8. The World

1053 Words
“Orang lain mungkin mendengarkan gosip murahan itu, makanya Kak Rena nggak mau menjalin pertemanan dengan banyak orang. Bukankah Kak Rena sangat keren, hanya berteman dengan orang yang dia percaya dan memercayainya...” Mila ♫♫♫   “Kalau nggak mau duduk sama Atlan, sama aku saja. Bagaimana?” Noval menaikkan dagu, memandang rendah Mila yang hanya sebatas bahunya. “Berisik!” serunya, lantas duduk di kursinya. “Bagaimana? Botak mau duduk sama aku atau Altha?” Berdecak sebal, Noval berkata, “Bisa diam, nggak?” Dia refleks menjitak kening Mila. Aksinya mendapat pelototan tajam dari Arata yang langsung bangkit dan mendatangi mejanya. Altha yang menyaksikan itu hanya tersenyum kecil sembari memiringkan kepala seolah memikirkan hubungan ketiga manusia di hadapannya. “Beraninya kamu menjitak Mila!” kata Arata. “Sudahlah, Arata, nggak apa-apa, kok. Ini nggak sakit,” kata Mila sembari memegang tangan Arata yang terkepal. “Ingat pesan Mario, kan? Jangan berantem lagi.” Arata menarik napas, kemudian merengkuh wajah Mila untuk memerhatikan kening adiknya itu. “Untung saja berlapis perban, jadi nggak akan memar.” Dia menarik Mila agar duduk kembali di bangkunya. “Makanya nggak usah ikut campur urusan orang lain,” gerutu Arata. “Hemm... iya, iya. Arata jelek kalau marah-marah.” Mila tertawa pelan. Altha memerhatikan ekspresi kesal Noval yang memandang kedekatan Mila dan Arata. Dia semakin melebarkan senyum saat menyadari sesuatu. Ketika duduk di sebelah Noval, Altha pun mengutarakan apa yang ada di pikirannya dengan berbisik, “Apa kita berpikiran sama, bahwa hubungan mereka nggak kayak saudara kembar? Malah kayak orang pacaran, kan?” Noval seketika menoleh ke samping kirinya, kening mengernyit, tapi dia tidak membalas ucapan Altha. “Karena itukah wajahmu dan Arata jadi berantakan? Memperebutkan Mila? Siapa yang menang?” tanya Altha. “Yah, siapa pun yang menang, jelas Mila yang kalah.” “Diamlah, atau kuhajar kau.” Altha diam, bukan takut dengan ancaman Noval melainkan karena bel tanda masuk sekolah sudah berbunyi.   ♫ ♫ ♫   Mila ditarik ke kantin ujung lantai bawah gedung IPA oleh geng Anggrek ketika bel istirahat baru saja berbunyi. Arata bahkan tidak bisa menghentikannya karena sudah lebih dulu dipaksa Altha ke kantin pula. “Kamu beneran berani banget, ya, tadi pas sama Noval.” Ini suara Anggrek, yang baru saja duduk di depan Mila setelah mengambil pesanan nasi gorengnya. “Iya, Mil, kamu nggak tahu, ya, kalau Noval itu sudah jadi anggota BBC, bahkan ketuanya sendiri yang mengajaknya bergabung, loh.” Amel yang duduk di sebelah Mila pun ikutan bicara. “BBC? Apa itu ekskul yang ada di PHS juga?” tanya Mila yang mengeluarkan bekalnya berupa nasi, sayur tumis kentang campur wortel, dan lauk telur dadar gulung. “Bukan, Mil,” jawab Meisha sembari meletakkan lima bungkus roti di meja beserta semangkok bakso. “BBC itu singkatan dari Brave Boys Club, geng sekolah yang paling ditakuti di kota ini.” “Eh? Di PHS pun ada geng geng gitu, ya? Kayak geng motor?” tanya Mila. “Pfft... Hahahaha... Bukan, elah. Itu kayak ... eum... bagaimana aku bilangnya, ya.” Anggrek tampak berpikir. “Preman sekolah,” jawab Amel setelah memakan sesuap bubur kacang hijau. “Walaupun Noval menyeramkan, harus, kuakui kalau dia itu ganteng, ya, kan, girls?” Anggrek buka suara lagi, disambut dua temannya yang lain dengan cekikikan, sementara Mila diam saja. “Biar pun ganteng, tapi kalau nyeremin, nggak, deh. Aku lebih mending dibekukan oleh tatapan Arata daripada mati berdiri karena dipelototin Noval.” Ini pengakuan si gendut Meisha. “Eh, benar, benar, Arata yang paling cool, nggak ada duanya. Kamu pasti senang banget jadi adik kembarnya, kan, Mil?” tanya Anggrek. “Padahal kamu sudah dicuekin sama Arata, Nggrek, tapi masih saja memuji. Hahahah...” Meisha tertawa, remahan roti di mulutnya menyembur ke depan Amel. “Jangan-jangan kamu lagi pendekatan sama Mila biar bisa nge-gebet Arata, ya?” “Iss, jorok banget, deh, Mei, kebiasaan,” keluh Amel sembari merapikan bagian depan seragamnya dari remahan roti. Meisha hanya melebarkan senyum ketika menatap Amel, sambil menampilkan deretan gigi kawatnya. “Tapi, tapi, aku lebih suka Altha.” Meisha malah mengalihkan pembicaraan dari gerutuan Amel. “Itu aku setuju. Dia ramah banget, tipikal prince charming. Tahu, nggak, tadi dia puji rambut aku, loh.” Anggrek tidak mau kalah, dia bilang, “Altha tadi juga memuji mata aku. Katanya berbinar kayak bintang, terus dia ngajak aku foto bareng.” “Ingat, Nggrek, kamu sudah punya pacar.” Amel berkata pelan. “Iya, sih. Ah, aku jadi kangen sama Andre. Kalian tahu, nggak, kemarin kami ciuman lagi di parkiran.” Mata Mila membulat. “Ciuman?” Anggrek mengangguk bangga. “Kamu pasti belum pernah ciuman, kan, Mil?” “Nggak usah didengarkan, Mil. Ciuman juga nggak bagus, nanti saja kalau sudah menikah.” Ini kata-kata bijak Amel. Anggrek berdecak sebal. “Kamu nggak ngerti karena nggak mengalami. Saat jatuh cinta, ada seperti sebuah hasrat yang membuatmu selalu ingin bersentuhan fisik dengan orang yang kamu cintai, dan ciuman adalah cara menunjukkan rasa cinta. Aku ketagihan ciuman sama Andre karena udah tahu nikmatnya ciuman.” “Menunjukkan rasa cinta nggak harus pakai ciuman kali, Nggrek. Itu nafsumu saja yang gede banget,” komentar Amel. “Susah bicara sama anak kecil.” Meisha tertawa. “Gini, Mel, saat kamu jatuh cinta dan melihat orang yang kamu suka, otakmu bahkan kadang nggak mikir apa-pun dan tiba-tiba saja kamu sangat ingin menyentuhnya, bahkan menciumnya.” “Huwooo, ada orang yang pengen kamu cium, ya, Mei? Dewasa banget pemikirannya,” komentar Anggrek. Tepat saat mereka sedang seru-serunya membahas ciuman, sebuah suara dari pojok lain kantin menyita perhatian hampir seluruh pengunjung di sana, termasuk geng Anggrek. Tampak seorang lelaki kulit cokelat menendang kursi dengan keras, sementara seorang gadis rambut pendek seleher tengah duduk menikmati makanannya, tak terusik sama sekali dengan suara gaduh barusan. “Itu Kak Rena,” kata Amel. “Aku pernah dengar gosip kalau Kak Rena suka makan di kantin ini dari pada kantin lantai atas, alasannya nggak mau desak-desakan. Yah, kantin lantai bawah gedung IPA memang yang paling luas jika dibanding kantin lain.” “Aku juga kemarin dengar dari anak-anak di kelas, kalau Kak Rena itu top model yang lagi naik daun. Katanya, dia itu selalu nolak semua anak cowok yang nembak, tapi malah jalannya sama om-om. Parah banget, kan,” keluh Anggrek sembari mengibas rambut panjangnya. “Bukannya kamu cuma iri sama dia?” tanya Mila, membuat Anggrek tidak jadi memasukkan nasi goreng ke mulut. “Hah? Aku iri? Yang benar saja! Aku mending jadi jelek daripada harus jalan sama om-om.” “Bukan iri, lah, Mil. Anggrek pasti sebel dengan sikap murahan Kak Rena itu.” Meisha membela Anggrek. “Gosip bisa saja salah, kan?” Tanya Mila. “Enggak tahu, deh, ya, benar atau enggak, tapi yang beredar di masyarakat memang begitu. Dia bisa jadi model karena mengandalkan tubuhnya. Jangan-jangan dia juga pernah tidur sama fotografernya. Ih, serem banget.” Amel ikut membela. “Iya, Mil, aku juga dengar gosipnya begitu, makanya dia nggak punya teman di sekolah ini. Eh, ada, deng, Kak Nada. Cuma Kak Nada yang mau dekat sama cewek matre kayak dia. Itu pun aku yakin karena Kak Nada kasihan sama dia.” Meisha kembali bersuara. “Bahkan, Mei, aku dengar Kak Nada sering dibentak-bentak sama Kak Rena, loh.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD