Chapter 6

1079 Words
Kumandang adzan subuh membangunkan Arini. Ia mengusap netranya, mengumpulkan nyawa untuk melihat dimana dirinya berada saat ini. "Aaaaaaa !" Jerit Arini melihat siapa yang saat ini tidur di sampingnya. "Aduh," erang Devan yang mendapat tendangan halilintar dari Arini. Kedua putra kembarnya juga bangun karena kaget akan teriakan tarzan Ibu mereka yang sedang lupa ingatan. "Eh ... bapak ngapain tidur disini ? pasti bapak sudah grepe-grepin aku kan !" omel Arini sambil menatap tajam ke arah Devan. "Aduh ... walau tidak ingat, tapi tetap bar-bar," gumam Devan yang masih bisa didengarkan oleh Arini. "Siapa yang bar-bar ! Pak Devan itu yang m***m, tidur enggak tahu tempat." Arini masih ngotot. Pertengkaran kecil yang disaksikan dua bocah tampan dengan raut tidak paham. "Papi ... ibu, ayok shalat subuh." Akhirnya Ryu buka suara setelah beberapa saat melihat jika Ibunya masih sangat emosi. Devan tersenyum melihat kemarahan Arini. Biarlah marah, asal tidak diam. Mereka akhirnya keluar kamar untuk segera melaksanakan ibadah subuh bersama. Pagi yang dingin, si kembar sudah selesai mandi dan bersiap di meja makan untuk sarapan pagi. Mereka sedikit sedih, karena Ibunya tidak menemani dan mengomel seperti biasa. Saat begini, baru kehilangan itu sangat terasa sekali. Tapi pada akhirnya Arini membantu Ryu dan Ray bersiap-siap, karena Ray terus manyun dan hendak mogok sekolah. "Say ... eh Rini, bisa minta tolong pasangin dasi ?" tanya Devan sambil masuk ke dalam kamar si kembar yang sudah siap. "Enggak ah, bapak minta tolong saja sama Bi Sumi," ucap Arini lalu hendak keluar. "Ya sudah, nanti minta tolong sama sekretaris di kantor saja," balas Devan yang tidak dipedulikan Arini. Devan menghela nafas panjang. "Sabar Devan ....sabar," gumam Devan menyemangati dirinya sendiri. Rumah kembali sepi. "Bik ... aku pingin kerja," ucap Arini sambil membantu Bi Sumi menggoreng ikan, setelah anak-anak dan juga Papi mereka berangkat. "Mau kerja apa ?" Tanya Bi Sumi geleng-geleng kepala pada anak angkatnya tersebut. "Ya kerja apa saja, jangan terus bergantung sama Bibi dan juga Ayah," ucap Arini yang memang selalu memanggil suami Bi Sumi dengan panggilan Ayah. "Ealah .... Non, eh Rini .... Kalau kerja, nanti dimarahin sama Mas Devan." Bibi sebenarnya bingung sendiri bagaimana menjelaskan pada Arini yang sedang tidak ingat siapa Devan. Tapi kalau dijelaskan Arini bakal mencak-mencak. "Marah kenapa ? saya enggak minta uangnya dia kok." Arini masih ngotot. "Ada apa ini ?" Suara Mami Mila memecah obrolan Arini dan Bi Sumi. "Ini Nyah, Arini mau kerja," ucap Bi Sumi pelan. "Ooo ... mau kerja ? kerja apa dengan ijazah SMA ?" tanya Mami lalu duduk di samping Arini. "Kerja apa saja tante," jawab Arini. "Kok Tante, panggil Mami dong, kan kamu menantu Mami. Sudah nikah sama Mas Devan kan ?" pertanyaan Mami dijawab dengan anggukan oleh Arini. "Nikah bohongan, tan _ eh Mami," jawab Arini yang dibalas gelakan Mami. "Kamu anak berbakti, bisa menuruti keinginan terakhir Ayahmu." Ucapan Mami membuat kedua netra Arini berkaca-kaca. Ingatannya kembali pada Ayahnya. Dalam ingatan Arini saat ini, Ayahnya baru beberapa hari meninggal. Mami tidak ingin membebani Arini dengan ingatannya tentang Devan dan anak-anak. Tapi Mami juga tetap berusaha secara perlahan membuat Arini ingat dengan kenangannya. Seperti yang dilakukan saat ini. "Eh ... tadi bahas kerja apa ?" tanya Mami Mila mengalihkan rasa sedih yang tengah dirasakan oleh Arini. "Itu lo ... saya mau kerja, biar punya pengalaman. Di rumah terus, rasanya bosan," ucap Arini tidak mengatakan yang sebenarnya. Jika maksudnya kerja adalah karena ia tidak ingin membebani Bi Sumi maupun pria yang saaat ini telah menjadi Suaminya. Suami yang ia sendiri lupa kapan tepatnya mereka menikah. Mami tersenyum. "Kalau kerja di kantor Mas Devan, mau ?" tanya Mami yang membuat Bi Sumi membulatkan matanya. Bagaimana tidak, Devan sangat melarang Istrinya itu bekerja, eh ... sekarang Mami malah menawarkan. "Hmmm ... tapi enggak ketemu Pak Devan, 'kan ?" tanya Arini menatap ke arah Mami. "Enggak, nanti kamu Mami carikan pekerjaan yang hanya bisa lihat Mas Devan dari jauh, bagaimana ?" tanya Mami yang belum dibalas anggukan oleh Arini. Mami masih menunggu. "Pikirkan dulu, nanti kita bicarakan lagi. Hmmmm ... tapi Mami mau minta tolong sama kamu buat antarkan makan siang ke kantor mas Devan ya ?" Mami menatap Arini dengan senyum terkulum, begitu juga Bi Sumi. Arini tampak berpikir, ingin menolak, tapi ini permintaan Mami. Arini merasa segan pada wanita yang saat ini menjadi mertuanya tersebut. Wanita yang menerimanya dengan baik, walau ia dan Devan menikah tanpa pemberitahuan. Sebenarnya Arini ingin merahasiakan, tapi entah bagaimana Mami dan juga Papi Devan, tiba-tiba ada di rumah sakit dan mengetahui pernikahan mereka. "Ayolah, tolong Mami." Terlihat Mami membujuk Arini, dengan maksud agar Arini bisa dekat dan mau sering ngobrol bersama Devan. Akhirnya Arini mengangguk, mengiyakan. Siang hari, bekal makan siang untuk Devan sudah di tata oleh Mami sendiri dibantu oleh Bi Sumi. Arini juga sudah rapi, dengan pakaian santai khas anak muda yang tertata rapi di dalam lemari. Semua pakaian itu, Mami yang memilihkan dari pakaian Arini yang sudah lama tidak dipakainya lagi setelah melahirkan si kembar. Anak-anak belum pulang, karena masih ada ekstra diluar jam pelajaran, yang masuk dalam penilaian. Dengan diantar oleh suami Bi Sumi, Arini berangkat ke kantor Devan. "Ayah, enggak capek jadi supir ? semoga Rini punya uang banyak ya, biar Ayah enggak kerja jadi supir lagi," ucap Arini pada Suami Bi Sumi yang tersenyum mengiyakan. Padahal selama ini ia sudah pensiun menjadi supir dan beralih menjadi tukang kebun, karena beliau memang suka merawat tanaman. Tapi selama Arini masih lupa pada mereka. Ia akan menjadi supir sementara waktu, untuk memastikan Arini baik-baik saja. "Aamiin ... kamu adalah Nyonya besar," ucap Ayah angkatnya, yang dibalas kekehan Arini. "Hahaha ....Aamiin...kalau Aku jadi Nyonya besar, Ayah sama Bi Sumi enggak boleh kerja lagi." Ayah angkat Arini tersenyum penuh arti. Selama ini Rini memang sudah begitu. Tapi mereka saja yang memaksa ingin terus bekarja selama masih kuat. Ciiit ! Suami Bi Sumi mengeram mobil mendadak. "Ada apa Ayah ?" tanya Arini panik. "Itu ada orang yang melintas, sepertinya dia butuh pertolongan," ucap suami Bi Sumi lalu segera keluar dari mobil diikuti oleh Arini. "Tampak seorang Pria terduduk di samping mobil sambil menahan perih di tangannya yang mengeluarkan darah. Arini menutup mulut menahan jeritan. "K ...kenapa ?" tanya Arini cepat. "Tolong aku ... cepat !" ucapnya sambil menatap ke arah Arini dan Suami Bi Sumi, sambil menahan perih. Arini dan Ayah angkatnya kaget dan takut. Karena, selain terluka, si pria rupanya membawa senjata. "Cepat, tidak ada waktu lagi !" Arini takut dan bimbang. Siapa pria ini ? mengapa terluka dan membawa senjata. ******** Kiss jauh dari Author
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD