•••
“Makasih banyak ya udah benerin hape gue!” seru Bulan sebelum melompat dan memeluk erat tubuh Naga tanpa canggung, empunya pun diam tanpa bereaksi apa-apa, baru kali ini ada gadis senekat Bulan. Kinta saja yang notabene sebagai pemilik hati Naga tak sampai melakukan hal segila itu pada kekasihnya, tapi lihat saja seorang Rembulan Widjaja. “Sekarang gue bisa telepon teman-teman gue dan minta tolong sama mereka, Dragon emang baik deh!”
Naga menatapnya sejenak sebelum masuk ke mobil dan duduk di balik kemudi, Bulan pun ikut duduk seraya memainkan ponselnya. Ia memutuskan untuk menghubungi Raka—kekasihnya—lebih dulu, ia pasti tahu kalau Raka merindukannya setelah hampir dua hari tak bertemu, biasanya setiap malam atau di kampus mereka selalu bertemu.
“Hallo, Ka? Gimana kabar kamu?” tanya Bulan begitu bersemangat, mobil pun mulai melaju dengan empunya yang tak acuh terhadap urusan Bulan saat ini. Urusan Naga hanyalah membetulkan ponsel gadis itu agar Bulan cepat enyah dari panti dan tak mengusik hidupnya lagi, cukup sampai di situ saja.
“Ini siapa ya?” Suara seorang perempuan terdengar jelas di telinga Bulan, ia yakin yang dihubungi nomor Raka dan bukan orang lain.
“Lah elo siapa, ini nomor Raka, ’kan? Gue Bulan, pacarnya Raka.”
Perempuan di telepon itu terbahak bahagia, “Oh, jadi lo yang namanya Bulan. Iya nih cowok lo lagi sama gue.”
Bulan mengernyit, ”Maksud lo gimana ya? Raka mana!”
“Santai dong santai, nanti gue kirimin fotonya.” Panggilan pun berakhir secara sepihak, Bulan mulai was-was setelah mendengar suara orang lain lewat ponsel Raka. Jutaan pertanyaan muncul di kepala Bulan, ia gelisah dan takut jika Raka melakukan sesuatu di belakangnya hanya karena ia pergi demi menghindari kuliah di Jerman, lagipula ia melakukan semua itu juga demi harmonisnya hubungan mereka karena Bulan tahu kalau Raka tak ingin ada LDR antara mereka. Bukankah sudah begitu besar usaha Bulan hingga ia menentang orangtuanya?
Tring!
Buru-buru Bulan membuka w******p dari ponselnya, dan ia membeku melihat beberapa foto yang dikirimkan gadis itu. Ada tiga buah foto yang memperjelas keadaan Raka sekarang, air mata jatuh dari sudut mata Bulan dan Naga menyadarinya setelah melirik gadis itu lewat kaca mobil.
Bulan menjatuhkan ponselnya di dekat perseneling dan memutuskan menatap ke arah luar jendela seraya mengusap air matanya, Naga pun hanya diam tanpa mengatakan apa-apa.
Begitu sampai di halaman panti pun Bulan turun begitu saja tanpa memgatakan apa-apa, ia juga lupa mengambil ponselnya dan Naga memutuskan meraih benda pipih warna perak itu. Naga menekan tombol pada sisi kiri ponsel hingga layar pun hidup, ia kini melihat bukti konkret yang membuat Bulan sampai meneteskan air mata.
Dalam tiga foto yang dikirimkan gadis itu lewat ponsel Raka, tampak Raka sedang terlelap dengan selimut putih menutupi setengah badannya yang naked, gadis di sebelahnya pun duduk seraya menutupi bagian tubuhnya sebatas d**a dengan selimut yang sama. Ada caption yang memperjelas hubungan keduanya sekarang.
Pacar lo buat gue aja ya, kita udah one night stand semalam.
Kini Naga memahami perasaan Bulan, pasti sakit saat tahu kekasih sensiri bermain di belakamgnya dengan gadis lain, tapi untuk apa Naga peduli, toh Bulan bukan teman, saudara atau keluarganya. Naga keluar dari mobil, ia memasukan ponsel itu ke saku jaket dan melangkah menghampiri koridor.
Naga kini berdiri di depan kamar Elmira yang tertutup rapat, ia pun mengetuknya hingga seseorang membuka pintu. Ia pikir Bulan yang akan membukanya, jadi Naga bisa segera kembalikan ponsel itu, nyatanya Elmira-lah yang muncul dengan menunjukan raut seperti sedih.
“Kamu kenapa kok sedih gitu?” tanya Naga seraya mengusap kepala Elmira.
Gadis itu menatap ke dalam sebelum kembali pada Naga, “Kak Bulan lagi sedih kayaknya, dia nangis gitu, jadinya Elmira ikut sedih. Aku nggak suka lihat Kak Bulan nangis, siapa sih yang jahat sama dia.”
