“Agnes, jangan lupa di Ciel Bleu jam 8 malam, Shawn Edelberto.” Tukas Eloise kepada Agnes, dan berlalu berjalan keluar dari mansion mewah mereka.
“Ingat! Kamu jangan sampai terlambat, jangan permalukan Dad and Mom, dia adalah putra dari salah satu rekan bisnis kami.” Tambah Patricia seraya menyusul suaminya yang sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil. Wanita paruh baya yang masih begitu cantik itu memberikan peringatan kepada sang putri.
Agnes yang juga sedang bersiap – siap untuk menuju ke kantornya hanya bisa memutar malas bola mata nya yang indah. “Again?!”
Wanita cantik itu mendengkus kesal. Paginya yang tadi cerah kini rusak karena permintaan orang tuanya, bahkan ini bukan permintaan melainkan perintah.
Dengan langkah malas di pun berjalan menuju mobilnya. Dia yang malas menggunakan sopir pribadi, memilih untuk menyetir kendaraannya sendiri. Dia merasa lebih bebas dan saat seperti inilah dia bisa mendapatkan ruangnya sendiri. Menikmati keindahan pagi, meskipun hanya sesaat.
Dia yang merupakan anak pertama dari dua bersaudari harus menjadi sosok sempurna seperti yang kedua orang tuanya inginkan. Baik dalam pendidikan hingga sekarang calon suami pun harus berdasarkan seleksi kedua orang tuanya. Karena menurut mereka pernikahan adalah sebuah kesepakatan antara kedua keluarga yang saling mendukung, mendukung yang di maksud adalah dalam hal bisnis. Bagi kedua orang tua Agnes, cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Dan pernikahan bisnis adalah pernikahan terbaik bagi keluarga seperti mereka. Karena dengan begitu mereka bisa saling menguntungkan.
Sedangkan adik perempuannya yang bernama Scarlet saat ini sedang menikmati kehidupannya yang bebas di Jerman, adik perempuannya itu melanjutkan sekolahnya di sebuah universitas ternama di Jerman.
Agnes menyetir kendaraannya, membelah jalanan dengan hiruk pikuknya. Dan tida puluh menit pun berlalu. Agnes tiba di perusahaan. Wanita cantik bermata indah itu turun dari mobil dengan setelan blazer mewahnya. Blazer dan rok line A terbentuk sempurna mengikuti lekukan tubuhnya yang begitu indah.
Heels yang ia kenakan saling menghentak bergantian, bersama dengan langkah kakinya yang mengayun. Meskipun moodnya saat ini terasa buruk. Dia harus tetap bisa bersikap prosefional selama di perusahaan.
"Pagi Bu Agnes,” sapa seorang wanita manis berpakaian rapi seraya membuka pintu untuk Agnes.
“Pagi Frida,” sahut Agnes membalas sapaan sekretarisnya dan berjalan masuk ke dalam ruangannya.
Agnes duduk dengan anggun di kursi CEO di ruang kerjanya yang luas dan elegan. Ruangan itu dipenuhi dengan sentuhan kemewahan dan kesan elegan yang kuat. Dinding-dinding yang dilapisi dengan panel kayu mahoni memberikan nuansa hangat, sedangkan lantai marmer mengeluarkan kilauan yang mempesona. Sedangkan di sudut ruangan, sebuah jendela besar memberikan pemandangan megah kota Amsterdam yang sibuk di pagi hari.
Frida dengan sigap memberikan beberapa map berwarna biru kepada Agnes. “Ini adalah berkas yang perlu tanda tangan anda.” Ucapnya pelan.
“Dan ini adalah jadwal anda untuk hari ini,” sambung Frida seraya memberikan ipad yang ia pegang. Ipad yang berisikan jadwal Agnes hari ini.
“Terima kasih Frida.” Sahut Agnes, kemudian wanita cantik itu men-slide layar ipad. Melihat jadwalnya yang sangat padat hari ini. Setidaknya dia masih memiliki waktu satu jam sebelum rapat pertama di mulai, tetapi waktu satu jam itu harus dia gunakan untuk memeriksa setumpuk dokumen yang harus ia tandatangani.
“Saya akan siapkan sarapan anda,” ujar Frida, salah satu tugasnya setiap pagi adalah mengatur sarapa pagi Agnes.
“Ok, dan aku ingin yang sedikit manis hari ini,”
“Baik Bu,” Frida melangkah keluar, menuju cafe yang tepat berada di sebelah perusahaan untuk membeli kue dan minuman atasannya.
Di mana Agnes yang tidak pernah meluangkan waktu untuk sarapan bersama kedua orang tuanya di rumah. Dia selalu menghindari percakapan yang tidak menyenangkan. Percakapan yang merusak moodnya dalam beraktifitas. Sama seperti pagi ini. Dia kembali merasa kesal kepada kedua orang tuanya.
Baginya, perjodohan itu adalah hal yang tak bisa diterima. Dia merasa bahwa hidupnya harus ditentukan oleh pilihan-pilihan yang dia buat sendiri, bukan oleh keinginan orang lain.
Seenaknya saja melakukan perjodohan, seenaknya saja dalam menentukan kehidupannya. Namun di sela-sela pikirannya yang sedang gelisah, ada sosok pria yang juga terus mengganggunya dalam beberapa hari ini.
Sosok pria yang telah mengambil virgin nya. Sosok pria yang pertama bisa membuat dirinya tidak bisa menolak. Pria yang membuatnya terpesona. “Hahhhh….!” Agnes menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya.
“Dia memang seorang playboy, apa yang kuharapkan dengan pasangan one night stand. Menghabiskan malam dengan pria asing adalah sesuatu hal yang tidak pernah akan aku lakukan! Tapi…. Siapa yang bisa menahan pheromen yang di keluarkan oleh pria itu!” gumam Agnes seraya memijit keningnya.
Seiring dengan pikirannya yang melayang-layang, kenangan malam panas bersama Brian terus menghantuinya. Tiga hari yang lalu, di sebuah klub malam, dia secara tak sengaja bertemu dengan pria itu. Mata mereka saling bertemu, dan tanpa kata-kata, mereka saling tertarik satu sama lain. Malam itu, mereka berdansa di tengah gemerlap lampu-lampu klub, merasakan denyutan musik yang memenuhi ruangan, dan menikmati momen kebersamaan yang terasa begitu intens.
“Yah yah yah… Aku tahu itu semua karena alkohol! Kalau bukan karena alkohol, aku tidak akan terjerat dengan pria perayu itu!” kilah Agnes yang berusaha menepis pikirannya.
Setiap dia mengingat pria itu, tubuhnya selalu saja meremang. Apalagi setiap malam sebelum tidur, dia pasti akan mengingat adegan per adegan panas yang ia lakukan bersama Brice.
“Brice… Hahh… Dia pasti hanya seorang player!” gumamnya pelan.
Plak plak plak
Agnes menampar kedua pipinya agar dia bisa kembali ke fokusnya pagi ini. “Fokus.. fokus … fokus Agnes! Lupakan pria itu!” mantra rutin yang ia lakukan setiap pagi setelah pertemuannya dengan Brice.
Dia harus kembali ke dunia kerjanya yang penuh dengan tuntutan dan tanggung jawab. Dia mengambil selembar dokumen dari tumpukan kertas di meja kerjanya, memeriksa dengan seksama setiap detail yang ada.
Frida kembali ke ruangannya dengan sepiring kue dan teh hangat.
Frida dengan sigap membantu Agnes, membereskan dokumen yang sudah selesai di revisi oleh atasannya. Serta dokumen yang sudah selesai di tandatangani oleh Agnes.
Kurang lebih sekitar empat puluh lima menit mereka berkutat dengan tumpukan dokumen ini. Sampai Frida berdiri dari duduknya menandakan pekerjaan mereka sudah selesai. “Bu, silahkan istirahat sejenak. Saya akan menyiapkan dokumen untuk meeting pagi ini.” Ujar Frida.
“Ahhhh… Ukhhh….!” Agnes merenggangkan ototnya, menarik tangannya ke atas lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursinya yang empuk. “Ok Frida, thank you!”
Dia merasa lega akhirnya pekerjaannya bisa lebih cepat selesai. Frida pun keluar dari ruangannya.
Waktu pun berlalu, Agnes kembali terfokus pada pekerjaannya, memeriksa dokumen-dokumen penting dan membaca hasil meeting pagi tadi. Dia memikirkan setiap langkah strategis yang perlu diambil untuk memajukan perusahaannya. Di dalam dirinya, ada semangat dan tekad yang membakar, menjadikannya seorang pemimpin yang kuat dan berdedikasi untuk perusahaan dan para bawahannya. Meskipun dia terlahir bergelimangan harta. Dia ingin menunjukkan kemampuan dirinya, bukan berdasarkan atas nama kedua orang tuanya.
Dan malam pun tiba, tepat jam 7 lewat 30 menit ia sudah berada di sebuah restaurant mewah. Di mana dia akan bertemu dengan pria asing.
Di saat dia mengambil langkah malas. Tiba - tiba tubuhnya menabrak seorang wanita.
"Ohh... Sorry..."
Bersambung....