2. Kenyataan Pahit Kedua

1494 Words
Davinna menyeka air matanya. Gadis itu duduk termenung, dengan pandangan menerawang. Teringat akan kenangan masa kecilnya bertahun-tahun yang lalu, yang ia rasa begitu cepat berlalu. Masa kecil, di mana ia dirawat dan dibesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang oleh mamanya, Widia Darmawangsa. Bersuamikan Bramu Darmawangsa, Widia adalah seorang istri yang baik. Kehidupan keduanya bahkan sangat disanjung-sanjung sebagai keluarga kecil yang harmonis oleh orang-orang di sekitar mereka. Jarang sekali terjadi pertengkaran yang berarti di antara keduanya. Bahkan di usianya yang masih terbilang muda, Bramu berhasil mencapai kesuksesannya dengan mendirikan sebuah Perusahaan yang bergelut di bidang properti, hingga membuat pundi-pundi uang mereka terus bertambah. Semua itu bagaikan kilas balik yang begitu cepat berlalu. Segala bentuk kehangatan keluarga, kebersamaan, serta kasih sayang berlimpah yang Davinna dapatkan dari orang-orang di sekitarnya ... tak lebih dari seonggok kepalsuan belaka. Bentuk semu dari kebahagiaan yang semestinya ia dapatkan dari keluarga kandungnya. Yang sayangnya ... hanya ia dapatkan dari kedua orang tua angkatnya, Widia dan Bramu Darmawangsa. Darmawangsa. Aaah .... Kini, ia menyadari sesuatu. Bahkan di dalam namanya pun, tidak tersemat nama Darmawangsa. Hal yang semestinya ia sadari sejak dulu, jauh sebelum ia mendengar dengan telinganya sendiri, bahwa ia bukanlah bagian dari mereka. Bukan darah daging mereka. Ia tak lebih dari secuil pelengkap yang kebetulan terpilih sebagai penyempurna keluarga Darmawangsa. Menutupi sebuah kekurangan dan ketidakutuhan keluarga ini, dengan menjalankan perannya seapik mungkin sebagai putri mereka. Davinna Rinda Syarirra. Nama itulah yang diberikan Widia dan Bramu, sebagai panggilan untuknya. Tidak ada nama besar Darmawangsa di sana. Menunjukkan bahwa ia bahkan tidak pantas menjadi bagian dari mereka. Seharusnya, ia menyadari hal ini sejak dulu. Karena mungkin rasanya tidak akan sesakit ini. Setelah ia menorehkan begitu banyak kenangan manis bersama keluarga Darmawangsa. Seharusnya sejak dulu saja ia mengetahui kebenaran menyakitkan ini. Sebelum terlalu jauh dan dalam, ia melibatkan perasaan dan rasa cintanya. Perasaan sebagai seorang anak yang dilimpahi kasih dan sayang dengan sepenuh hati. Sayangnya, ia tidak pernah tahu .... Davinna beringsut bangun dari duduknya. Duduk terlalu lama di lantai, membuat pantatnya terasa kebas dan dingin dalam waktu yang bersamaan. Gadis itu pun meraih tasnya. Membawanya serta, kemudian meletakkannya di sisi ranjang. Menyeka kembali air mata yang sepertinya tak mau surut dari kedua sudut kelopak matanya, gadis itu pun beringsut dari sisi ranjang. Ia tak bisa begini. Ia harus melakukan sesuatu untuk melanjutkan hidupnya. Menata kembali hatinya. Ditatapnya jam dinding yang terpasang pada salah satu sisi dinding. Nyaris mendekati pukul tiga dini hari. Tidak masalahkah, jika aku menemui Andro pada jam segini? Davinna menarik napasnya dalam-dalam. Gadis itu tidak lagi mempunyai tempat lain untuk mengadu dan berkeluh kesah, selain kepada Andro-kekasihnya, sekarang. Ia pun memutuskan untuk membuka isi tasnya. Mencari-cari ponselnya dari dalam sana. Dinyalakannya benda pipih berwarna hitam itu begitu berhasil ia temukan, tanpa menunggu waktu lama. Kosong. Tidak ada satu pun pesan masuk dari Andro, untuknya. Kenapa Andro tidak menghubungiku? Apakah dia baik-baik saja? Davinna menatap layar ponselnya, dengan kening berkerut. Tidak biasanya, Andro tidak mengiriminya pesan, jika sudah sampai