"Jangan mimpi, tidak akan pernah anak saya menjadi istrimu, pergi!" ujar Bu Salamah.
"Bu, sabar Bu," ujar Hanah, ia mengusap bahu ibunya.
"Ck, waktu kalian tinggal enam hari lagi," ujar Juragan Karsa. "jika tidak bisa membayar hutang, siap-siap besok menikah dengan saya."
Setelah mengatakan itu Juragan Karsa tersenyum menyeringai dan berbalik pergi meninggalkan rumah Raihanah dan ibunya.
"Bu, ayo masuk!" ajak Raihanah.
Bu Salamah masih terus menatap tajam pada Juragan Karsa hingga laki-laki lanjut usia itu pergi dari halaman rumah dengan mobilnya.
"Ini Bu, minum dulu, ingat kondisi ibu," ujar Raihanah memberi segelas air putih hangat untuk ibunya.
"Ingat Bu, kendalikan amarah ibu, jangan sampai jantung ibu kumat."
"Ibu lebih baik mati dari pada harus melihat kamu menikah dengan bandot tua itu Hanah," ujar Bu Salamah.
Raihanah hanya bisa terdiam, hatinya menjerit tak tahu harus bagaimana. Ia juga tidak mau menikah dengan Juragan Karsa, tetapi mau bagaimana, sisa waktu enam hari rasanya mustahil ia mendapatkan uang dua puluh juta, belum lagi bunganya yang mencapai 50 persen itu.
Bukan Raihanah bodoh karena meminjam uang pada rentenir, tetapi ia terpaksa. Sulit baginya meminjam uang satu juta setiap bulam untuk berobat ibunya. Belum lagi saat ibunya harus dirawat di Rumah Sakit beberapa kali, hanya Juragan Karsa yang mau memberi pinjaman tanpa jaminan.
Raihanah dan ibunya tidak punya apa-apa selain nyawa pada diri mereka. Rumah reot yang mereka tinggali bahkan bukan milik mereka, melainkan milik orang lain yang baik hati membiarkan ditinggali oleh mereka selama 20 tahun ini.
"Hanah, coba besok kamu pinjam uang sama majikanmu Hanah, ibu benar-benar tidak rela kamu menikah dengan bandot tua itu," ujar Bu Salamah.
"Bu ...," lirih Raihanah.
Meminjam uang dari majikannya, di hari kedua dia bekerja, ya Allah bagaimama mungkin. Meski majikannya orang baik sekalipun, sangat tidak mungkin dia meminjam uang darinya, begitu pikir Raihanah.
"Bisa kan Hanah?" tanya Bu Salamah.
"Bu, Hanah baru bekerja satu hari, bagaimana mungkin Hanah pinjam uang sebanyak itu pada majikan Hanah Bu," jawab Raihanah. " bahkan andai memang Hanah harus pinjam uang dari Mas Dokter, satu juta pun tidak mungkin diberi, Ibu ... Hanah baru bekerja satu hari, Ya Allah Bu ...."
"Kalau begitu carilah laki-laki lain dan menikah dengannya, Ibu benar-benar tidak rela kamu menikah dengan Juragan Karsa. Jika kamu sudah menikah dengan laki-laki lain, maka Juragan Karsa tidak bisa menikahimu," ujar Bu Salamah dengan tegas, wanita paruh baya itu sampai memegang dadanya.
"Ya Allah Bu, hati-hati jantung Ibu bisa kumat kalau ibu emosi seperti ini," tegur Raihanah.
Raihanah hanya bisa menghela napasnya panjang, semua pilihan yang diberikan ibunya benar-benar berat baginya.
Menikah dengan laki-laki lain di saat dia tidak mengenal dekat laki-laki manapun, itu juga berat baginya.
Dengan siapa ia harus menikah? Tidak mungkin kan asal tunjuk orang dan menikah dengannya? Bagaimana jika orang yang ia tunjuk justru membawanya pada hal yang lebih sulit lagi. Sulit mencari laki-laki baik zaman sekarang bukan? Begitu pikir Raihanah.
"Sudah ya Bu, sekarang Ibu istirahat saja, hal itu biar Hanah yang pikirkan nanti."
Kemudian Raihanah pun menuntun ibunya masuk ke dalam kamar. "Istirahat saja dulu Bu, Hanah mohon jangan dipikirkan, Hanah janji Hanah tidak akan menikah dengan Juragan Karsa, Ibu tenang ya," ucapnya.
"Janji ya Hanah," ucap Bu Salamah.
Raihanah pun terpaksa berjanji, ia benar-benar tidak mau membuat ibunya khawatir, tapi mungkinkah ia bisa menepati janjinya itu sementara ia benar-benar belum mendapatkan petunjuk harus bagaimana dia menghadapi masalahnya.
"Ini sudah sore, Ibu istirahat, Hanah mau mandi, nanti sepulang Hanah dari Masjid, kita makan sama-sama ya Bu," ucap Raihanah, kemudian ia pun keluar dari kamar ibunya.
Raihanah duduk di dapur seorang diri, mencoba mencari jalan keluar untuk masalahnya.
"Ke mana aku harus mencari pinjaman sebesar itu?" gumam Raihanah.
Hingga ia teringat dengan perkataan ibunya, supaya ia meminjam uang itu dari majikannya. "Tidak mungkin Hanah, kamu benar-benar baru mengenalnya," ucapnya.
"Tapi jika tidak dicoba mana tahu hasilnya, bukan? Mungkin lebih baik besok aku mencoba meminjam dari Mas Dokter."
Keesokan harinya setelah menyiapkan sarapan untuk ibunya, dan juga hal lainnya supaya ibunya tidak perlu menjangkau terlalu jauh. Raihanah pun pamit untuk pergi ke rumah majikannya, ia harus bekerja hari ini.
Namun sepanjang perjalanan, Raihanah terus memikirkan niatnya untuk mencoba meminjam uang dari majikannya, ia benar-benar masih ragu, takut jika majikannya justru berpikiran hal lain, bagaimana jika dia justru dipecat?
"Astaghfirulloh," ucap Raihanah, tak seharusnya ia berpikir negatif.
Setelah cukup jauh melangkah, Raihanah pun tiba di rumah tempat ia bekerja hari ini, sepi mungkin majikannya belum pulang dinas, begitu pikir Raihanah.
Wanita itu pun segera memulai menyiapkan sarapan seperti pesan Mas Dokter kemarin, supaya saat laki-laki itu pulang, sarapan sudah tersedia.
Ditengah kegiatannya memasak, pikiran Raihanah terbesit sebuah perandaian. 'Mungkin seperti ini rasanya seorang istri saat menanti suaminya pulang bekerja,' ucapnya di dalam hati.
Raihanah pun langsung menggeleng, mengenyahkan bayangan yang begitu mustahil di benak pikirannya. "Tidak mungkin," gumamnya. Kemudian, Raihanah pun mencoba kembali fokus dengan pekerjaannya.
Hingga sekitar satu jam kemudian, tepat setelah masakan Raihanah matang, suara deru mobil terdengar dari halaman, dia yakin itu majikannya.
Raihanah pun bergegas menuju ruang tamu dan menunggu majikannya itu membuka pintu rumahnya sendiri.
Hingga tepat setelah pintu dibuka, Affan terlihat terkejut mendapati Raihanah begitu ia membuka pintu rumah.
"Astaga, kau membuatku terkejut," ucap Affan.
"Astagfirullah Mas, bukan astaga," ujar Raihanah.
"Apa?" tanya Affan.
Raihanah pun terdiam, ia merasa bersalah dengan ucapannya barusan. Bahkan dia belum tahu apakah majikannya itu seorang muslim atau bukan.
"Maaf Mas, saya kira Mas Dokter itu mus, em ...." Raihanah benar-benar bingung harus berkata apa.
"Tidak apa, saya muslim, setidaknya di KTP," ujar Affan.
Mendengar itu, Raihanah langsung mengangkat kepalanya dan menatap bingung pada majikannya. Kata-kata setidaknya di KTP membuat Raihanah merasa sedih.
"Aku mau mandi, apa sarapannya sudah matang?" tanya Affan yang merasa canggung mendapati tatapan asisten rumah tangganya yang seperti mengasihaninya.
"Ah, sudah Mas," jawab Raihanah, kemudian ia mencoba mengambil alih tas kerja majikannya.
"Mau apa kau?" tanya Affan yang langsung menarik tas kerjanya dari jangkauan Raihanah.
"Maaf Mas, kata Bu Laras kalau Mas Dokter baru pulang kerja, saya em-"
"Tidak usah," ujar Affan dengan ketus, kemudian laki-laki itu berlalu meninggalkan Raihanah.
Mendapati sikap majikannya yang terasa begitu arogan, membuat nyali Raihanah menciut.
"Ya Allah, bagaimana bisa aku meminjam uang darinya," ucap Raihanah menatap punggung Affan yang memasuki kamarnya.
"Ya Allah, ke mana aku harus mencari pinjaman jika bukan padanya?"
Sementara itu di kamarnya, Affan membanting tas yang ia bawa ke ranjang. Bagaimana tadi Raihanah menyambutnya, mencoba mengambil alih tasnya, benar-benar membuat ia teringat dengan hal yang menyakitkan baginya.
"Kenapa, kenapa kadang dia terlihat seperti orang yang sama?" desis Affan menatap tajam pada cermin lemari di depannya.
Pria itu kemudian meremas kepalanya kala ingatan yang ingin ia lupakan terlintas di pikirannya begitu saja.