Naga pun melongok sejenak untuk melihat keadaan Bulan lewat sisi pintu saja, gadis itu terbaring dengan posisi telungkup seraya menenggelamkan wajahnya pada bantal dan sesenggukan.
Naga merogoh ponsel Bulan dari saku jaket dan memberikannya pada Elmira, “Ini tolong kasih dia kalau udah berhenti nangisnya ya, Kakak mau pulang sekarang.”
“Iya, Kak. Hati-hati ya di jalan.”
“Oke.” Naga mengusap sekali lagi kepala Elmira sebelum melenggang pergi.
•••
Pagi itu Bulan sudah mengemasi semua barang-barangnya dan membuat Elmira cukup kebingungan. Elmira tak ingin Bulan pergi, kehadiran Bulan meski sifatnya sangat menyebalkan benar-benar membuat perasaan Elmira senang, jika Bulan pergi—lalu siapa yang akan membuatnya tertawa begitu mudah?
“Kak Bulan mau ke mana sih? Kok bajunya dimasukin semua?” tanya Elmira yang duduk di ranjangnya seraya memasang raut cemas.
“Ke mana aja, balik ke Jakarta kalau bisa.”
“Kenapa aku ditinggalin, Kak?”
Bulan mengernyit, “Lah emangnya lo siapa sedih gitu. Kita bukan saudara apalagi keluarga, jadi nggak usah cengeng.”
“Tapi, Kak. Kata Bu Aisyah kalau ada masalah harus diselesaikan pakai kepala dingin, bukan pakai emosi.”
“Tahu apa sih lo soal masalah gue! Kalau gue punya duit udah pergi ke bar dari semalam, enakan mabuk kalau banyak pikiran. Emang lo punya duit buat bikin gue senang hah!”
Elmira menunduk takut saat tatapan tajam Bulan menghunusnya.
“Jangan suka ikut campur urusan orang dewasa deh, lagian gue udah janji sama Naga kalau hape udah jadi gue bakal pergi dari sini kok. Gue mau cari rumah teman gue.”
“Tapi, Kak. Jangan tinggalin Elmira.” Gadis itu sesenggukan, dan Bulan enggan peduli. Bulan melenggang keluar begitu saja menggendong ranselnya.
“Kak Bulan!!!” Elmira berteriak seraya beranjak dan melangkah keluar kamarnya, ia mengejar Bulan yang terus melangkah tanpa memedulikan gadis kecil yang sakit-sakitan itu.
Seorang wanita berhijab yang baru keluar dari ruangannya berlari menghampiri Elmira, ia menahan gadis kecil itu agar tak melanjutkan laju kakinya.
“Elmira ada apa? Kenapa lari-lari begitu? Kenapa kamu nangis?” tanya Aisyah—kepala panti—sekaligus orangtua Kinta.
“Kak Bulan jangan pergi ...,” rengek Elmira seraya menatap Bulan yang semakin berlalu.
Aisyah pun mengikuti arah pandang Elmira dan menemukan gadis berambut pirang yang kini sudah lenyap dari pandangan mata.
“Lho itu bukannya—”
“Kak Bulan, jangan tinggalin Elmira ....” Gadis itu benar-benar tak rela jika ditinggal sendirian, baginya Bulan adalah penghibur tersendiri kala anak lain tak acuh dengan kehadirannya.
“Ada apa, Bu?” tanya Kinta yang baru datang, ia kebingungan menatap Elmira dengan wajah sembapnya. “Kamu kenapa, Sayang?”
“Kak Bulan, jangan pergi ....”
Kinta menarik Elmira dalam dekapannya, dia menatap Aisyah. “Ini sebenarnya ada apa sih, Bu?”
“Ibu nggak tahu, tadi dengar Elmira teriak terus Ibu keluar. Ibu cuma lihat perempuan yang waktu itu Naga bawa pergi tanpa pamit.”
Kinta berdecak kesal, “Itu cewek kayaknya emang nggak punya tata krama deh, udah kelihatan dari sikapnya.” Kinta masih kesal setengah mati mengingat bagaimana Bulan mencium Naga di depan matanya kemarin.
“Kak Bulan ...,” rengek Elmira sebelum akhirnya jatuh pingsan di pelukan Kinta, darah juga keluar dari hidung gadis malang itu.
“ASTAGA ELMIRA!!!” pekik Kinta dan Aisyah sama-sama panik.
•••
Sore harinya Naga baru datang, ia membawa sekantung es krim yang lantas diserbu oleh anak-anak panti, dan Naga sudah mengambilnya satu lebih dulu untuk Elmira. Setiap ada pembagian makanan atau apa pun gadis itu takkan terlihat, makanya Naga menyempatkan menyisipkan satu karena gadis itu jarang berkumpul dengan anak panti yang lain.
Naga pun melangkah di koridor menghampiri kamar Elmira, ia mengernyit tatkala melihat seorang dokter yang biasajya dipanggil saat penyakit Elmira kambuh baru saja berpamitan dengan Aisyah serta Kinta di depan kamar gadis delapan tahun itu.
Naga tersenyum saat berpapasan dengan dokter berkacamata itu, ia melenggang cepat menghampiri Kinta dan Aisya yang tampak cemas.
“Ada apa? Elmira kambuh lagi?” tanya Naga ikut cemas.
Kinta mengangguk, “Iya, cuma dia udah sadar kok. Dia nggak mau makan, Ga. Dia nggak mau minum obat juga.”
“Kenapa? Ada yang usil sama dia sampai Elmira begitu.”
“Dia—”
“Biar Ibu yang bicara,” sela Aisyah, dia menatap Naga. “Jadi begini, perempuan yang kamu bawa waktu itu tadi pagi pergi dari panti, dan Elmira kejar-kejar dia karena nggak mau ditinggal, Elmira drop karena itu, Ga.”
Naga manggut-mangut, “Boleh Naga ketemu Elmira sebentar?”
“Masuk aja.”
Naga pun masuk menghampiri Elmira yang duduk di ranjang seraya memeluk lututnya, wajah gadis itu masih basah oleh sisa air mata.
“Hey, Elmira kenapa kok nangis?” tanya Naga yang kini duduk di depan Elmira, “mau es krim nggak?”
Elmira merebut makanan itu dari tangan Naga dan melemparnya hingga jatuh ke selasar, “Nggak mau! Elmira mau Kak Bulan aja!”
Naga terkejut dibentak seperti itu, guna-guna apa yang Bulan berikan sampai Elmira begitu sayang padanya.
“Emangnya Kak Bulan ke mana?” tanya Naga begitu tenang, tak mungkin juga dia emosi menanggapi amarah Elmira.
“Nggak tahu.” Elmira kembali menangis, suaranya serak. “Kak Bulan bilang mau pergi, mau ke Jakarta aja tinggalin Elmira.”
“Kenapa Elmira harus sedih?”
“Elmira sayang sama Kak Bulan.”
Naga tak tega melihat gadis itu menangis, wajah pucatnya terlihat semakin mengerikan. Naga pun menarik Elmira dalam rengkuhannya.
“Bawa pulang Kak Bulan ....”
“Rumahnya bukan di sini, El.”
“Nggak mau, Elmira nggak mau ditinggal.”
“Elmira tahu Kak Bulan ke.mana?”
“Dia bilang mau ke diskotek kalau punya uang, Elmira nggak punya uang buat Kak Bulan.”
Naga mengernyit mendengarnya, sekarang dia paham inti permasalahan itu. Pasti semua karena Bulan yang stres memikirkan pacarnya, lagipula Bulan memang tipikal gadis nekat, bisa saja yang diucapkan Elmira benar kalau Bulan pergi ke diskotek meskipun gadis itu tak memiliki uang. Bisa saja Bulan menggaet laki-laki kaya dengan parasnya yang cantik itu demi keuntungannya sendiri, kadang pemikiran orang stres justru lebih licik.
Naga mengurai pelukan itu, “Elmira tenang dulu ya, makan dulu terus minum obat.”
“Elmira mau sama Kak Bulan ...”
“Iya nanti Kakak cari dia, sekarang Elmira makan dulu ya sama minum obat. Kalau Elmira nggak sehat nanti Kak Bulan nggak mau balik.”
“Benar ya?”
“Iya.”
“Ya udah Elmira mau makan.”
“Pintar.” Naga beranjak keluar kamar menghampiri Kinta dan Aisyah yang masih berada di sana, mereka masih memasang tampang cemas.
“Gimana, Ga?” tanya Kinta.
“Dia udah mau makan, tapi aku bohong.”
“Bohong gimana?”
“Aku bilang mau bawa Bulan balik, kalau nggak gitu dia nggak mau makan.”
“Ya udah kamu cari dia sekalian,” usul Kinta membuat Naga mengernyit.
“Buat apa?”
“Begini lho, Ga,” sela Aisyah, “kayaknya Bulan itu punya pengaruh besar buat Elmira, buktinya dia sampai sesayang itu sama dia. Coba kamu bawa dia balik biar Elmira senang, biar Elmira punya semangat buat hidup.”
“Tapi, Bu—”
“Please, Ga. Ini semua demi Elmira.” Kinta mengiba seraya menyentuh tangan Naga, laki-laki itu pasrah dan akhirnya mengangguk setuju.
•••
Jika kita tidak pernah saling memahami
Bagaimana bisa memulai kisah ini?