"Ini, benar kau yang memasak?" tanya Affan, ia menatap pada beberapa menu makanan di meja.
"Iya Mas," jawab Hanah.
"Kenapa banyak sekali, aku tidak mungkin menghabiskan semuanya sendiri, nanti aku akan pergi dinas, dan makanan ini akan basi," ujar Affan.
Mendengar itu, Hanah pun menunduk, ia bingung harus masak berapa porsi tadi. "Maaf Mas, saya tidak tahu, Mas bisa membawanya sebagai bekal," ujar Hanah.
"Ck, untuk bekal makan malam juga masih lebih," ucap Affan. "aku tidak suka makanan menjadi mubazir, kau bawa pulang saja, kau bisa memakannya atau memberikan pada yang membutuhkan," ujar Affan, kemudian laki-laki itu pun mulai makan siangnya di jam 2 siang.
"Alhamdulillah," ucap Hanah begitu lirih, ia tak menyangka jika ia akan mendapatkan rezeki seperti ini di saat hari pertama bekerja.
Bu Laras benar, majikannya meski arogan, dia orang yang baik hati, sebagaimana profesinya sebagai dokter yang suka menolong.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Affan.
Hanah pun tersadar. "Astagfirullah," lirihnya.
"Sudah, siapkan bekal untukku dan istirahatlah, kamu boleh pergi setelah aku berangkat jam tiga nanti," titah Affan.
"Ba-baik Mas," jawab Hanah, ia pun permisi dan pergi ke dapur, lalu mulai menyiapkan bekal untuk majikan Dokternya pergi ke rumah sakit.
Hanah ingat, dulu saat kecil, Hanah pun ingin sekali menjadi seorang dokter, tapi itu hanya mimpi. Biaya kuliah dokter mahal bukan main, jangan mimpi Hanah, begitu kata ibunya.
Ya, hanya mimpi, untuk menuntaskan sekolah SMP saja Ibu Salamah tidak sanggup membiayai. Apalagi SMA dan kuliah, kedokteran lagi. Karena itu, Hanah yang sadar diri, dengan cepat ia mengubur impian masa kecilnya itu dan ia yang suka belajar akhirnya memilih untuk masuk ke Pesantren gratis dulu.
"Aku akan berangkat ke Rumah Sakit, pulang jam 9 besok pagi, jadi saat pulang, harus sudah ada sarapan, ingat masak sedikit saja," ujar Affan.
"Baik Mas," jawab Hanah sambil mengulurkan rantang kecil dengan teknologi agar dapat menyimpan makanan supaya tetap hangat.
Affan menerima wadah bekal itu, pria itu hanya menghela napasnya lalu pergi meninggalkan rumahnya, tak lupa dia juga mengunci pintu depan rumahnya. Karena Hanah akan keluar melalui pintu kecil di samping, di depan carport.
Hanah menghela napasnya panjang setelah mendengar suara mobil meninggalkan halaman. "Alhamdulillah, dia orang yang baik meski kurang ramah," ujarnya.
"Astagfirullah, apa yang kamu katakan Hanah, tak baik menilai seseorang seperti itu," ucap Hanah menegur dirinya sendiri.
Kemudian Hanah pun melanjutkan pekerjaannya supaya dia bisa segera pulang ke rumah. Tidak lupa dia membawa sisa makanan majikannya tadi untuk dia dan ibunya.
"Alhamdulillah malam nanti Ibu bisa makan ayam goreng," ucap Hanah.
Hanah tak ingat kapan terakhir dia makan ayam goreng, misal ada pemberian tetangga atau wali santri dia selalu memberikannya pada ibunya dan itu pun jarang sekali.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, ba'da Asar Hanah segera pulang ke rumahnya, dia jalan kaki meski cukup jauh. Dia tak punya sepeda apalagi motor.
Sekitar 30 menit kemudian, Hanah memasuki halaman rumahnya. "Ibu ...!" seru Hanah saat melihat ibunya tengah menyapu teras rumahnya, ia segera berlari menghampiri ibunya itu.
"Ibu, kan sudah Hanah bilang, istirahat, jangan melakukan apapun," tegur Hanah.
Bagaimanapun, sakit jantung ibunya benar-benar membatasi geraknya. Ibunya tidak boleh terlalu lelah. Andai dia punya uang, mungkin ibunya bisa dioperasi. Tetapi apalah daya, untuk menebus obat-obatan ibunya saja dia harus berhutang.
"Tidak apa Hanah, ibu baik-baik saja," ujar Bu Salamah.
"Ibu sudah makan?" tanya Hanah.
"Sudah, tadi setelah sholat Asar, jadi perut ibu akan bisa tahan sampai besok," ujar Bu Salamah yang kemudian wanita paruh baya itu terdiam. Entah, apakah besok dia dan putrinya bisa makan atau tidak.
"Bu, tenang-"
"Semua salah ibu," ujar Bu Salamah memotong ucapan putrinya.
"Bu ...," lirih Hanah.
"Andai ibu bisa berjuang mempertahankan hak ibu, hidup kita tidak akan seperti ini," ujar Bu Salamah.
Hanah pun menghela napasnya panjang, ibunya akan selalu seperti itu. Menyesali Ketidakberdayaannya di masa lalu.
"Bu, lihat!" ujar Hanah, dia mengambil kantong keresek berisi makanan-makanan di dalam plastik yang ia bawa dari rumah majikannya.
"Hanah bawa makanan untuk kita malam ini, jadi ibu tidak perlu khawatir," ujar Hanah, dia tidak mau ibunya terus menyesali masalalu.
"Dari mana itu Hanah?" tanya Bu Salamah.
"Dari majikan Hanah Bu, tadi Hanah masak kebanyakan, dan Mas Dokter bilang Hanah boleh membawa sisanya pulang dari pada mubazir," jawab Hanah.
"Mas Dokter?" tanya Bu Salamah.
"Iya Bu, majikam Hanah seorang Dokter, beliau sejauh ini sangat baik," jawab Hanah.
"Laki-laki?" tanya Bu Salamah.
"Ibu, kan Hanah bilang Mas Dokter, ya dia laki-laki," jawan Hanah lagi.
"Istrinya?" tanya Bu Salamah lagi.
Hanah pun mengerutkan keningnya. "Kata Bu Laras, majikan Hanah duda, Bu."
"Duda?" tanya Bu Salamah. "Hanah kamu-"
"Bu, Hanah tahu, tidak baik jika Hanah berdua-dua dengan laki-laki yang bukan mahrom, tapi Hanah butuh pekerjaan ini Bu," ujar Hanah.
"Lagipula, Mas Dokter katanya jarang di rumah, beliau pulang ke rumah hanya untuk tidur dan juga makan, mandi terus kerja lagi, beliau orang sibuk yang lebih banyak waktu di Rumah Sakit," ujar Hanah, ia harap ibunya mengerti.
"Tapi dia beneran baik kan Hanah?" tanya Bu Salamah.
"Iya Bu, insya Allah penilaian Hanah tidak salah," jawab Hanah dengan yakin, lagi pula dia tidak mau membuat ibunya khawatir jika mengatakan majikannya sedikit tidak ramah.
"Syukurlah kalau begitu," ujar Bu Salamah.
"Iya Bu, Ibu tenang saja, nanti Hanah akan cari pinjaman buat ibu kontrol," ujar Hanah.
Hanah pikir, setidaknya dia akan punya gaji bulan depan, semoga orang mau percaya padanya dan meminjamkan uang padanya, begitu harapnya.
"Namanya siapa Hanah?" tanya Bu Salamah.
"Nama, siapa?" tanya Hanah balik, dia bingung maksud ibunya.
"Itu tadi, majikan kamu," ujar Bu Salamah.
"Oh, em siapa ya tadi, Hanah lupa Bu," jawab Hanah.
"Sudah Bu, sekarang ibu masuk ke dalam rumah saja, ini biar saja Hanah yang selesaikan nyapunya," ujar Hanah.
"Ah baiklah." Kemudian Bu Salamah pun berniat masuk ke dalam rumah.
Namun baru saja pada saat dia mau memasuki pintu, suara mobil memasuki halaman rumah mereka menarik perhatian ibu dan anak itu.
Bu Salamah dan juga Raihanah pun langsung menoleh, sebuah mobil Jeep berwarna hitam berhenti di halaman rumah mereka. Keduanya tahu, mobil siapa itu, Juragan Karsa.
"Hanah," ucap Bu Salamah khawatir.
"Tenang saja Bu, ini belum satu minggu dari waktu yang dia berikan," ujar Hanah.
Bu Salamah langsung memegang erat pergelangan tangan putrinya pada saat ia melihat Juragan Karsa turun dari mobil bersama dengan anak buahnya, laki-laki lanjut usia itu langsung menghampiri mereka di teras. Rasanya ingin sekali menyembunyikan Raihanah dari laki-laki bau tanah di depannya.
"Selamat sore calon istriku," ucap Juragan Karsa yang berusaha menyentuh dagu Raihanah.
"Ini belum satu minggu, kenapa datang?" tanya Raihanah dengan angkuh.
"Memangnya kenapa, suka-suka saya mau datang kapan, satu minggu atau bahkan satu bulan, saya yakin kau tidak akan sanggup membayar semua hutangmu, 20 juta, belum lagi bunganya, hahaha ...."
"Pergi, kami pasti akan membayarnya, tidak sudi jika anakku harus menikah dengan bandot tua sepertimu!" ujar Bu Salamah yang menatap penuh kebencian.
"Bu," tegur Hanah pada ibunya. "tenang Bu, tenang," bujuknya.
"Jika kau berani seperti tadi lagi, tak butuh waktu satu minggu akan aku tagih hutang kalian, atau ... relakan putri cantikmu ini menjadi istri mudaku, paham!"