Sepeninggalan para preman itu, pandangan Ammar tertuju ke arah gadis yang terbaring lemah. Gadis itu sangat cantik.
Ammar terdiam sebentar, bingung harus melakukan apa terhadap tubuh gadis itu. Namun kemudian ia menggendong tubuh gadis itu dan membawanya masuk ke mobilnya, membaringkan tubuh gadis itu ke jok belakang.
“Nona! Hei, Nona! Bangunlah!” Ammar membungkukkan tubuh dan menepuk pipi gadis itu pelan. Namun usahanya sia-sia. Gadis itu tetap terpejam.
Ammar lalu menutup pintu mobil belakang lalu memilih duduk di sisi kemudi. Supir menyusul masuk ke bagian kemudi.
Ammar menepuk-nepuk jasnya yang kotor akibat perkelahian sengit tadi. Lalu ia menoleh, pandangannya tertuju pada tubuh gadis itu. Netranya berhenti saat mendapati wajah cantik si gadis.
“Mobil sudah beres. Apakah kita pulang sekarang, Tuan muda?” tanya Supir.
“Jalankan saja mobilnya!” titah Ammar. Sebenarnya Ammar juga bingung akan membawa gadis itu kemana, mustahil dibawa pulang. Mamanya pasti akan mempertanyakan siapa gadis yang dia bawa pulang. Kemudian ia mengambil ponsel dari saku kemeja di balik jasnya. Ia menelepon Talita, kekasihnya.
Tak lama suara gadis menjawab di seberang. “Halo, sayang!”
“Kau di rumah sekarang?”
“Ya. kenapa? Kau ingin menemuiku? Kemarilah! Aku di rumah.”
“Ada seorang gadis pingsan di jalan. Dan dia bersamaku sekarang. Aku tidak tahu siapa dia. Bisakah kubawa dia ke rumahmu? Biarkan dia menginap di rumahmu untuk beristirahat satu malam saja.”
“Oh..” Terdengar suara dipenuhi kekecewaan.
“Talita.”
“Eh? Ya, bisa.”
“Baiklah aku ke rumahmu sekarang.” Ammar memutus sambungan telepon.
Sesampainya di depan rumah elit yang tak lain adalah rumah Talita, Ammar turun dari mobil sesaat setelah supirnya membukakan pintu untuknya. Ia menuju ke pintu mobil bagian belakang, lalu memposisikan kedua tangannya untuk menggendong tubuh gadis yang tak lain adalah Ziva. Ammar mengeluarkan tubuh Ziva keluar dari mobil. Pria itu melangkah menuju ke pintu gerbang yang baru saja dibuka oleh satpam.
Ziva yang berada di gendongan Ammar, merasakan tubuhnya terayun-ayun dalam gendongan. Dia juga merasakan tubuhnya berada dalam lingkaran lengan seseorang. Mata Ziva terbuka, dia membelalak kaget menatap wajah pria tampan yang berada di dekatnya.
“Aaaa…” Ziva menjerit.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Ammar hingga pipi putih itu memerah hanya dalam hitungan detik.
“Lepaskan aku!” teriak Ziva yang tentunya salah paham, mengira Ammar adalah komplotan dari para preman yang hampir memperkosanya.
Kesal, sontak Ammar menjatuhkan tubuh Ziva dari gendongannya.
“Jangan macam-macam kamu!” seru Ziva kemudian lari ngibrit meninggalkan Ammar.
“Sial!” Ammar memegangi pipinya yang sakit.
***
Untung saja Ziva mendapat taksi malam itu, dia pulang dengan selamat menggunakan taksi. Namun sepertinya nasib malang tidak ingin jauh-jauh dari Ziva. begitu pulang, Ziva langsung disambut isak tangis ibunya.
“Rumah kita disita, Nak. Kita bangkrut,” ucap Maryam, ibunya Ziva.
Tubuh Ziva terasa lemas melihat teras yang sudah dipenuhi dengan koper.
Pak Dalman, tetangga Ziva tampak turut membantu mengemasi tas-tas dan membawa keluar dari dalam rumah.
***
Beberapa bulan kemudian.
Ziva Hazira berdiri terpaku di tengah-tengah halaman luas. Pandangannya fokus pada rumah besar. Tampak dari depan, rumah itu terlihat kokoh. Pintu depan yang besar dan berdesign modern. Dominan dengan kaca-kaca. Halaman depan yang luas penuh dengan pemandangan alam, ada air mancur buatan dimana terdapat kolam ikan pula di sana.
Begitu memasuki rumah, Ziva langsung disambut dengan desain interior ruangan mewah, modern nan elegan. Lantai marmer, kursi bergaya eropa, vas bunga besar dan dinding-dinding rumah yang dihiasi dengan hiasan dinding, jam dinding klasik dan foto-foto keluarga.
Di sudut lainnya terlihat sebuah tangga bergaya modern yang menghubungkan ke lantai dua. Langit-langit ruangan diterangi oleh susunan lampu-lampu indah persis seperti di hotel bintang lima.
Ziva menggigit bibir, miris sekali nasibnya sekarang. Tatapannya tertuju ke tas besar yang sejak tadi ditenteng, berisi pakaian dan segala keperluannya. Sekilas bola matanya melirik Dalman, pria tua yang membawanya ke rumah mewah itu.
Tak lama kemudian terdengar derap langkah sepatu menuruni anak tangga. Sosok pria tampak merapikan dasi dan jasnya sambil berjalan ke lantai bawah.
Pandangan Ziva kini tertuju pada sosok pria bertubuh tinggi, gagah, berotot dan berpenampilan rapi, jas hitam, dasi hitam dipadu celana kelemis berwarna senada. Parasnya tampan khas Iran, alis tebal dan hidung mancung. Raut wajahnya tampak sangat maskulin. Bibirnya merah dengan garis tajam, tampak sangat sensual. Sangat eksotik. Dan matanya, mata itu gelap dan sorotnya tajam.
Ziva tercekat menatap wajah tampan itu. dia mengingat-ingat, dan sepenuhnya sadar bahwa dia pernah bertemu dengan pria tampan itu sebelumnya. Ah, dia kan pria yang pernah menggendong tubuhnya dan bahkan mendapat tamparan dari tangannya malam itu. jadi, Ziva harus bekerja di rumah pria komplotan m***m itu? pikirnya.