5. Calon Istri

1162 Words
Entah sudah berapa kali aku terus membenturkan dahiku di meja yang ada di depanku. Otakku masih terasa blank sejak awal makan malam, sampai rasanya sangat sulit untuk kembali berpikir jernih. Gerakan membenturkan kepala ke meja akhirnya berhenti, ketika kurasakan ada tangan yang menahan kepalaku. Mataku terbuka, dan begitu menoleh, ternyata manusia patung itu sudah kembali. “Kamu mau punya dahi benjol?” tanyanya dengan wajah tanpa ekspresi. Aku tak menyahut, dan memilih untuk bergeser beberapa senti. Saat ini, ingatanku mulai tumpang tindih tidak karuan. Tiba-tiba saja, aku ingat semuanya. Mulai dari di pesawat, pengembalian koper, nemu uang, sampai insiden kamar mandi. Aku sama sekali tidak menyangka kalau aku terus bertemu orang yang sama. Dilano Praja Winata, laki-laki muka patung yang saat ini sudah kembali duduk di sebelahku. Dia adalah Laki-laki yang dipilih Papi dan Mami untuk menjadi calon suamiku. Laki-laki yang bahkan sudah membuatku jengkel sampai berkali-kali. “Argh!” aku menggeram tertahan ketika ingat makan malam tadi. Jujur saja, seumur hidupku, aku belum pernah melihat Papi dan Mami berbicara sebegitu banyak dengan orang luar, selain untuk urusan pekerjaan. Entah aku yang kurang perhatian, atau memang mereka yang baru menemukan orang satu frekuensi. Tadi, Papi dan Mami terus saja mengobrol dengan Om Aji dan Tante Lia. Melihat mereka tampak bahagia bercerita ini-itu, ada perasaan aneh yang tak bisa kujelaskan. Alhasil, tadi aku banyak diam dan hanya iya-iya saja ketika ditanya. Dan sekarang, begitu para orang tua sengaja pulang lebih dulu, aku mendadak menyesal karena tadi aku tidak melawan secara terus terang. Padahal, perihal melawan Papi dan Mami bukan hal baru lagi untukku. Aku bukan anak yang terlalu penurut, tetapi bukan juga anak yang selalu membangkang orang tua. Aku hampir selalu mempertimbangkan kedua orang tuaku dalam mengambil keputusan, meski terkadang aku akan bernegosiasi jika kami berbeda pendapat. “Mau terus seperti itu? Kalau iya, saya pulang—“ “Bentar!” kali ini menegakkan kepala, dan kuberanikan diri menatap balik Mas Dilan. Sejujurnya, aku mengakui kalau wajahnya melebihi ekspektasiku tentang kriteria calon suami. Ya, dari segi wajah, aku tidak bisa denial sama sekali. Kuakui Mas Dilan ini tampan –ah ralat, sangat tampan. Andai kami tidak pernah terlibat apa pun sebelumnya, kurasa, aku akan segera mengiyakan hanya dengan melihat wajahnya. Sayangnya, setelah apa yang kami lalui ketika beberapa kali bertemu, penilaianku tentang wajahnya menjadi nomor ke-sekian. Terlebih sampai saat ini, aku sama sekali belum bisa menilai kepribadiannya. Selain minim ekspresi, dia juga irit bicara. Belum lagi, dia juga pernah membuatku sangat kesal sekaligus malu. Kesal karena merasa diabaikan, malu karena ingat insiden koper kami yang tertukar. Duh! “Jadi gimana?” tanyanya lagi. “Mari jujur, jangan ada yang ditutup-tutupi,” balasku akhirnya. “Saya usahakan.” Kali ini aku memperbaiki posisi dudukku agar menghadapnya. “Sebelumnya, kenapa Mas Dilan mau dijodohkan? Terlepas saya atau bukan orangnya?” “Sebelum menjawab, saya suka cara kamu memanggil saya.” Keningku seketika berkerut. “Saya tanya serius, tahu!” “Emang wajah saya kelihatan bercanda?” “Ck! Iya, deh, iya. Jadi kenapa? Apa alasannya?” tanyaku tak sabaran. “Mungkin terdengar klasik dan kuno, tapi yang jelas, selain tidak ingin mengecewakan kedua orang tua, dari dulu saya selalu percaya pada pilihan mereka.” “Dan sekarang, gimana? Setelah lihat saya adalah pilihan mereka, dan setelah Mas Dilan tahu saya beberapa kali sebelum hari ini, masih mau?” “Kenapa enggak?” Aku reflek mengerjapkan mata beberapa kali. “Kenapa masih mau?” “Sesederhana kamu mau memanggil saya pakai panggilan ‘Mas’, itu sudah cukup.” “Jawaban macam apa itu?” “Kamu butuh jawaban jujur, kan?” Aku menghela napas panjang. “Sekarang... gimana kalau saya yang enggak mau?” “Ya sana bilang kalau kamu enggak mau. Jangan diam saja.” “Oke, habis ini saya bilang ke orang tua saya kalau saya enggak mau.” Aku mengambil tas dan berdiri. “Beneran loh, ya! Saya permisi...” Tidak ada sahutan. Aku langsung pergi keluar, dan berjalan cepat meninggalkan ruangan nomor lima. Akan tetapi, belum sempat aku tiba di lantai satu, seketika aku ingat perihal ancaman surat warisan. Aku berhenti sejenak, lalu melihat ke atas. “Aduh! Gimana, ini?” Setelah menimbang selama beberapa saat, akhirnya aku kembali naik, meski dengan perasaan campur aduk. Begitu sampai di lantai dua, aku melihat Mas Dilan baru saja keluar. Lagi dan lagi, Mas Dilan menatapku tanpa ekspresi yang berarti. Melihat ekspresinya yang itu-itu saja, membuatku benar-benar sulit menerka apa yang sebenarnya dia pikirkan saat ini. Jujur saja, entah kenapa aku yakin kalau jawabannya tadi hanyalah jawaban yang dia karang agar aku mau. Aku merasa dia memiliki alasan lain yang jauh lebih penting dari sekedar tidak ingin mengecewakan kedua orang tua. Apalagi ketika dia bilang menyukaiku hanya karena panggilan yang kuberikan padanya. Sangat aneh, kan? “Kamu berubah pikiran?” tanyanya begitu sudah berdiri di depanku. “Mas Dilan punya alasan lain, kan? Jujur! Saya yakin alasan yang tadi hanya sebagian kecil. Atau sebenarnya, alasan tadi cuma sengaja dibuat-buat. Iya?” tanyaku mencoba untuk to the point. Mas Dilan tak langsung menjawab, malah menatapku dengan tatapan yang lagi-lagi tak bisa kuartikan. Ekspresinya kali ini tidak datar, justru matanya terlihat seperti ingin bicara sesuatu. Sayangnya, aku bukan ahli membaca ekspresi orang, jadi aku jelas gagal paham. “Mas Dilan jawab— duh!“ kalimatku terhenti karena tiba-tiba tanganku dia tarik, dan menabraknya. “Hati-hati, Pak! Sapunya hampir mengenai calon istri saya!” “Oh iya, Mas. Maaf, maaf!” aku menoleh, dan memang ada cleaning service sedang mendorong gerobak kecil berisi alat bersih-bersih. Eh sebentar, dia menyebutku apa, barusan? Calon istri? Aku mendongak, dengan mata memicing tajam. “Barusan nyebut saya apa?” “Calon istri. Saya salah?” “Pede banget! Saya belum setuju, ya. Inget?” “Kalau belum, kenapa kembali naik ke atas?” Ya ampun! Orang ini, benar-benar! Dari tadi Mas Dilan terus membolak-balikkan kalimatku, menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan baru. Dia kira, dia bisa terus memperlakukanku seperti itu? Aku buru-buru mundur, juga sedikit mendorongnya menjauh. “Saya mau, dengan syarat Mas Dilan harus memberikan alasan yang paling realistis, sekaligus bisa bikin saya akhirnya menerima perjodohan ini tanpa tapi. Gimana?” “Termasuk jika saya mengambil keuntungan di dalamnya?” Aku langsung mencibir begitu mendengar pertanyaannya. “Sudah saya duga, pasti ada alasan khusus. Ya, boleh, bilang aja semuanya. Saya ingin dengar alasan yang paling jujur, termasuk jika ada unsur mengambil keuntungan di dalamnya. Karena sebenarnya, saya pun begitu.” Mas Dilan mengangguk, lalu kembali mendekat. “Besok kita ketemu lagi, kita obrolkan semuanya.” “Oke.” Aku reflek menjauhkan kepala, ketika tiba-tiba Mas Dilan menunduk, menyejajarkan tingginya denganku “Apa? Mau apa lagi?” “Enggak, enggak ada apa apa. Saya cuma mau bilang, sampai ketemu besok ... calon istri... ” Setelah mengatakan itu, Mas Dilan kembali berdiri tegak dan langsung pergi begitu saja, meninggalkanku sendirian yang masih berdiri di tempat. Aku reflek mengembuskan napas panjang, karena barusan aku sempat menahan napas. Bentar, bentar... kenapa sekarang aku justru ingin marah? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD