“Tumben diam saja?”
“Eum, lagi nggak nafsu ngomong.”
Hening.
Beberapa menit kemudian, Arata bertanya, “Kamu suka musik?”
“Arata akan marah kalau aku jawab ‘iya’, kan?”
Arata menghela napas, menutup buku pelajarannya. “Aku akan rahasiakan dari ayah.” Tiba-tiba saja Mila memeluk leher Arata dari belakang.
“Beneran?” tanyanya dengan nada ceria yang amat jelas terdengar. “Aku boleh main musik? Boleh masuk klub musik PHS?”
“Enggak.” Arata melepas lilitan tangan Mila di lehernya. “Jangan masuk klub musik PHS, itu ada jadwal berbeda dengan klub Sains. Nanti akan ketahuan ayah.”
“Terus bagaimana aku bermain musik?”
Arata kepikiran dengan si gondrong, yang tampaknya mahir bermain musik, dan Mila juga kelihatan senang saat tadi bersama lelaki itu di ruangan musik, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya khawatir kalau Mila dekat-dekat dengan orang itu. Arata juga akui bahwa si gondrong memang terkesan baik meski sikapnya membuat kesal. Hanya, apakah si gondrong mau mengajari Mila setelah apa yang dia lihat hari ini? Bisakah dia memercayai orang asing itu untuk menemani adiknya? Tentu jawabannya tidak.
“Arata kenapa malah diam?”
“Nggak apa-apa. Aku akan pikirkan cara agar kamu bisa main musik tanpa perlu ikut klub musik PHS.”
Mila mengangguk antusias. “Eum... Aku akan menunggunya. Tapi kenapa Arata tiba-tiba setuju aku main musik? Bukannya kemarin Arata marah?”
“Nggak ada alasan khusus,” jawab Arata, dia kembali membuka buku pelajaran, sementara Mila duduk di tepi kasur sembari mengayun-ayunkan kaki dan bersenandung lirih.
Arata tersenyum kecil ketika memerhatikan adik tirinya itu, dalam hati berkata, “Karena aku ingin melihatmu bahagia.”
♫ ♫ ♫
Kelas sedang heboh saat pagi itu Mila dan Arata datang ke sekolah. Para siswi sedang mengerubungi meja di paling belakang. Di depan kerumunan itu adalah meja Arata dan Mila, mereka sampai tidak bisa menaruh tas karena ramainya siswi, yang bahkan bukan dari kelas mereka saja. Sebenarnya ada apa?
Arata melirik seseorang yang dikerumuni anak-anak itu, jelas bukan Noval meski pemilik salah satu kursi adalah si botak. Suara lelaki ini tidak asing, tapi cekikikan para perempuan tidak bisa membuat Arata mendengar jelas perbincangan mereka. Apa sih, yang mereka tertawakan? Arata hanya samar-samar mendengar, “Altha sangat lucu.”
“Terus kalian tahu,” kata Altha, membuat semua suara sejenak hilang, hanya hening, “Ibu kelinci bilang, Nak, kamu berasal dari topi pesulap.”
Seketika tawa kembali terdengar. Arata dan Mila saling pandang, sama-sama tidak mengerti di mana letak lucunya.
“Ada apa, ya, ini? Aku mau duduk di kursiku,” kata Mila, membuat kerumunan itu menyingkir, dan terlihatlah Altha yang telah potong rambut menjadi pangkas pendek setengkuk dengan sedikit jambul di atasnya. Itu model undercut yang sangat cocok dengan wajah lonjong Arata, dan matanya yang besar itu semakin terlihat menawan dan menantang ketika tidak tertutupi rambut panjang.
“Hai, Mil?” sapa Altha, dia malah berdiri sambil mengulurkan tangan. “Selama setahun ke depan kita akan jadi teman sekelas, salam kenal, ya?”
Arata hanya berwajah datar ketika memerhatikan aksi si gondrong, ah sepertinya dia harus mengubah nama panggilan itu karena Altha tidak lagi gondrong. Baiklah panggil dia mantan gondrong.
Mata Mila berkedip-kedip dalam beberapa detik, lalu dia menyambut uluran tangan Altha dengan kedua tangan. Gadis itu tertawa renyah, menunjukkan sedikit lesung di pipi kirinya. “Hahaha... Kemarin Atlan bilang untuk pura-pura nggak kenal kalau di sekolah,” katanya dengan nada ceria. Siswi-siswi di sana mulai berbisik-bisik, perlahan menjauh dari meja Altha.
“Al, nanti istirahat main ke kelas sebelah, ya. Kita ke kantin bareng,” kata salah satu perempuan yang tidak Arata kenal. “Ceritakan lagi tentang si anak kelinci.”
“Siap, Yang Mulia.” Altha membungkuk, sok seperti pangeran di depan putri raja. Aksinya mendapat cekikikan dari cewek-cewek yang mulai membubarkan diri. Sambil lalu, Arata mendengar cewek-cewek itu memuji ketampanan Altha dan sikap ramahnya.
“Tadi juga dia selfie sama semua orang, loh,” kata salah satu siswi yang terdengar oleh Arata.
“Dia lucu, ya, kayaknya hobi selfie. Hahaha...” kata siswi lain.
Arata mengusap hidungnya, segera duduk di kursinya, masih diam saja dengan perbincangan Mila dan Altha.
“Itu, kan, kemarin, Mil,” ujar Altha sembari melepas jabat tangan mereka. Untuk sesaat ekspresinya seperti tekejut, terlebih saat dia menyadari kalau tangan kanan Mila sepertinya buatan.
“Aku pikir Atlan nggak mau bicara sama aku lagi setelah kejadian kemarin di ruang musik.” Mila meletakkan tas di meja, lantas duduk menyerong menghadap Altha.
“Kenapa begitu?”
Mencondongkan badan ke depan, Mila berbisik, “Memangnya Atlan nggak jijik lihat aku kencing di celana?”
Altha menggeleng. “Enggak sama sekali.” Dengan berbisik, dia berkata, “Tahu, nggak, anak cowok juga suka mengompol, loh.”
Mila langsung menatap Arata. “Beneran, ya, Arata? Anak cowok juga bisa ngompol? Arata berarti pernah ngompol?”
Arata menoleh ke Altha yang sudah cekikikan di belakang sana. “Jangan ajarkan yang aneh-aneh kepada adikku.”
“Hah? Aneh dari mana? Itu, kan, termasuk pendidikan. Di peljaran Biologi juga ada, kok. Nama kerennya, mimpi basah.” Altha kembali tertawa.
Arata berdecak sebal, kemudian menggeser duduk Mila agar menghadap ke depan. “Nggak usah bicara sama orang ini, La. Nanti ketularan bodoh.”
“Hei, hei, Mata Empat, jangan begitu. Kalau aku bodoh, nggak mungkin masuk kelas unggulan ini, kan?”
Arata menatap cepat ke Altha. “Namaku Arata, bukan Mata Empat.”
Altha bangkit, kemudian merangkul bahu Arata dengan gaya seolah mereka teman dekat. “Salam kenal, ya, Arata. Aku Altha.”
“Nggak usah sok akrab,” keluh Arata seraya menepis tangan Altha dari bahunya.
Beberapa saat kemudian, Noval datang, dia memakai topi terbalik dan menyampirkan tas di satu bahu. Aura ceria dan riuh pasca kehadiran Altha, seketika hilang dari ruang kelas, lenyap bersama suara langkah Noval. Suasana berubah tenang, meski terdengar samar bisik-bisik tentang Noval yang terkenal bad boy dan preman sekolah.
“Jangan menghalangi jalan,” kata Noval sembari menggeser Altha yang berdiri di dekat meja Arata.
“Salam kenal, kawan semeja, aku Althafa.”
Noval berdiri mematung di dekat mejanya, memerhatikan tas Altha di sudut sana, lantas menatap tajam lelaki yang barusan bicara dengan mata menyipit. “Siapa yang menyuruhmu duduk denganku?”
Altha menghela napas, menarik kembali tangannya yang diabaikan Noval. “Nggak ada kursi lain. Jumlah siswa kelas unggulan genap dua puluh. Cuma ada sepuluh meja dengan dua puluh kursi, kalau aku nggak duduk di sana, aku harus duduk di mana?”
“Itu bukan urusanku. Singkirkan tasmu!”
Altha menyeringai, maju selangkah. “Kalau aku nggak mau, bagaimana?”
Noval langsung meraih kerah seragam Altha, tatapannya amat kesal. “Kau nggak tahu siapa aku?”
Siswa-siswi di dalam kelas menahan napas, ada yang berdoa semoga Beni sang ketua kelas bisa cepat datang untuk mencegah pertengkaran yang akan terjadi, sementara siswa yang kebanyakan perempuan itu tidak ada yang berani menghadapi kebringasan Noval. Mereka hanya saling pandang, berharap ada satu orang saja yang menghentikan Noval.
Altha tanpa terlihat takut sedikit pun, malah semakin melebarkan seringai. “Aku nggak kenal, makanya tadi ngajak kenalan, tapi kamu nggak mau.”
Noval kesal, tinjunya mengudara, sebelum mengenai wajah mulus Altha yang tanpa jerawat sedikit pun itu, tangannya dihentikan oleh Mila. Gadis yang bahkan masih mengenakan perban di kepala itu memegang kepalan tangan Noval, dia tersenyum.
“Suka banget, sih, berantem? Mukanya makin jelek, loh, nanti,” kata Mila.
“Berisik,” kata Noval.
“Kalau nggak mau duduk sama Atlan, sama aku saja. Bagaimana?”
♫ ♫ ♫