pada unitnya. Ia yakin pria itu telah sampai di apartemennya sejak satu jam yang lalu. Tapi, kenapa dia tidak mengabariku? Merasa khawatir dengan keadaan Andro, Davinna pun meraih kembali tas kecilnya. Masih dengan mengenakan pakaian dan jaket yang sama, gadis itu pun beranjak keluar dari dalam kamarnya. Memutuskan untuk mendatangi apartemen Andro, hanya untuk memastikan bahwa pria itu baik-baik saja. "Mau ke mana kamu malam-malam begini, Davinna?" Pertanyaan itu menghentikan langkah kaki Davinna, dengan seketika. Gadis itu pun menoleh. Didapatinya Bramu Darmawangsa yang tampak berdiri tepat di depan pintu kamarnya. "Ada sesuatu yang tertinggal, Pa. Davinna harus mengambilnya sekarang," dusta Davinna, kemudian berlalu pergi. Melewati Bramu yang tampak mengatupkan rahang dari tempatnya berdiri. "Kenapa tidak besok pagi saja? Anak gadis tidak baik keluar malam-malam begini!" seru Bramu, dari belakang Davinna. "Maaf, Pa. Tapi, Davinna benar-benar harus pergi." Davinna pun berlalu secepat mungkin. Mengabaikan raut marah Bramu, yang tampak tersirat pada wajah paruh bayanya. "Davinna!" "Sekali lagi kamu melangkahkan kaki meninggalkan rumah ini, jangan harap Papa akan menerimamu kembali!" teriak Bramu, terdengar menggelegar. Davinna seketika menghentikan langkah kakinya. Gadis itu mencengkeram erat tali tas kecilnya. Menggigit bibirnya dengan mata terpejam, ia pun menghela napasnya dalam-dalam. Davinna memalingkan wajahnya. Memandang Bramu, mendapati bahwa pria itu tengah menatapnya tajam dengan wajah yang sudah merah padam. "Maafin Davinna, Pa," lirih Davinna, kemudian berlalu pergi. "Davinna!?!" * "Berhenti, Pak!" pesan Davinna, pada seorang supir taksi yang mengantar kepergiannya malam itu. Mengulurkan beberapa lembar uang berwarna merah, ia pun membuka pintu taksi itu dan beranjak keluar dari sana. Hawa dingin dini hari yang terasa begitu menusuk dan menyengat setiap persendian dari balik jaket, seketika saja menyambut kehadirannya di ambang pintu masuk sebuah gedung Apartemen tempat di mana Andro selama ini tinggal. "Mbak, kembaliannya!" panggil supir taksi yang ternyata belum juga beranjak dari tempatnya semula. "Buat Bapak saja!" sahut Davinna, dengan setengah berteriak. Supir taksi di dalam sana tampak mengangguk ragu. Tersenyum kikuk, lalu membuka kaca pintu bagian depan. "Terima kasih, mbak!" serunya kemudian, yang hanya ditanggapi dengan sebuah anggukan kepala oleh Davinna. Davinna mendongakkan kepala, menatap jendela kaca berwarna gelap yang terdapat pada apartemen Andro dari tempatnya berdiri. Sedikit merasa lega, karena mendapati lampu apartemen Andro yang masih dalam keadaan menyala. Itu menandakan, bahwa pria itu sudah sampai dengan selamat dan masih terjaga di dalam sana. Davinna pun melangkahkan kakinya untuk masuk. Melewati sebuah portal keamanan yang terdapat pada pintu masuk gedung, gadis itu pun mendapati seorang security perempuan yang tampak tengah berjaga di balik meja kerjanya. "Mbak Davinna?" sapa Ria, yang seketika berdiri dari balik mejanya. "Selamat malam, Mbak," sapa Davinna, "Andronya ada, mbak?" "Ah ... i-itu ... Mas Andronya lagi ... ehm ...," ucap Ria terbata, sembari menggaruk tengkuknya. Kening Davinna berkerut. Memulas senyum simpul, gadis itu kemudian memperbaiki letak tali tas kecilnya di pundak kirinya. "Andronya ada?" tanyanya lagi. "A-ada, Mbak." "Baik. Terima kasih, Ria." Davinna pun tersenyum sekali lagi dan berlalu. Melintasi lobi, kemudian memasuki sebuah lift yang terdapat di ujung sana. Langkah gadis itu terasa bergetar. Ia merasa tak lagi memiliki tenaga, setelah menghabiskan banyak waktunya untuk menangis. Davinna pun memilih untuk menyandarkan punggungnya pada dinding lift. Membiarkan rasa dingin dinding besi itu meresapi setiap lapis kain penutup tubuhnya. Mata Davinna terpejam. Ia tidak lagi memikirkan bagaimana kondisi tubuhnya sekarang. Yang ia pikirkan hanya satu. Segera menemui Andro dan memastikan bahwa pria itu baik-baik saja. Setelahnya, ia akan menceritakan kebenaran kenyataan pahit yang baru saja ia dengar dari kedua orang tuanya. Setidaknya, itulah yang terencana di dalam benaknya sekarang. Ting! Pintu lift pun terbuka. Davinna melangkahkan kakinya keluar, menyusuri sebuah lorong kecil yang menghubungkan ruangan itu dengan sebuah unit di ujung sana. Sebuah unit kelas menengah yang berjejer rapi di sisi sebelah kanan koridor, dengan lampu kecil berwarna kuning terang yang menyala di setiap sisi bagian depannya. Menandai setiap apartemen, dengan nomor yang berbeda. Menghentikan langkah kakinya, Davinna pun menarik napasnya dalam-dalam begitu ia sampai di depan sebuah pintu dengan nomor AK275. Memasukkan kode sandi yang sudah ia hafal di luar kepala, Davinna pun melangkahkan kakinya masuk, begitu pintu itu terbuka. Menyusuri ruangan bagian depan apartemen itu, ia pun meletakkan tas kecilnya di atas sebuah meja. "Andro?" panggilnya. Merasa tak mendapati sahutan dari sang empunya apartemen, Davinna pun memutuskan untuk menyusuri ruangan itu lebih dalam. Dimulai dari ruang tengah yang berbatasan langsung dengan ruang tamu, kemudian melewati sebuah sekat kecil yang memisahkan ruang makan dan dapur minimalis di ujung sebelah kanan. "Argh!" Dahi Davinna mengernyit, mendengar sebuah suara ambigu dari dalam sebuah kamar yang terdapat di seberang ruang tengah. "Ah! ah! ah!" Kini yang tertangkap oleh indera pendengarannya adalah suara seorang wanita. Terdengar saling sahut-menyahut dengan seorang pria, yang mana suara-suara itu terdengar semakin jelas di telinganya. Seperti berasal dari arah dan ruangan yang sama. Bersumber dari dalam sebuah kamar. "Andro?" Davinna meneguk ludahnya. Menguatkan hati dengan tubuh gemetar, melawan rasa takut demi menghadapi kemungkinan menyakitkan kedua dari kekasih hatinya. "Kau sangat nikmat, Sandra!" racau pria itu samar dari dalam sana. Davinna menutup kedua telinganya dengan mata terpejam. Hatinya berdebar, diikuti oleh sebuah rasa panas yang menyusupi segenap sel-sel tubuhnya dengan seketika. Rasa sakit itu kembali menghujam dan menusuk ulu hatinya. Rasa sesak yang teramat sangat, yang seketika menyesakkan rongga dadanya dalam waktu sekejap. Perasaan yang sama, dengan apa yang baru saja ia dapati dari kedua orang tuanya. Rasa terkhianati. Sedetik kemudian, gadis itu pun menurunkan kedua tangannya. Ia membuka perlahan kedua kelopak matanya. Memasang baik-baik indera pendengarannya, memastikan dengan benar bahwa kali ini ia tidaklah salah mengira. "Jadilah milikku, Sandra. Kupastikan akan kupenuhi setiap kebutuhanmu, jika kau mau menjadi milikku!" Sayup-sayup, kembali ia dengar suara Andro berkata. Disusul dengan sebuah erangan, serta desah napas pria itu yang lantas dibalas oleh seorang wanita dari dalam sana. "Kau sudah memiliki kekasih, An. Ahh! A-aku tidak bisa!" "Persetàn dengan gadis itu! Aku akan meninggalkannya, jika kau mau menjadi milikku, Sandra!" Davinna kembali meneguk ludahnya. Sekuat hati, ia melangkahkan kaki mendekati pintu berwarna hitam itu. Meraih knop pintu, menggenggamnya erat dengan dadà naik-turun. Hingga sedetik kemudian .... BRAKKK!? "Apa yang sedang kalian lakukan?!?" *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD