6. Sebuah Perjanjian

2244 Words
Aku setengah berlari masuk ke dalam cafe di mana Mas Dilan sudah menungguku. Aku celingukan, dan begitu melihatnya duduk di kursi yang ada di sudut, aku buru-buru menghampirinya. “Mas Dilan, saya minta maaf. Barusan ada masalah sedikit di Butik, jadi telat.” Mas Dilan yang tadinya sedang fokus dengan ponselnya, kini mendongak. “Duduk...” Aku mengerjapkan mata begitu Mas Dilan dengan santainya langsung menyuruhku duduk. Sebentar, kenapa dia memilih kursi satu arah? Kenapa dia tidak memilih yang dua arah supaya bisa duduk berhadapan? “Ganti meja bisa enggak, Mas? Ngobrol itu enaknya hadap-hadapan.” “Saya mau di sini. Kamu memang yang pilih tempat ini, tapi saya yang datang lebih dulu.” Mendengar itu, aku hanya bisa menggeram, lalu mau tak mau akhirnya duduk di sebelahnya. Mas Dilan tiba-tiba menyodorkan jus alpukat yang masih penuh padaku. Dia tidak bilang apa-apa, dan kembali fokus pada ponselnya. Padahal semalam aku sudah duduk di mobilnya, tetapi kenapa aku merasa aneh ketika duduk bersebelahan begini? Oh iya, ngomong-ngomong semalam, meski Mas Dilan main pergi begitu saja, setelah aku turun, ternyata dia menungguku di depan mobil. Jadilah dia mengantarkanku pulang seperti yang diinginkan para orang tua. Dan kalian tahu? Selama di mobil, Mas Dilan tidak mengajakku bicara sama sekali, kecuali tanya jalan. Parah, kan? Manusia patung ini benar-benar keterlaluan! “Sebaiknya nih, kalau mau ngobrol sama orang, hapenya diletakin dulu. Enggak sopan tahu, kalau main hape mulu...” sindirku setelah beberapa saat lamanya, Mas Dilan masih sibuk dengan ponselnya. “Tunggu sebentar lagi.” Aku hanya mencebik, lalu menyeruput jus alpukat yang tadi diberikan padaku. Seperti biasa, jus alpukat di cafe ini memang juara. Manisnya pas, tidak bikin eneg. “Eh maaf, sepertinya saya salah kasih minuman. Punya kamu yang ini.” Tiba-tiba saja, Mas Dilan menunjuk gelas lain yang juga masih penuh. “Loh bukannya sama aja? Sama-sama baru juga.” “Enggak. Yang itu sudah saya minum sedikit.” Mendengar itu, mataku seketika mendelik. Aku buru-buru melepas sedotannya dan meletakkan gelasnya di meja. Aku meraih tisu, lalu mengusap bibirku sampai beberapa kali. “Bisa-bisanya, sih!” aku menatap Mas Dilan garang, sementara dia hanya menatapku seperti biasanya, tanpa ekspresi. Wajahnya benar-benar tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. “Jadi mau tetap yang baru, atau lanjut itu? Baru diminum dikit—“ “Bukan sedikit atau banyaknya, Mas Dilan! Ya ampun!” “Terus?” “Udah, ah, lupain!” Aku berdiri, lalu mengambil sedotan baru di dekat kasir. Aku kembali duduk di sebelahnya, meski saat ini aku merasa sangat jengkel. “Oke, kita mulai,” ucapnya sambil meletakkan ponsel di meja. “Saya dulu, atau kamu dulu?” “Mas Dilan dulu aja.” “Oke, saya langsung to the point aja. Jadi, sekitar dua bulan ke-depan, saya ditawari proyek besar di Jepang, dan saya akan bekerjasama dengan arsitek senior di sana. Karena saya adalah anak tunggal, Papa dan Mama selalu ingin saya stay di rumah. Sayangnya, pekerjaan saya saat ini lebih banyak di Jepang, daripada di Indonesia. Nah, kali ini mereka melarang keras saya ke sana lagi, kecuali kalau saya mau menikah dengan perempuan pilihan mereka. Oke, maksud saya, perempuan itu kamu. Nah, kalau sudah menikah, saya boleh ke Jepang lagi, dengan catatan tetap harus sering pulang.” “Serius kaya gitu?” Mas Dilan mengangguk. “Awalnya, saya pikir ancaman itu sekedar untuk menakut-nakuti saja, supaya saya tetap tinggal di rumah. Tapi nyatanya, mereka serius. Ketika saya menolak, mereka mendiamkan saya sampai berhari-hari. Puncaknya, Mama saya menangis. Beliau menangis karena takut kalau saya tidak mau pulang lagi ke Indonesia. Tangisan Mama itu pukulan besar, karena saya tidak mungkin bisa seperti ini kalau orang tua tidak mendukung. Saya enggak mau membuat orang tua saya lebih khawatir lagi, tetapi juga tidak bisa melepas proyek ini, karena proyek ini adalah impian saya sejak lama.” “Ah, berat juga, ya?” “Kalau kamu?” Aku memperbaiki posisi dudukku. “Sebelumnya, jangan anggap saya lagi pamer.” “Oke.” “Papi sama Mami juga mainnya ngancem. Ancamannya, kalau saya nolak perjodohan ini, warisan mereka jatuh ke tangan Kakak Angkat. Sebenarnya saya punya uang sendiri, dan enggak bergantung sama uang Papi sama Mami lagi. Cuma, karena saya anak kandung satu-satunya, juga kakak angkat saya ini agak problematik, saya enggak ikhlas aja kalau usaha Papi Mami diberikan ke dia.” “Jadi intinya karena harta?” “BIG NO!” tolakku mentah-mentah. “Bukan semata-mata itu. Gimana sih, bilangnya? Kan saya udah bilang, kalau saya egois, saya bisa kok bertahan hidup tanpa uang orang tua. Tahu brand Deana’s? Itu punya saya. Meski saya punya banyak uang dari brand itu, saya tetap enggak mau usaha orang tua jatuh ke kakak angkat. Dia hanya tahu cara menghabiskan uang, tapi enggak tahu bagaimana cara mendapatkannya. Ngerti atau enggak, poin utamanya?” Mas Dilan tampak diam sejenak, lalu akhirnya kembali mengangguk. “Jadi gimana mau kamu?” “Bisa kan, kita saling menguntungkan? Kan ini bisa disebut simbiosis mutualisme.” Aku meringis. “Jadi secara enggak langsung, kamu sudah setuju kita menikah?” “Saya enggak ada pilihan lain.” Aku menghela napas, pasrah. “Kalau kamu mau, kamu harus tahu satu hal, saya tidak suka pernikahan pura-pura—“ “Enggak, pernikahan beneran, kok,” potongku cepat. “Tapi mungkin ada batasan dulu.” “Batasan apa yang kamu maksud?” “Ya pokoknya, selagi kita belum punya perasaan satu sama lain, jangan paksain hidup kaya suami istri pada umumnya. Dan misalnya emang enggak cocok, kita pisah.” “Pisah? Cerai, maksud kamu?” Mas Dilan menatapku dengan tatapan tidak suka. “Eee, ya bisa dibilang gitu.” “Mending enggak usah kalau gitu. Mau menikah, tapi sudah ada tujuan cerai, jelas enggak diperbolehkan.” “Iya, sih. Tapi gimana, dong?” “Ya kita niat menikah dengan baik. Hasil akhir mau bagaimana, itu urusan belakangan.” Kali ini giliran aku yang mengangguk. “Oke! Tapi saya mau ada hitam di atas putih untuk jaga-jaga.” “Jaga-jaga apa?” “Ya jaga diri saya, dong. Saya kan perempuan...” Mas Dilan menatapku bingung. “Saya enggak paham.” “Semacam peraturan batasan-batasan tertentu yang enggak boleh dilanggar. Please ya Mas, kita ini dua orang asing. Saya masih ingin menikmati hidup sendiri. Saya juga akan menghargai privasi Mas Dilan, kok.” “Oke. Jadi?” “Wait!” aku mengambil kertas dari dalam tas, lalu meletakkannya di meja. “Apa, ini?” “Baca aja...” aku nyengir. Mas Dilan meraih kertas itu, sementara aku menunggu dia membacanya dan memberi berkomentar. Tadi malam aku tidur telat demi menulis surat berjanjian itu. Ah, entah namanya surat perjanjian, atau sekedar reminder untuk saling tahu batasan masing-masing. “Beberapa saya setuju, tetapi beberapa enggak.” “Oke, kita perbaiki bersama. Mana yang setuju, dan mana yang enggak.” Mas Dilan tiba-tiba berdiri dan pergi ke kasir. Awalnya aku bingung, tetapi begitu dia kembali, aku melihat dia membawa bolpoin. “Poin satu sampai tiga saya setuju, poin keempat enggak.” Aku meraih kertas itu, lalu membacanya. “Kenapa enggak setuju?” “Poin empat kamu bilang tidak tidur satu kamar, saya maunya satu kamar.” “Saya enggak mau! Kan poin dua setuju, padahal isinya tidak boleh kepo dengan kehidupan masing-masing. Yakin deh, kalau tidur satu kamar, pasti bikin kepo.” “Kamu pikir orang tua kita akan baik-baik saja, lihat kita tidur terpisah?” Aku mencebik pelan. “Dibaca bintangnya, dong, Mas. Kan saya kasih bintang. Ini tuh pisah kamar kalau lagi sendiri, kalau pas di rumah orang tua ya sekamar.” Mas Dilan kembali meraih kertas, dan aku langsung tersenyum ketika dia mencentangnya. Itu artinya, poin ke-empat sudah tidak ada masalah. “Nomor lima kamu tulis no s*x*, no love. Saya maunya with s*x*, with love.” Seketika aku melongo, lalu merebut kertas itu. “Bisa-bisanya!” “Saya kan sudah bilang, saya enggak ada niat cerai. Misal berakhir begitu, itu di luar rencana saya.” “Orang setuju pisah kamar, bisa-bisanya with s*x*? Memangnya kaya gitu bisa jarak jauh?” Aku menatap Mas Dilan penuh sangsi. “Kan kita tidur satu kamar kalau di rumah orang tua?” “Wah! Mas Dilan mikir sampai sana? Kita belum kenal, mana bisa kaya gituan! Itu butuh cinta, loh!” “Saya bilang with s*x* with love, bukan berarti saya ingin melakukan itu segera setelah kita menikah. Saya laki-laki normal, Dean. Saya enggak bisa menjamin diri saya sendiri, dan saya orangnya pantang ingkar janji. Itu hanya untuk berjaga-jaga saja. Dan kita enggak pernah tahu kapan cinta itu datang dan pergi. Jangan terlalu percaya diri.” “Jadi, maksudnya?” “With s*x*, with love, kamu kasih tanda bintang. Kamu catat, itu hanya boleh terjadi tanpa ada paksaan salah satu pihak. Ketika pada akhirnya kita sampai sana, saya pastikan kita sama-sama mau.” “Ehm!” aku langsung berdehem, karena otakku mendadak traveling memikirkan yang iya-iya. Sial! “Dean, jangan diam saja—“ “Oke, deal. With s*x*, with love, tapi saya kasih bintang yang besar. Pokoknya sama-sama setuju, dan enggak ada paksaan. Puas?” Mas Dilan tersenyum tipis, lalu mengangguk. Wah, orang ini benar-benar tak bisa kutebak sama sekali! “Lanjut!” Sore itu, aku dan Mas Dilan membahas tuntas surat perjanjian. Bahkan, aku menyiapkan materai yang kami tanda tangani berdua. Mau dikata lebay, aku tidak peduli. Tidak ada salahnya berjaga-jaga. Iya, kan? “Sudah selesai, selebihnya saya ikutan,” ucapku sambil mengambil kertas itu, lalu memfotonya. “Ini saya foto, atau kalau perlu di-fotocopy, Mas?” “Enggak usah, cukup fotonya kirim ke saya, dan kertas aslinya pegang kamu aja.” “Oke.” Aku kembali menatap kertas yang sudah banyak sekali coretannya, lalu segera memasukkannya ke dalam tas. Aku mengembuskan napas lega, dan kembali menyeruput jus alpukat yang tinggal sedikit. “Dean?” tiba-tiba saja, aku melihat seorang perempuan berjalan mendekat. Setelah melihat jelas wajahnya, aku langsung menatapnya malas. “Hm, gimana? Malas sekali, bertemu orang ini. Dia Feby, dulu satu angkatan denganku. Dia terkenal cantik, juga modis. Aku dengar dia sering wara-wiri di majalah fashion. “Masih aja, ketusnya. Sama siapa, kamu— loh! Kak Dilan? Hai, Kak, apa kabar?” Ako melongo ketika tiba-tiba Feby mengambil salah satu kursi dari meja sebelah, lalu dengan percaya dirinya ikut bergabung. “Saya Baik. Kamu siapa?” “Saya Feby, Kak. Harusnya Kak Dilan ngerasa enggak asing sama saya, soalnya wajah saya sering masuk di web kampus, daftar mahasiswa-mahasiswi ter- good looking sefakultas teknik. Kak Dilan sering masuk, kok, saya lihat sendiri.” Aku seperti ingin muntah mendengar manusia centil ini dengan tidak tahu malunya memperkenalkan diri seperti itu. “Oh, web yang itu? Itu web bikinan orang iseng, penilaiannya aneh, dan enggak ada gunanya.” Aku nyaris terbahak begitu mendengar jawaban Mas Dilan yang terdengar savage. Eh sebentar, barusan Feby bilang se-fakultas? Memangnya Mas Dilan ini S1-nya di univ-ku juga? “Kok kamu kenal Mas Dilan sih, Feb?” “Ya siapa yang enggak kenal. Kan dulu Kak Dilan pernah menjabat Presma. Emang pas kita masuk udah enggak, sih, tapi tetep pada tahu.” Mendengar jawaban Feby, seketika aku mengerjapkan mata beberapa kali. Ini serius? Jadi, selain Dilan yang ketukar koper denganku dan Dilan yang akan dijodohkan denganku adalah orang yang sama, Dilan yang dimaksud Sisil juga orang yang sama? Wah! “Ngomong-ngomong, kok kalian bisa di sini bareng?” tanya Feby sembari menatapku sedikit sinis. “Mas Dilan calon suami gue, Feb. Hehe...” kali ini aku dengan beraninya mengapit lengan Mas Dilan, dan menyandar padanya. Aku tahu ini memalukan, bahkan Mas Dilan langsung menatapku heran. Akan tetapi, aku buru-buru mencubit pahanya pelan, berharap dia maksud dengan apa yang sedang aku lakukan saat ini. “Haha! Lawak, lo! Emang gue, percaya? Barusan aja Kak Dilan kelihatan kaget. Malu kali, De, ngaku-ngaku!” Feby semakin menatapku sinis, juga sarat akan ejekan. “Ngaku-ngaku? Mas Ilan... emang aku ngaku-ngaku?” aku menoleh sambil memasang wajah sedih, dan itu membuat Mas Dilan menatapku heran selama sepersekian detik. Wajar dia begitu, justru kalau ekspresi dia biasa saja, malah aneh. “De, lo tuh enggak tahu malu—“ “Dean memang calon istri saya. Kami sebentar lagi menikah.” Mendengar itu, Feby seketika bungkam dengan mata mengerjap. Dia menatapku dan Mas Dilan bergantian, benar-benar terlihat tak percaya. “A-ah, i-ya. Selamat kalau gitu, jangan lupa undangannya, ya, De.” “Siap, selagi masih ada jatah undangan buat lo. Hehe...” “De!” kali ini Feby langsung berdiri, dan tiba-tiba pergi begitu saja setelah mendengus padaku. Di saat yang sama, aku segera melepaskan diri dan menjauh. “Dasar nenek lampir! Capernya enggak ilang-ilang.” “Dia teman kamu?” “Satu angkatan, dan pernah sekelas beberapa kali.” “Oh...” “Kalau gitu saya balik sekarang ya, Mas. Yang barusan, maaf... agak lancang.” Aku meringis, sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan wajah. “Ya.” Detik itu juga, aku berdiri. Akan tetapi, tiba-tiba Mas Dilan menarikku untuk kembali duduk. “Apa lagi?” Tanyaku tak paham. “Kenapa cewek-cewek hobi sekali memakai bawahan terang, padahal tahu sedang berhalangan?” “Hah?” Bukannya menjawab, Mas Dilan malah berdiri, lalu melepas jaket kulitnya dan meletakkannya di atas meja. “Pakai itu, saya pulang dulu. Jangan lupa kasih tahu petugas perempuan buat bersihin nodanya.” Setelah Mas Dilan pergi, aku langsung menoleh ke arah sofa. Mataku seketika melebar kaget, begitu melihat ada noda kemerahan di sana. OH MY GOD! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD