan sudah mengerti logikanya tetapi kenapa malah di ubah kembali.
"Maaf pak, Saya tidak bisa ambil PSO," tolak Abel dengan berani. Ia masih sopan, cara bicaranya pun lembut seperti durian.
"Kenapa?" tanya Pak Edgar dengan nada dingin. Abel tahu sang dosen tidak suka dengan penolakannya.
"Ba-pak suruh saya mencari dan mempelajari dua buah metode optimasi, bapak nggak ada ngasih spesifik apa metodenya. Sa-ya udah milih menggunakan metode Adam dan MGD, sudah saya pahami dan pelajari dengan baik tapi apa? Ba-pak malah nyuruh saya pakai PSO," tutur Abel menjelaskan. Tatapan Abel kosong, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran sang dosen. Jika tahu begini kenapa tidak dari awal diberitahu dengan menggunakan metode PSO.
"Saya hanya mempermudah kamu Abel, jika kamu tidak menerima usulan dari saya. Saya bisa apa?"
What? Kenapa sekarang kesannya seperti Abel tidak ingin mendengarkan usulan sang pembimbing. Dari awal skripsi di mulai, Abel selalu mengikuti mau dari pak Edgar.
Abel membuka mulut pada akhirnya, "Ma-maaf Pak."
"Saya kasih kamu referensi, baik teori maupun program pythonnya. Apakah kamu juga tidak mau?"
Abel bingung, ada plus dan minusnya. Ia belum tahu bagaimana cara kerja metode PSO. Jangan sampai keputusannya hanya membuat Abel bertambah stress.
"Saya pikir-pikir dulu Pak, saya mau mempelajari dan memahami dulu metode yang bapak usulkan. Nanti saya bandingkan dengan metode Adam dan MGD. Mana yang mudah itu yang saya ambil. Bagaimana Pak?" tanya Abel meminta pendapat.
Pak Edgar menaikan satu alisnya, "Oke, silahkan."
Abel bisa bernafas lega walaupun ia tahu metode optimasi tidak semudah penjelasan yang keluar dari mulutnya. Belum lagi Abel harus mempelajari metode CNN yang digunakan untuk memprediksi saham. Ia jadi ragu untuk bisa selesai semester ini. Sebenarnya Abel juga salah, sejak seminar proposal karena mendapat serangan mental ia memilih untuk menganggurkan skripsinya. Lihat sekarang Abel keteteran sendiri.
"Boleh saya mengajukan keluhan Pak?" tanya Abel tiba-tiba.
Pak Edgar yang awalnya fokus pada tumpukan kertas yang Abel bawa langsung mengangkat wajahnya, "Boleh. Apa?"
"Tapi bapak jangan marah!" ujar Abel di awal. Mungkin perkataannya yang keluar dari mulutnya akan menyakiti hati sang dosen.
"Iya, saya tidak marah. Silahkan!"
Abel tersenyum samar.
"Kenapa Bapak mudah banget bimbing Diba, Kok saya malah dipersulit begini?"
Duar, Abel tidak menyangka mulutnya tidak punya akhlak seperti sekarang. Bisa-bisanya berbicara yang tidak-tidak seperti sekarang. Abel sudah basah, lebih baik kecebur sekalian. Unek-unek harus disampaikan bukan? jelas dong.
"Diba lagi hamil, penelitian dia juga tidak ada masalah. Saya tidak mempersulit kamu Abel!!!"
Abel tahu dosen pembimbingnya tidak suka dengan apa yang ia katakan. Tidak mempersulit katanya? Hahaha Rasanya Abel ingin tertawa keras. Siapa bilang tidak dipersulit? Jika diceritakan mungkin sudah sampai tujuh turunan.
"Lama-lama saya pelet juga Bapak," cicit Abel pelan. Ia merasa tidak akan ada yang mendengar apa yang ia katakan.
"Apa kata kamu?"
Abel mati kutu, ia nyengir santai.
"Nggak apa-apa Pak, apa perlu saya hamil dulu baru Bapak mudah bimbing saya?"
Edgar benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran mahasiswa di depannya ini. Memang ia terkenal dengan ketelitian dalam membimbing mahasiswa akhir tetapi tidak ada niat untuk mempersulit sama sekali. Semua demi kebaikan mahasiswa tersebut. Apa keuntungan untuk Edgar membimbing mereka? Tidak ada sama sekali, selain hanya amanah pekerjaannya.
Edgar menghela nafas panjang, "Boleh, kalau kamu hamil saya akan permudah pembahasan penelitian kamu."
Edgar menanti apa jawaban dari anak bimbingannya. Awalnya ia hanya iseng mengikuti obrolan Abel yang mulai ngawur.
"Gimana saya mau hamil, nikah saja belum," cicit Abel cemberut. Hamil terjadi jika sel s****a membuahi sel telur. Itu yang Abel pelajari saat SMA.
"Oh ya Bapak mau nikah sama saya?" tanya Abel lagi dengan santai.
Mata Edgar melotot, bahkan ia berusaha menormalkan ekspresi wajahnya. Edgar tidak bodoh, ia tahu bagaimana mahasiswa di depannya ini selalu curi pandang. Apalagi suara koar-koar yang kadang tidak sengaja Edgar dengar. Ia tidak tahu bahwa Abel seberani ini. Ia masih penasaran, sejauh apa Abel akan mengawur. ia mengikuti candaan garing Abel.
"Boleh, ternyata pelet kamu manjur juga. Kamu harus tanggung jawab karena pelet saya."
Edgar sering mendengar kalau Abel akan memelet dirinya. Aneh memang, tetapi malah jadi mahasiswa bimbingannya.
Abel tertawa garing, "Wahh, saya harus berterima kasih kepada aplikasi pelet online yang saya dapat dari pasar gelap Pak." Ia bahkan bertepuk tangan dengan heboh. Hanya sebentar, setelah itu Abel terdiam dan melihat dosennya dengan tatapan sinis, "Bercanda bapak nggak lucu."
Abel tahu ia sudah kelewat batas, tetapi sekarang kan bukan jam kerja lagi. Bercanda nggak bakal bikin kehidupan Abel jungkir balik kan?
Edgar tersenyum miring, "Di mana alamat rumah kamu?"
"Bapak mau ngirim apa ke rumah saya?"
"Bom besar, " jawab Edgar santai.
Abel langsung membuka ponsel dan mengirimkan maps rumahnya.
"Itu alamat rumah saya Bapak, di tunggu Bom besar nya," ujar Abel. Ia tersenyum dengan tidak niat. Bisa-bisanya bercanda garing begini. "Dasar Es Batu," ujar Abel dalam hati.
Abel kembali serius, "Kapan saya bisa bimbingan lagi Pak?"
"Terserah kamu, jika ingin cepat selesai maka luangkan waktu kamu untuk bimbingan."
"Baik Pak, saya pamit keluar Pak. Assalamu'alaikum."
Abel pamit dengan sopan, bahkan ia tidak sadar sudah berbicara yang tidak-tidak kepada dosennya sendiri. Mungkin efek dari sakit kepala yang ia rasa. Sedangkan Egdar memandang kepergian mahasiswanya itu dengan pandangan yang sulit diartikan.