1. Babak Awal Kehidupan Baru

1425 Words
TIGA BULAN YANG LALU Langkah Aruna tampak sempoyongan melewati deretan warung kaki lima yang ada di luar terminal. Dia berhenti sejenak di depan sebuah warung makan bernama Warung Nasi Ranti. Namun sesaat setelah langkahnya telah berada di ambang pintu bukannya masuk ke warung tersebut Aruna malah berlari ke jalan raya. Dengan cekatan dia menarik tubuh mungil seorang anak laki-laki yang sedang kebingungan di pinggir jalan raya dan hampir saja tertabrak sebuah truk tronton yang kebetulan sedang melintas di depan gerbang utama terminal kota. Sontak semua orang yang sedang sarapan di dalam berteriak kaget dan bergegas mencari tahu apa yang sedang dilakukan oleh Aruna. Tak perlu menunggu waktu lama untuk membuat orang-orang di sekitar membentuk kerumunan, termasuk pemilik warung yang bernama Ranti. Lumayan dapat tontonan gratis pagi-pagi, pikir mereka yang datang berbondong-bondong hanya untuk sekadar mencari tahu tanpa berniat sedikitpun membantu. Ranti lalu meminta beberapa laki-laki yang merupakan pengunjung warungnya untuk menggendong anak laki-laki yang sedang berada dalam pelukan Aruna dan juga Aruna ke warungnya. Setelah itu kerumunan pun bubar. Beberapa menit kemudian Aruna sadar dan mendapati dirinya sedang berada di tempat yang tidak pernah dia datangi sebelumnya. Aruna melihat ke sekeliling. Dia sedang berada di sebuah ruangan yang merupakan kamar pemilik warung untuk beristirahat ketika warung sedang sepi pengunjung. "Syukurlah kalau lo sudah bangun," ujar perempuan muda yang merupakan pemilik warung. "Gue Ranti, pemilik warung tempat lo pingsan tadi. Nama lo siapa? Dari mana dan mau ke mana?" "Nama saya Aruna," jawab Aruna lemah. "Anak laki-laki tadi mana?" tanya Aruna dengan suara gemetar. Dia memang tidak sempat melihat wajah anak laki-laki yang telah diselamatkannya beberapa saat lalu. "Oh, itu. Tadi udah ada yang jemput. Trus orang yang jemput anak itu nitipin lo ini sebagai ucapan terima kasih," jelas Ranti lalu menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan. "Anak itu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir. Tiba-tiba saja Aruna teringat pada keponakannya yang telah tiada. Umurnya sebaya dengan anak laki-laki yang diselamatkannya. "Aman. Dia cuma shock. Tapi setelah tenang bisa jawab pertanyaan warga dan nggak lama ada yang datang jemput. Justro lo yang terluka dan sampai pingsan. Sekarang gimana keadaan lo?" "Saya sudah enakan." "Terus tujuan lo mau ke mana?" Aruna menggeleng lemah. "Saya mau beli nasi," ujarnya dengan tatapan sayu sambil menyerahkan selembar uang seratus ribuan yang baru saja diserahkan oleh Ranti. "Lo lapar?" respon Ranti tanpa berniat mengorek informasi lebih jauh soal Aruna. Mungkin nanti perempuan itu pasti akan cerita dengan sendirinya kalau sudah tenang. Begitu pikir Ranti. Kali ini Aruna mengangguk. "Haus juga," katanya lagi. "Tunggu sini bentar, ya. Gue ke depan dulu ambilkan makan dan minum buat lo. Uangnya lo simpen aja." Aruna mengangguk lalu menyimpan kembali uang yang tadi diberikan pada Ranti. "Terima kasih," katanya lagi. "Sama-sama," jawab Ranti. Sebenarnya Ranti tidak ingin menjadi sok malaikat membantu orang yang sama sekali tak dikenalnya itu. Namun melihat wajah polos dan memprihatinkan Aruna membuat pintu empatinya diketuk kencang. Ada hasrat besar tumbuh dalam dirinya yang tak dia mengerti maknanya apa. Yang ia tahu hanyalah bagaimanapun caranya dia ingin membantu gadis lemas yang kini ia tahu bernama Aruna itu. Apalagi tadi dia melihat dengan mata kepala sendiri aksi heroik dan ketulusan Aruna yang mau menyelamatkan anak laki-laki yang nyaris ditabrak truk tronton. Padahal Aruna sama sekali tidak mengenal anak laki-laki itu, tapi dia rela mengorbankan nyawanya. Ranti kembali ke kamar sementaranya sambil membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya serta segelas teh hangat untuk Aruna. Dia menyodorkan piring dan gelas tersebut pada Aruna yang kini sudah duduk di pinggiran ranjang. "Terima kasih, Mbak Ranti. Tuhan pasti akan membalas berlipat ganda semua kebaikan Mbak Ranti pada saya." "Amin. Cepat makan. Abis ini gue antar lo ke puskesmas buat ngobatin luka di pelipis, sikut dan lutut lo." ~ Sudah satu bulan Aruna tinggal di kota metropolitan ini. Namun dia belum mendapatkan pekerjaan. Sehari-hari yang dilakukannya hanyalah membantu Ranti di warung. Dia butuh pekerjaan yang lebih menjanjikan pendapatannya. Dengan begitu dia berharap bisa mengubah garis hidupnya. Dia mau melakukan pekerjaan apa pun asalkan mendapatkan penghasilan besar. Meski harus menjadi pembantu rumah tangga juga tidak masalah. Mengingat dirinya yang tidak menamatkan SMA, membuat Aruna tidak muluk-muluk dalam mencari pekerjaan. Suatu pagi ada seorang wanita paruh baya mendatangi kontrakan Ranti yang merupakan rusun di tengah padatnya kota Jakarta. Saat ini Ranti sedang ada di pasar untuk berbelanja, sementara Aruna sedang di loteng gedung rusun menjemur pakaian yang baru saja dicucinya. Wanita tersebut tidak menemukan Ranti maupun Aruna di dalam rumah. Akhirnya wanita itu menitipkan sebuah amplop berisi pesan untuk Aruna, pada tetangga mereka yang kebetulan hendak keluar rumah. Tidak lama setelah wanita paruh baya tadi meninggalkan gedung kontrakan Aruna turun untuk kembali ke rumah Ranti. Tepat saat Aruna membuka pintu rumah tetangganya tadi sudah kembali dan segera menitipkan sebuah amplop pada Aruna. "Apa ini, Mpok?" tanya Aruna heran. "Tadi ada wanita kaya datang ke sini nyariin elu sama Ranti. Berhubung nggak ketemu salah satu dari kalian, dia memberikan amplop itu buat diserahin ke elu atau Ranti." "Makasih, ya, Mpok." "Iya, Run. Same-same." Setelah berada di dalam rumah Aruna membuka amplop yang ternyata berisi secarik kertas yang bertuliskan menunggu kedatangan Aruna di sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari kompleks rusun tempat tinggal Aruna dan Ranti. Setelah membaca pesan di secarik kertas itu Aruna tahu siapa yang ingin menemuinya sepagi ini. Tak ingin mengulur waktu dan membuat wanita itu bosan menunggunya, Aruna segera bersiap. Beruntung subuh tadi dia sudah mandi jadi tadi tidak perlu mandi lagi. Dia bergegas ganti pakaian yang lebih layak untuk memenuhi undangan tersebut tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu dengan Ranti. Nanti saja setelah ketemuan, pikir Aruna. Aruna berlari kecil menuju ujung jalan, lokasi kafe tempat wanita yang sedang menunggu