Chapter 7

1125 Words
Pada akhirnya Arini dan Ayah angkatnya menolong si pria untuk masuk ke dalam mobil karena dari kejauhan, tampak beberapa orang yang sepertinya sedang mencari sesuatu, atau mungkin mencari pria ini ? batin Arini menerka. "Kamu ... buronan polisi ya ?" tanya Arini takut-takut pada si pria. Si pria menggeleng. "Tolong antar aku ke alamat ini,"pinta si pria sambil memejamkan mata menahan sakit. Mereka seperti terhipnotis dan mengikuti kemauan si pria. Apalagi penyebabnya, kalau bukan karena pistol yang dibawa oleh pria tidak dikenal tersebut. Akhirnya Ayah angkat Arini menyetir hingga tiba di alamat yang dimaksud. Si pria segera membuka mata begitu mobil berhenti, menatap dalam pada Arini, lalu tersenyum. "Terimakasih, aku akan selalu mengingatnya," ucap si pria masih tersenyum, walau sambil menahan sakit di lengannya. Senyum yang manis, batin Arini. Setelah si pria turun dari mobil, Arini segera meminta pada Ayah angkatnya untuk segera ke kantor, karena dia masih harus mengantar makan siang untuk Devan. Walau sudah sangat terlambat, tapi setidaknya ia mengantarkan. Sehingga, saat Mami Mila bertanya, Arini tidak akan sungkan. Setelah beberapa saat berkendara, akhirnya mereka tiba di kantor Cakra Buana, milik Danendra Group. Arini bergegas masuk, naik lift dengan lancar seperti pernah melakukannya. Hanya beberapa orang saja yang mengenal Arini, itu Devan lakukan untuk menjaga kenyamanan sang Istri selama ini. Arini bertanya dimana ruangan Devan pada staff yang ada disitu. Setelah ditunjukan, ia segera melangkah menuju ruangan tersebut. Tokkk ....toook ! Arini mengetuk pintu. Cklek ! Walau belum dipersilahkan masuk, tapi ia segera masuk. Arini seperti merasa tidak asing dengan apa yang dilakukannya. "Eh ... maaf, mengganggu," ucap Arini saat melihat seorang wanita yang berdiri di samping meja Devan sambil menunjukkan berkas yang berada di depan Devan. "Sayang ...," ucap devan lalu cepat berdiri dari posisinya yang sedang duduk menuju ke arah Arini. Greb ! Ia memeluk Arini dengan posesif. "Diam dan pura-pura kita pasangan mesra, karena kau Istriku. Panggil aku Mas Devan, bukan Pak Devan. Jangan heran atau merasa bingung pada wanita itu. Dia bernama Jihan. Jika kau memberontak dan menolak pelukanku, maka dia akan tahu kalau pernikahan ini pura-pura. Maka dia tidak akan segan-segan mencelakakanmu, karena wanita itu masih mengharapkan aku. Dia itu lebih kejam dari psikopat, paham ?" bisik Devan sembari memeluk Arini dengan erat. Devan tidak mau Jihan tahu jika Arini sedang lupa ingatan, sehingga memanfaatkan situasi itu untuk kepentingannya. Sehingga, mau tidak mau, Devan harus membuat Arini mengikuti ucapannya, walau dengan sedikit tekanan. Arini mengangguk kaku, karena Devan memeluknya teramat kuat. Devan lalu melepaskan pelukannya, dan tersenyum manis pada Arini, yang menahan kesal di hati. "Sayang ... kamu masih ingat Jihan 'kan ?" tanya Devan sambil tetap memeluk pinggang Arini, yang terlihat sangat kaku. Jihan menangkap gesture tubuh Arini yang kaku dengan kening berkerut. Biasanya Arini langsung manyun saat melihatnya, mengapa ini berbeda ? batin Jihan merasa ada yang tidak beres. Sebenarnya Lala yang menjumpai Devan, tapi dengan berbagai macam alasan, dirinyalah yang kini berada di ruangan Devan. "Oh ... Nyonya Devan, lama tidak berjumpa." Jihan berbasa-basi sambil menyalami tangan Arini yang membalasnya dengan kaku. "Eh ... mengapa baju anda terdapat noda ?" tanya Jihan menunjukkan baju Arini yang terdapat noda merah. Devan juga ikut melihat, karena sedari tadi ia tidak memperhatikan dan langsung memeluk Arini. "Hmmm .... sayang, bajunya kenapa ? kamu habis darimana ?" tanya Devan dengan raut khawatir. "Oh .... itu, itu ... tadi habis nolongin kucing yang ketabrak," bohong Arini tidak ingin menceritakan kejadian sebenarnya. Tapi Devan merasa ucapan Arini berbau kebohongan. Devan sangat hafal bagaimana Istrinya tersebut. "Oya, aku kesini antar makan siang buat Pak, eh Mas Devan. Disuruh sama tan ... eh Mami Mila," ucap Arini segera ingat maksud kedatangannya. Jihan menangkap lagi kesalahan Arini yang tidak biasa. Keningnya berkerut, menerka ada apa sebenarnya. "Terimakasih, sayang ...," Jawab Devan begitu manis pada Arini. Yang mengangguk dengan kaku. "Jihan, kita akan bicarakan ini nanti. Sebaiknya suruh Lala saja yang menemuiku, karena dia lebih paham pada proyek ini. Kalau kamu yang datang, aku harus membicarakan lagi dari awal," ucap Devan mengusir Jihan dengan halus. "Baiklah, aku harap kita bisa berjumpa lagi." Jihan tidak ingin memperpanjang kata mengenai Lala. Karena dia yang akan kembali menemui Devan. Sepertinya ia juga harus menyelidiki sesuatu. Jihan berpamitan pada Arini dengan menyalami tangan wanita yang telah merebut perhatian Devan dari dirinya. Padahal, jauh sebelum menikah dengan Arini, Devan sangat dekat dengannya. Walau, mendekati dirinya hanya untuk mencari informasi. Arini mengangguk kaku, dan tersenyum pada Jihan. Yang segera keluar kantor sambil melirik Devan dengan senyum manis. Setelah pintu tertutup, Arini segera menghindari pelukan Devan. "Cuih ...cuih ...nazong banget dipeluk-peluk sama Pak Devan," ucap Arini menirukan ucapan yang pernah didengar dari film yang pernah ditontonnya , tapi entah kapan ? Devan tersenyum pada Arini, lalu segera duduk di kursi. "Sini," panggil Devan sambil menepuk sisi sofa di sampingnya, agar Arini duduk disitu. Arini masih diam enggan duduk. Devan benar-benar gemas pada Istrinya. Kangen dan juga gemas menjadi satu. Mungkin ia harus kembali pada mode mengintimidasi sehingga Arini menurut. "Duduk disini, atau aku gendong," ancam Devan yang membuat Arini cepat berjalan ke arah Devan tapi duduk di sisi lain kursi. Devan menarik nafas lelah, tapi harus tetap bertahan kuat dan sabar. Saat ini Arini tidak ingat dirinya. "Temani aku makan," ucap Devan lalu mulai membuka kotak makan siang yang dibawakan oleh Arini. Walau sebenarnya, dia sudah makan siang bersama rekannya. Arini hanya diam saja melihat Devan makan. "Ini makanlah juga," ucap Devan hendak menyuapi Arini. Tapi Arini menggeleng dengan kuat. "Makan atau aku cium !" ancam Devan lagi yang membuat Arini dengan cepat membuka mulut. "Bapak ini kenapa suka sekali mengancam, lama-lama aku bakalan kabur !" Kesal Arini dengan mulut penuh nasi. "Kaburlah kalau bisa, karena aku pasti akan menemukanmu dimanapun berada," ucap Devan sambil menatap tajam ke arah Arini. Sedangkan yang ditatap tampak manyun sambil mengunyah nasi di mulutnya. "Sayang ... sekarang ceritakan padaku, kenapa bisa ada noda darah di bajumu. Itu bukan darah kucing kan ?" Devan bertanya sambil menyupakan nasi ke mulutnya sendiri. "Aku bicara jujur," jawab Arini ngotot karena Devan tidak percaya. "Sayang ... aku sangat hafal ketika kamu berbohong. Mungkin orang lain bisa kamu tipu, tapi tidak padaku. Aku sangat mengenalmu dengan baik." Jawaban Devan sontak membuat Arini berpikir keras, hingga kepalanya terasa sakit. Arini memegang kepalanya, mencoba mengingat panggilan sayang dari Devan yang menggelitik hatinya. Itu seperti panggilan yang biasa Devan ucapkan. Padahal mereka baru menikah, dan tidak saling mengenal. Devan menaruh sendok lalu mendekati Arini. Memegang tangan istrinya tersebut dan mengusapnya lembut, untuk menenangkan. "Jangan dipikirkan, kepalamu akan sakit. Jawablah nanti jika kamu mau manjawab. Karena aku tahu, kamu sedang berbohong," ucap Devan sambil tersenyum dan membelai sayang rambut Arini. Sedangkan Arini yang diperlakukan begitu diam mematung dengan d**a berdebar hebat. Apakah Arini harus jujur, menceritakan jika noda darah itu, karena ia menolong seseorang ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD