Ponsel yang berada tidak jauh dari tempat tidur itu terus berdering. Namun, pemiliknya masih terbuai dalam mimpinya. Lima kali deringan dengan volume yang cukup memekakan telinga tidak membuat perempuan itu terganggu. Dia tidak akan tahu saja betapa kejamnya seorang Leo yang merasa diabaikan. Ponsel itu kembali berdering dan akhirnya mampu mengusik tidur Selina. Selina membuka matanya perlahan, dia lalu menyingkirkan selimutnya kemudian duduk dan diam untuk beberapa saat.
Selina mengulurkan tangannya untuk mengambil ponselnya, tanpa melihat siapa nama peneleponnya, Seliana langsung menerima panggilan itu.
"Jam berapa ini, Selina?" Pertanyaan dengan nada marah itu seketika membuat Selina melompat dari tempat tidurnya. Dia melirik jam yang menggantung di dinding kamarnya. Jam tujuh lebih tiga puluh menit. Selina menepuk keningnya, dia bangun kesiangan.
"Ma-af, Pak. Saya kesiangan," jawab Selina gugup.
"Tiga puluh menit, Selina. Saya tidak mau tahu, kamu sudah harus sampai dalam waktu itu di rumah saya." Sambungan telepon kemudian diputus sepihak. Selina tidak ingin membuang banyak waktu. Bergegas dia masuk ke kamar mandi kemudian mencuci muka dan menggosok giginya lalu mengambil baju secara acak. Setelah merasa rapi, dia buru-buru keluar dari kamarnya. Memesan ojek online karena Leo tidak meminta supurnya untuk menjemput Selina. Supir hanya disediakan untuk mengantarkannya pulang.
Meski sudah bersiap secepat mungkin nyatanya Selina tetap terlambat tiba di rumah Leo. Dari tiga puluh menit yang Leo berikan Selina membutuhkan dua puluh menit lagi untuk sampai di rumah pria itu.
Leo berdiri dengan tangan terlipat di atas perutnya. Tatapan tajam meliihat Selina yang baru saja melangkah melewati pintu. Untuk beberapa menit tidak ada kata yang terucap dari mulutnya, dia hanya sibuk memandangi Selina yang menunduk. Mengamati penampilan perempuan itu yang mengenakan kaos polos berwarna kuning cerah. Warna yang cukup menyakiti matanya. Lalu perempuan itu mengenakan rok jeans yang panjangnya hanya sebatas lutut. Dilengkapi dengan sneakers berwarna putih. Leo tidak bisa membayangkan bagaimana posisi duduk Selina di jok motor ojek online itu. Yang pasti jika dia melihatnya, dia pasti akan menarik perempuan itu turun dari sana.
"Kamu terlambat dua puluh menit. Dan saya juga terlambat ke kantor untuk mengikuti rapat bulanan karena ulah kamu." Selina semakin menundukkan kepalanya tidak berani melihat pria itu. Selamalam dia baru bisa tidur saat jarum jam menunjuk angka satu. Pulang dari rumah Leo jam sepuluh malam lalu dia juga harus membereskan cuciannya yang menumpuk. Akhirnya dia bisa tidur saat dini hari.
"Maaf, Pak," kata Selina lagi. Hanya kata itu yang mampu dia ucapkan untuk mengurangi amarah Leo. Leo mendengus keras bagai kuda jantan yang mengamuk. Rasanya dia ingin menarik Selina ke kamarnya sekarang. Lalu...
Leo berdehem untuk menjernihkan kepalanya. Dekat dengan SElina selalu mampu memancing otak kotornya. "Naik ke kamar saya sekarang, Selina! Siapkan semua keperluan saya, setelah itu kita berangkat ke kantor."
"Baik, Pak." Selina langsung melangkah menuju kamar Leo. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat pria itu mengamuk. Selina mengambil pakain kerja Leo lalu meletakkannya di ranjang besar pria itu. Kemudian dia menyiapkan air mandian. Setelahnya Selina membersihkan kamar Leo dengan cekatan. Leo memasuki kamarnya dan menoleh sejenak pada Selina yang sedang mengganti sprei.
Leo kemudian masuk ke kamar mandi tanpa menyapa Selina. Tidak butuh banyak waktu untuk membersihkan dirinya, karena sebenarnya dia sudah mandi sejak dia bangun jam enam tadi. Leo keluar dari sana dengan hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangannya. Dia memamerkan otot perutnya yang terihat padat pada Selina yang masih berada di sana. Leo tersenyum licik, biasanya setiap wanita yang melihat otot perutnya akan tergoda untuk menyentuhnya. Dan biasanya juga, dia tidak pernah membiarkan para wanita itu untuk menyetuhnya, mereka hanya boleh memandang tanpa diijinkan memegang.
Hanya untuk Selina, dia berbaik hati membiarkan perempuan itu menikmati keindahan tubuhnya. "Selina," panggil Leo saat Selina tidak kunjung berbalik melihatnya. Rasa-rasanya dia sudah kedinginan karena tidak kunjung mengenakan pakaian dan juga perhatian perempuan itu.
"Iya, Pak?" Selina akhirnya berbalik melihat Leo dengan wajah polosnya. Sejenak Selina mengamati penampilan Leo. Meskipun wajahnya bersemu merah tapi dia sangat cekatan. Selina menyambar pakaian Leo yang tergeletak dia ranjang lalu berjalan dengan langkah cepat menuju tempat Leo berdiri di sebrang ranjang kingnya.
"Maaf membuat Bapak kedinginan," ucap Selina seraya menutupi tubuh bagian depan Leo dengan kemeja yang dia pegang.
"Kau tidak tergoda untuk menyentuhnya?" tanya Leo. Dia menyingkirkan kemeja dari tubuhnya menantang Selina lebih dekat.
"Menyetuh apa?" Leo berdecak kesal. Menggoda Selina sungguh pekerjaan yang sia-sia. Otak perempuan itu hanya ada setengah. Jadi tidak akan mengerti dengan apa yang Leo lakukan.
"Bersiaplah, kita akan pergi ke kantor sebentar lagi. Leo meninggalkan Selina di tengah ruangan itu menuju ruang ganti miliknya. Akan sangat memaluan berganti pakaian di hadapan Selina sementara perempuan itu tidak tertarik sama sekali dengan tubuhnya.
Leo memberikan dasinya pada Selina setelah dia keluar dari ruang ganti. Selina sudah menonton tutorial memasang dasi sejak kemarin. Dia juga sudah mempraktekkannya beberapa kali pada Leo. Namun, dia tetap kesulitan membuat simpul, tangan kakunya tidak bisa belajar dengan cepat.
Selina memusatkan konsentrasinya memasang simpul dasi, dibawah tatapan tajam Leo. Titik-titik keringat mulai muncul di dahinya karena dia butuh lebih banyak waktu untuk merapikan simpul dasi yang kusut bagian bawahnya.
"Sudah, Pak." Selina tersenyum puas dengan hasil kerjanya. Leo mengangguk, dia menarik sedikit ke kiri dasi yang menggantung di lehernya itu.
"Iya sudah, kita jalan sekarang. Jangan lupa untuk mengambil tas kerja saya." Selina lalu berlari keluar dari kamar Leo menuju ruang kerja pria itu. Mengambil tas Leo lalu mempercepat langkahnya menyusul Leo yang sudah turun ke bawah terlebih dulu.
"Tuan sudah menunggu di mobil," kata salah satu pekerja rumah Leo begitu Selina tiba di ruang tamu.
"Terima kasih," ucap Selina seraya tersenyum tulus.
"Pakai sabuk penganmu, Selina," kata Leo tanpa melihat Selina. Dia sibuk dengan ipad yang berada di tangannya. Arnold yang duduk di bangku kemudi menoleh sejenak.
Selina menyetuh perutnya yang terasa kosong. Jelas saja dia belum memakan apapun pagi ini, bahkan segelas air pun tidak. Selina menjatuhkan pandangannya pada ibu-ibu penjual nasi kuning yang mendirikan stan jualannya tidak jauh dari lampu merah. Tempat mereka berhenti saat ini. Selina menggigit bibir bawahnya menahan rasa lapar yang menyerangnya. Arnold yang memperhatikannya seketika bisa menebak apa yang perenpuan itu rasakan.
"Ini untukmu." Arnold mengambil sebungkus roti dari dalam tasnya dan memberikannya pada Selina. Selina menatap Arnold sejenak, lalu dengan sungkan dia menerima roti itu. Tidak lupa mengucapkan terima kasih seraya tersenyum dengan sangat manis. Lalu senyumnya seketika lenyap melihat tangan yang terulur di depannya.
"Kamu datang terlambat pagi ini. Bukan hanya kamu yang belum makan, saya juga belum memakan apapaun pagi ini." Roti itu berpindah ke tangan Leo. Dengan lahap Leo menghabiskan roti itu tanpa menyisakan Selina sedikit pun.
"Aku masih belum kenyang. Bisa hentikan mobilnya di retoran depan?" Itu perintah bukan pertanyaan. Arnold menghentikan mobil tepat di depan restoran cepat saji. Leo turun lebih dulu kemudian Selina berjalan di belakangnya.
Leo tersenyum tipis melihat Selina yang makan dengan lahap. Dia hanya memesan kentang goreng untuknya sementara Selina memesan seporsi nasi serta ayam goreng lengkap dengan saus sambal. Leo suka melihat cara makan Selina yang tersekesan natural, tidak di buat-buat seperti kebanyakan wanita yang dikenalnya.
"Habiskan cepat. Kita tidak punya banyak waktu lagi," kata Leo seraya melirik arloji di pergelangan tangannya.
"Uhhuk ..." Leo berdecak melihat Selina yang tersedak.
"Saya tidak minta kamu buru-buru." Leo memberikan airnya pada Selina.
"Tadi Bapak suruh cepat habiskan," kata Selina polos.
"Kalau begitu pelan-pelan saja."
Bersambung....