kedatangannya. Setelah sampai di depan pintu kafe dimana papan informasi di pintu kacanya masih menunjukkan tulisan closed, Aruna tidak lantas memasuki kafe tersebut. Dia masih melihat penampilannya dari refleksi bayangannya di pintu kaca. Aruna sedikit merapikan rambut sebahunya yang pagi ini dibiarkan terbuka. Aruna memoles senyum terbaiknya ketika membuka pintu kaca dan melangkah sopan mendekati posisi wanita yang menunggu kedatangannya. Wanita tersebut tidak menyadari kehadiran Aruna karena sedang duduk memunggungi pintu. "Selamat pagi Bu Menik," sapa Aruna sopan. "Saya Aruna," sambungnya memperkenalkan diri. "Oh, jadi kamu gadis itu. Kamu datang sendirian? Dimana Ranti?" tanya wanita bernama Bu Menik yang memiliki tatapan penuh intimidasi. "Iya, Bu. Mbak Ranti masih ada di pasar. Kalau nunggu datangnya Mbak Ranti, saya takut Bu Menik kelamaan nunggu," jelas Aruna. "Kamu sangat sopan. Majikan saya pasti sangat menyukaimu." "Apa saya diterima bekerja di rumah majikan Bu Menik?" tanya Aruna antusias. "Tentu saja. Kalau tidak mana mungkin saya jauh-jauh datang ke sini." "Jauh-jauh? Bukankah rumah majikan Bu Menik tidak jauh dari terminal? Artinya tidak terlalu jauh juga untuk sampai ke sini, kan?" "Oh, itu bukan rumah majikan saya," ujar Bu Menik dengan ekspresi tergagap. "Lalu rumah majikan Bu Menik di mana?" "Nanti kamu juga akan tahu sendiri. Hari ini kamu bersiap ya. Kemas semua barang-barang yang mau kamu bawa. Besok pagi-pagi orang saya akan menjemput kamu. Oh, iya, sebelum datang kamu harus menjalani vaksin anti virus dulu dan pemeriksaan medis secara keseluruhan. Soal kontrak kerja akan saya siapkan hari ini di tempat pengacara pribadi majikan saya. Akan saya pastikan sebelum sore kontrak sudah siap kamu tanda tangani," jelas Bu Menik dengan intonasi bicara tegas. "Sampai segitunya, Bu?" "Ya, begitulah." "Sejauh apa rumah majikan utama Bu Menik yang nantinya akan menjadi majikan saya?" tanya Aruna penuh ketakutan. "Kamu tidak perlu banyak tanya. Kamu tenang saja. Semuanya sudah terjamin di sana. Kamu hanya tinggal bekerja dengan rajin, tulus dan tentunya jujur." Bu Menik bangkit dari kursinya meninggalkan Aruna tanpa penjelasan apa pun soal lokasi rumah calon majikannya. “Terima kasih banyak atas bantuannya, Bu. Saya senang sekali mendengar kabar ini.” “Tapi… apa kamu yakin ingin menjadi seorang asisten rumah tangga? Saya lihat kamu masih muda dan bugar. Cantik lagi. Apa kamu tidak mencoba mencari pekerjaan yang lebih baik dari itu?” tanya Bu Menik sembari menilik fisik Aruna. “Saya cuma perempuan kampung yang tinggal di desa, Bu. Saya juga tidak punya kelebihan apa pun selain fisik yang kuat. Sekolah saja cuma sampai kelas dua SMA. Tidak sampai tamat karena keburu pandemi,” jawab Aruna polos. “Oh, gitu. Sebenarnya saya sudah dengar tentang riwayat hidupmu. Saya bertanya seperti ini hanya untuk memastikan supaya kamu tidak menyesal di kemudian hari.” Kali ini Aruna hanya tersenyum tipis merespon ucapan Bu Menik. "Ya, sudah kalau itu memang kemauan kamu. Saya harap kamu sudah siap ketika orang saya datang menjemputmu,” ujar Bu Menik tegas. “Tentu saja. Sekali lagi terima kasih banyak atas bantuannya, Bu.” ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD