6. Membayangkan Tuan Besar

1159 Words
Sepanjang hari pekerjaan Aruna tidak hanya fokus mengurus anak majikannya, dia melayani semua kebutuhan orang-orang di rumah ini. Terlebih Nyonya Hafsah yang tak pernah lihat situasi dan kondisi saat memberi perintah pada Aruna, apalagi ketika Batara sedang tidak ada di rumah. Bahkan Jingga lebih pengertian dibanding neneknya yang memiliki usia jauh lebih dewasa darinya itu. Akan tetapi jika Batara sedang ada di rumah nenek tua itu bersikap seolah penghuni rumah yang paling mandiri. Dia akan melakukan apa pun sendiri dan menyindir dua pembantunya yang seperti tak ada gunanya ada di rumah ini. “Jangan salahkan Aruna yang hanya kadang-kadang saja membantu Mama. Tugas utama dia mengasuh dan merawat Jingga. Selain itu hanya seperlunya saja. Kalau Mama ingin bantuan silakan meminta bantuan pada Bu Menik. Aku sudah membayarnya tiga kali lipat dari gaji yang disepakati di awal. Bahkan setiap tahun gajinya selalu naik. Gunakan saja tenaganya untuk membantu keperluan Mama. Dia nggak akan merasa keberatan diminta melakukan apa pun.” Begitu yang dikatakan oleh Batara ketika Nyonya Hafsah mengeluhkan sikap Aruna yang selalu lebih mengutamakan Jingga ketimbang neneknya. Malam ini Batara sedang melakukan perjalanan bisnis keluar negeri. Biasanya pria itu akan menghabiskan waktu antara dua sampai tiga hari. Sekitar pukul sembilan malam ketika Aruna sudah melepas semua atributnya, tiba-tiba pesawat telepon di kamarnya berdering. Aruna segera menerima telepon tersebut. “Ya, Aruna di sini,” sapa Aruna. “Saya tidak bisa tidur. Buatkan teh chamomile ya sekarang,” ujar Nyonya Hafsah tanpa basa basi. Minimal mengucapkan kata tolong. Terlebih saat ini sudah di luar jam kerja Aruna dan waktunya bagi perempuan itu untuk beristirahat setelah seharian bekerja tanpa jeda sedikitpun. Di dalam kontrak kerja, jam kerja Aruna adalah pukul enam pagi sampai pukul sembilan malam, kecuali ada pekerjaan mendesak seperti ada acara keluarga di rumah yang mengharuskan dirinya selesai bekerja lebih larut dari jam kerjanya. “Baik, Nyonya. Saya akan menyampaikan pada Bu Menik agar segera menyiapkannya untuk Nyonya Hafsah,” jawab Aruna sopan. “Saya maunya kamu yang membuat sekaligus mengantarnya ke kamar saya sekarang juga?!” bentak Nyonya Hafsah lalu sambungan telepon tertutup begitu saja. Aruna menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan. Dia mengulang kembali mengatur napasnya dengan cara seperti itu. Ranti yang telah mengajarkan cara itu sebagai upaya untuk mengurangi rasa lelah ketika energi sedang berada di titik merah sementara pekerjaan masih belum selesai sepenuhnya. Dan juga saat kesabaran sedang diuji. “Mau ke mana?” tanya Bu Menik saat melihat Aruna kembali mengenakan atributnya. “Nyonya besar minta dibuatkan teh chamomile. Katanya susah tidur.” “Selalu seperti itu. Dia pasti mengalami sulit tidur kalau tuan besar sedang tidak di rumah,” ujar Bu Menik bangkit dari tempat tidurnya. “Mau ke mana?” “Mau ke mana lagi? Ke dapurlah.” “Tapi dia maunya aku yang bikin sekaligus ngantar ke kamarnya,” ujar Aruna pasrah. “Lagian udah tahu bakal seperti itu kenapa nggak minta dibikinin dari tadi? Kenapa mesti nunggu selesai jam kerja.” “Sudahlah jalani saja! Mengeluh tidak akan membuat pekerjaanmu bakal terselesaikan.” “Saya nggak ngeluh. Cuma sebel aja, mana harus pakai seragam lagi. Coba kalau udah di luar jam kerja boleh pakek baju apa adanya aja, kan enak, nggak ribet.” Bu Menik berdecak keras. Dia bangkit dari tempat tidur lalu menyerahkan kemeja putih dan rok span milik Aruna yang tergantung di gagang lemari pakaian. “Ambil seragam yang paling simple saja. Lalu cepat pergi ke dapur dan buatkan teh chamomile pesanannya sebelum nyonya besar itu murka dan meneriaki dirimu pemalas.” “Baiklah,” jawab Aruna sambil tersenyum jengah. Dia bergegas mengenakan seragamnya lalu berjalan sedikit berlari menuju dapur untuk membuatkan teh chamomile permintaan majikannya itu. Setelah selesai dengan tehnya Aruna segera membawa nampan berisi set cangkir teh lengkap menuju kamar majikannya. Di depan pintu kamar Aruna mengetuk dua kali dan baru masuk setelah mendapat izin dari pemilik kamar. Dilihatnya majikan perempuannya itu sedang tidur sedikit memiringkan tubuhnya sambil membaca sebuah buku. Saat meletakkan set cangkir teh di atas nakas Aruna melirik sekilas dan membaca judul buku yang sedang dibaca oleh Nyonya Hafsah. Aruna menahan senyum membaca judul buku tersebut. Perbuatan itu tidak diketahui oleh Nyonya Hafsah karena wanita itu tengah fokus menatap lembar demi lembar buku di tangannya. Aruna menatap ranjang milik majikannya. Tiba-tiba saja pikirannya melayang membayangkan ranjang milik Batara yang sebenarnya belum pernah dilihatnya selama bekerja di sini. Sepertinya ukuran ranjang dan bahan sprei yang ada di ranjang Batara tidak berbeda jauh dengan milik Nyonya Hafsah, begitu pikiran sederhana Aruna saat ini. Kemudian pikirannya semakin liar saat membayangkan dirinya bermesraan dengan Batara di atas ranjang empuk yang dilengkapi sprei sutra nan lembut seperti yang digunakan di ranjang milik Nyonya Hafsah. Aruna sampai bisa berani membayangkan hal seperti itu dengan majikannya karena Batara sendiri sering mencuri-curi pandang setelah kejadian mendapati Aruna baru saja selesai membersihkan bathtub di kamar mandinya. Sejak saat itu setiap kali Batara akan berangkat kerja, pria itu akan menyempatkan diri melirik dan melempar senyum menggoda pada Aruna. Bahkan lebih parahnya lagi, Batara selalu mencari-cari kesempatan untuk menyentuh kulit Aruna. Salah satunya ketika Aruna mengantar sarapan untuk Batara di ruang musik. Kalau biasanya Aruna meninggalkan sarapan untuk Batara di atas meja, kali ini tidak lagi seperti itu. Batara akan meminta Aruna untuk mengantarkan sarapan dan meletakkan di atas nakas dekat dirinya sedang berdiri sembari bermain biola. Dan Batara akan menyentuh punggung tangan ataupun pinggang Aruna dengan penuh kelembutan menggoda. Atau pada saat berangkat kerja ketika menyerahkan Jingga dari gendongannya pada Aruna, Batara akan mengambil kesempatan menyentuh jemari Aruna. Seorang perempuan muda yang belum pernah menikah dan memang awam soal laki-laki digoda seperti itu lama-lama juga pasti akan merasa resah. Apalagi yang menggoda adalah pria yang memiliki kesempurnaan fisik seperti Batara. “Kalau sudah selesai kamu boleh keluar dari kamar ini,” ujar Nyonya Hafsah tiba-tiba bersuara. Aruna cukup terkejut karena dia sedang melamunkan majikan laki-lakinya. “Baik, Nyonya. Ini sudah selesai,” jawab Aruna sedikit gugup lalu membawa nampan setelah menatap set cangkir dan menuangkan teh chamomile dari cawan ke cangkir. Aruna bergegas pergi dari samping ranjang setelah berpamitan tapi tak mendapat respon apa pun dari Nyonya Hafsah. Namun saat Aruna sudah berjalan membelakangi ranjang suara Nyonya Hafsah memanggil namannya membuat Aruna menghentikan langkah dengan perasaan gelisah. Ia khawatir Nyonya Hafsah membaca gelagatnya sering digoda oleh Batara dan mau-mau saja digoda oleh sang majikan. “Ya, Nyonya? Ada lagi yang perlu saya siapkan untuk Nyonya?” tawar Aruna sopan dan ramah. “Nggak ada. Makasih ya,” ujar Nyonya Hafsah singkat. Sepanjang Aruna bekerja di tempat ini selama dua minggu, baru kali ini ia mendengar majikan perempuannya itu mengucap kata terima kasih padanya. “Sama-sama, Nyonya. Saya pamit dulu kalau gitu,” ujar Aruna diiringi senyum ramah. Kemudian dia berbalik badan dan berjalan keluar kamar. Senyumnya yang tadi tampak ramah berangsur pudar dan berganti wajah datar tanpa ekspresi. Aruna mulai tidak menyukai majikan perempuannya itu. Ada rasa dalam diri Aruna untuk membalas perbuatan wanita itu yang mulai sering semena-mena padanya. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD