3. Kesendirian

1344 Words
BRAKKK!? "Apa yang sedang kalian lakukan?!?" pekik Davinna, begitu pintu hitam itu berhasil ia buka. "Ahh ...!? Bagaimana bisa dia masuk ke sini, An?!" jerit seorang wanita bertubuh polos dari atas ranjang, seraya meraih selimut guna menutupi tubuhnya. "Davinna?!?" seru Andro terkejut. Di depan pintu, Davinna terdiam. Mati-matian, ia menahan air mata yang terbit dan kembali menggenangi kedua kelopak matanya. Gadis itu nyaris tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Mendapati kekasih kebanggaannya tengah berbugìl ria dengan wanita lain dalam satu ranjang yang sama di depan matanya, itu sama sekali tidak ia harapkan. Oh, Tuhan! Bisakah aku kembali ke dalam kamarku saja ...? "Iya, aku ...," lirih Davinna kemudian. "Ka-kamu ...!" Andro mengusap wajahnya, kasar. Entah karena merasa malu atau justru kesal mendapati Davinna yang tiba-tiba saja datang dan memergoki dirinya tengah bercinta dengan wanita lain. "Suruh dia keluar, An! Kenapa kamu diam saja?!" rengek wanita bernama Sandra, sembari menarik-narik lengan kiri Andro. Yang kemudian ditanggapi oleh Andro, dengan menepuk sekali punggung tangannya. Di tempatnya, air mata Davinna sudah mengalir membasahi pipinya. Gadis itu menatap nanar sepasang sejoli yang kini justru terlihat bermesraan di depan matanya. Seperti disayat dengan sembilu, hatinya yang sebelumnya sudah rapuh oleh kenyataan hidup yang baru saja ia terima, kini bagai tercabik-cabik tanpa sisa. Pupus sudah, harapan terakhir yang ia miliki. "Jadi, ini yang kamu lakukan diam-diam di belakangku?" lirih Davinna, sekali lagi. Andro meraih kasar piyama tidurnya yang tergeletak di ujung ranjang. Pria itu bergegas mengenakannya dan kemudian berdiri. Melangkahkan kaki mendekati Davinna, lalu menariknya paksa untuk kemudian dibawanya pergi dari ambang pintu. "Ikut aku!" "Lepaskan!" ronta Davinna, "jangan sentuh aku, bajingàn!" PLAKKK! Sebuah tamparan pun melayang. Andro yang sebelumnya menarik lengan Davinna dan membawanya keluar pun melepaskan tangannya. Mengelus singkat pipinya yang panas, akibat tamparan tangan Davinna yang tak lagi sempat untuk ia elak. "Pulanglah sekarang, Davinna. Aku sedang tidak ingin berdebat." Andro merentangkan tangan kanannya. Mempersilakan Davinna untuk segera pergi dari sana. Menghapus singkat air matanya, Davinna pun lantas mengangguk. "Baik. Aku mengerti. Kamu lebih memilih dia daripada aku, 'kan?" tanya Davinna, sembari mendongakkan kepalanya. "Kamu bahkan tidak pernah benar-benar mencintaiku, An!" pekiknya lantang, kemudian bergegas berlalu dan mengambil tas kecilnya. Gadis itu pun pergi dengan langkah cepat-cepat. Mengabaikan seruan Andro yang samar-samar masih terdengar oleh telinganya. "Davinna!" Andro berkacak pinggang di depan pintu. Mengusap kasar wajahnya, kemudian melampiaskan rasa kesal dengan membanting daun pintu apartemennya. "s**t!" umpatnya. Sementara itu .... Davinna yang memutuskan untuk segera berlalu dari apartemen Andro pun lantas memasuki lift dengan tergesa. Membiarkan kotak besi itu bergerak membawa dirinya turun dengan perasaan berkecamuk. Gadis itu duduk merosot di satu sisi. Menutup wajah yang kembali berurai air mata, dengan kedua tangannya. Ting! Pintu lift itu kembali terbuka. Seorang pria tampak masuk dan mengernyitkan keningnya, begitu mendapati Davinna yang sedang duduk meringkuk di salah satu sudut. Pria asing itu pun lalu membalikkan badannya. Mencoba mengabaikan gadis berambut panjang di belakangnya yang terdengar terisak lirih, dengan kepala tertunduk. Memencet salah satu tombol, lantas membiarkan kotak besi itu kembali bergerak membawa mereka berdua menuju pada lantai dasar. "Kamu tidak apa-apa?" tanya pria itu kemudian. Davinna mendongakkan wajahnya. Menyapu sisa air matanya, memandang pria yang berdiri di depannya dengan tatapan dingin. "Aku baik-baik saja." Davinna membalas singkat. Pria itu terlihat mengangguk kecil. Memalingkan kembali wajahnya ke depan, membiarkan Davinna duduk meringkuk seorang diri di belakangnya. Bagaimanapun juga, mereka tidaklah saling mengenal. Tidak sopan rasanya, jika ia banyak bertanya tentang keadaan gadis itu, sementara mereka baru saja bertemu. Ting! Pintu lift itu kembali terbuka. Menyuguhkan pemandangan lantai dasar apartemen, yang terbilang cukup lengang pada jam-jam seperti ini. Davinna pun beranjak berdiri. Meraih tas kecilnya, kemudian berlalu pergi dari dalam sana. Menyusul pria asing yang baru saja berada dalam satu lift bersamanya dan sudah lebih dulu pergi. "Mbak Davinna?" sapa Ria, tampak sedikit gugup. "Ehm ... sudah ketemu sama mas Andronya, Mbak?" Davinna pun menghentikan langkah kakinya. Melirik singkat Ria yang tampak salah tingkah dengan kedatangan dirinya, gadis itu pun lantas menimpali. "Sudah." Ada setitik rasa kesal yang terselip di dalam hati Davinna, begitu ia mengetahui Ria yang ternyata menutupi kubusukan Andro darinya. Gadis itu pasti tahu betul, siapa saja wanita yang pernah dibawa Andro bermalam di dalam apartemennya. Membuat Davinna merasa semakin muak, jika teringat bagaimana sepasang insan di atas sana bergumul dengan sangat panas di depan matanya. "Mbak Davinna mau dicarikan taksi?" tawar Ria, merasa tak enak. Entah karena merasa bersalah atau memang prosedur pekerjaan yang mengharuskannya bersikap seperti itu. "Tidak perlu. Aku bisa mencarinya sendiri!" jawab Davinna, kesal. Mengabaikan keramah-tamahan Ria yang sepertinya disebabkan oleh rasa kasihan security wanita itu padanya, Davinna pun memilih untuk melenggang pergi. Meninggalkan tempat itu, secepat yang ia bisa. "Taksi!" seru Davinna, sembari melambaikan satu tangannya pada sebuah taksi yang melintas. Taksi berwarna biru itu pun berhenti dengan perlahan. Seorang supir keluar dari balik kemudi. Berjalan memutar, membuka pintu, dan mempersilakan Davinna untuk memasuki kursi penumpang. Davinna yang lelah pun lantas bergegas untuk masuk. Menghempaskan tubuhnya kasar, dengan mata terpejam. Membiarkan supir taksi itu menutup pintu untuknya, sebelum kemudian menyusul masuk dan menempatkan dirinya di balik kemudi. "Mau ke mana, Mbak?" tanya supir taksi itu, seraya menolehkan kepalanya ke arah belakang. Mendadak, Davinna terdiam. Ia bahkan tidak tahu, ke mana harus pergi setelah ini. Haruskah ia kembali ke rumah keluarga Darmawangsa? Bukankah Bramu sudah mengusirnya? Sekarang, ke mana ia akan pulang? "Ehm ... jalan saja, Pak. Nanti saya tunjukkan tempatnya," balas Davinna, singkat. "Baik, Mbak." Taksi itu pun bergerak perlahan. Melaju, membelah jalanan yang masih teramat lengang karena jam masih menunjukkan pukul empat pagi. Matahari bahkan belum menampakkan sinarnya di ufuk timur sana. Davinna memejamkan matanya. Pikirannya melayang, membayangkan kejadian demi kejadian yang baru saja ia alami dalam beberapa jam terakhir. Dimulai dari kenyataan mengejutkan yang ia terima dari Bramu dan Widia, kemudian Andro yang ternyata diam-diam bermain gila di belakangnya. Kilasan kejadian itu berputar-putar di dalam benaknya. Menyisakan rasa sesak dan lara yang begitu nyata menghantam dadanya. Gadis itu menggigit bibirnya. Mencoba menenangkan diri, mengusir kepiluan yang terasa semakin menyesakkan dadanya. Buliran bening itu tak kuasa lagi ia tahan. Davinna bukanlah seorang wanita yang kuat. Ia bahkan seringkali tersentuh oleh hal-hal kecil yang terjadi di sekitarnya. Akan tetapi, meskipun begitu, ia terhitung jarang sekali menangis. Ia sendiri bahkan lupa, kapan terakhir kali ia menangis. Dan sekarang, air mata itu justru tertumpah ruah tak dapat lagi ia bendung. Gadis itu menangis tersedu-sedu di kursi penumpang. Tangisan lirih yang terdengar begitu memilukan, bagi siapa saja yang mendengarnya. Mengundang supir taksi yang membawanya pergi untuk menoleh dan memeriksa keadaan dirinya dengan kening berkerut. "Mbak tidak apa-apa?" tanya supir taksi itu kemudian. "Saya baik-baik saja." Davinna memalingkan wajahnya sejenak. Menyeka singkat air matanya, ia pun lantas beringsut memperbaiki posisi duduknya. "Di persimpangan jalan depan, ambil jalur kanan, Pak. Antarkan saya ke alamat ini," tukas Davinna seraya menyodorkan sebuah kartu nama pada supir taksi itu. "Baik, Mbak." Taksi itu pun melaju dengan kecepatan sedang. Menembus dinginnya udara pagi, yang seolah mampu membekukan setiap persendian kota agar berhenti sejenak dari segala aktivitasnya. Memaksa setiap penghuninya untuk menikmati waktu, merasakan hangatnya selimut di atas peraduannya masing-masing. "Kita sudah sampai, Mbak," ucap sang supir, begitu taksi berwarna biru itu berhenti tepat di depan sebuah rumah berpagar besi, dengan cat berwarna coklat tua. Davinna beringsut. Mengedarkan pandangannya mengamati keadaan sekitar dan mendapati bahwa ia sudah sampai pada tempat tujuannya. Ia pun membuka tas kecilnya. Meraih dompet dan mengambil sejumlah uang sesuai dengan harga yang tertera pada argometer di depan sana. "Ini, Pak. Kembaliannya buat Bapak saja," ucap Davinna, sembari menyodorkan beberapa lembar uang. "Wah, terima kasih, Mbak!" sahut supir taksi itu sumringah, lantaran mendapatkan tips yang lumayan dari Davinna. Davinna pun lantas beranjak turun dari dalam sana. Membiarkan taksi itu berlalu pergi meninggalkan dirinya tepat di depan sebuah rumah dengan desain minimalis. Davinna menarik napasnya dalam-dalam. Memandang sejenak pagar besi di depannya, sebelum kemudian memutuskan untuk memencet bel yang terdapat pada sisi kanan pagar. Ting-Tung! Bel itu berbunyi. Membawa serta seorang gadis berpiyama coklat, yang lantas tampak muncul dari balik pintu besi, tak lama setelahnya. Gadis itu terlihat menguap sekilas. Mengusap-usap kedua matanya, melongokkan kepalanya keluar, sebelum kemudian berkata. "Davinna?" *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD