"Duduk!"
Raihanah pun mengikuti apa yang diminta oleh suaminya. Dia duduk di atas ranjangnya.
Sementara Affan, dia menuju tas kerjanya dan mengambil sesuatu dari dalam. Setelahnya, Affan membawa sebuah Map menghampiri Raihanah dan duduk di sana.
"Ini, bacalah!" ujar Affan menyerahkan Map di tangannya pada Raihanah yang baru satu jam lalu menjadi istrinya.
"Apa ini Mas?" tanya Raihanah.
"Baca saja," ujar Affan.
Dengan kening yang mengerut, dan perasaan ragu, Rainanah membuka Map biru di tangannya. Ada sebuah kertas di sana yang bertuliskan sesuatu yang membuat gadis itu terkejut.
"Surat perjanjian?" tanya Raihanah, dia menatap bingung pada suaminya.
"Ya, bacalah dan kau harus setuju, dengar pernikanan ini terjadi tanpa ada niat, apalagi cinta. Malam itu terjadi karena ketidak sengajaan karena pengaruh obat," ujar Affan.
"Obat?" tanya Raihanah.
"Ya, em itu baru dugaanku saja," jawab Affan. "aku benar-benar tidak ada niat melakukannya denganmu, aku bahkan tidak ingat, jadi dugaanku itu adalah pengaruh obat."
"Memang Mas minum obat apa?" tanya Raihanah yang masih tak mengerti.
Affan pun menatap bingung pada istrinya. "Bagaimana caraku menjelaskan padamu ya?" tanya Affan
Affan pikir, istrinya sangatlah polos, dia pasti tidak tahu jika ada yang namanya obat perangsang di dunia ini. "Bukan aku Hanah, tapi kita, kemungkinan ada yang memberi kita obat, obat perangsang, agar kau dan aku em ...."
"Tidak usah dilanjutkan Mas, aku paham, tetapi jika dugaan Mas Dokter benar, siapa yang memberikan obat itu pada kita?" tanya Raihanah.
Affan pun menunduk. "Entah, aku juga belum tahu, dugaanku pada teman-temanku, aku bertemu mereka di caffe sebelum pulang dan makanan yang kita makan aku beli saat bersama mereka," jawab Affan.
"Astagfirullah," ucap Raihanah tak menyangka.
"Tapi Hanah, itu urusan lain, yang penting aku sudah bertanggung jawab dengan menikahimu," ujar Affan.
"Tapi ...," ujar Affan lagi dan laki-laki itu terlihat ragu.
"Tapi apa Mas?" tanya Raihanah penasaran.
"Aku, aku benar-benar belum ada perasaan apapun padamu, dan ...." Affan terdiam, menatap istrinya yang terlihat mulai ada air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
"Hanah, beri aku waktu, ya!" ujarnya.
"Kamu, baca ini, ini surat perjanjian selama kita menjadi suami istri," ujar Affan.
Raihanah langsung menatap kembali pada kertas di tangannya dan membacanya.
"Hanah, Hanah!"
Baru saja Raihanah membaca judul surat perjanjian itu, suara Bu Tiwi memanggilnya dan terdengar panik.
"Hanah, ibu kamu pingsan," ujar Bu Tiwi.
Mendengar itu Affan langsung bergegas keluar kamar, begitupun Raihanah.
Kini Affan tengah memeriksa keadaan ibu mertuanya. "Kita bawa ke rumah sakit, Hanah ambil tas kerjaku, kunci mobil juga!" ujar Affan.
"Iya Mas."
Raihanah segera kembali ke kamarnya dan mengambil apa yang diminta oleh suaminya, tak terkecuali dengan map berisi surat perjanjian tadi, dia pun mengambil dan memasukannya ke dalam tas kerja suaminya, lalu Raihanah bergegas keluar kamar.
"Ayo!" ujar Affan yang sudah menggendong ibu mertuanya.
"Bu Tiwi, titip rumah ya," ujar Raihanah begitu dia masuk ke dalam mobil dan memangku ibu mertuanya.
"Iya, nanti ibu nyusul ke sana bawa baju ganti kamu," ujar Bu Tiwi.
"Terima kasih Bu," ucap Raihanah.
Affan pun bergegas mengendarai mobilnya menuju Rumah Sakit tempat dia bekerja.
***
Raihanah masih menunggu di ruang IGD seorang diri. Sementara Affan, tengah bertindak sebagai seorang dokter saat ini di ruang IGD dan menangani ibu mertuanya.
Raihanah hanya bisa menangis memikirkan kondisi ibunya. "Ibu pasti kelelahan," lirih Raihanah.
Raihanah langsung menoleh saat mendengar suara pintu ruang IGD terbuka, Dokter Affan keluar, laki-laki itu melepas maskernya dan menghampiri Raihanah yang baru saja berdiri.
"Ba-bagaimana kondisi ibu, Mas?" tanya Raihanah, ia menghapus air matanya.
"Ibumu harus rawat inap, tekanan darah rendah, tadi dari rekam jantung juga cukup lemah," ujar Affan menjelaskan.
"Ya Allah, ibu ...," lirih Raihanah, ia kembali menangis.
Melihat Raihanah menangis, hati Affan merasa sedikit sesak. Dia pun maju, tangannya terangkat berniat memeluk gadis yang sudah resmi menjadi istrinya itu.
Namun, kemudian ia urungkan saat tiba-tiba Raihanah bertanya, "Apa saya sudah boleh melihat ibu, Mas?"
"Ah, ya tentu saja," jawab Affan.
"Aku akan siapkan kamar rawatnya ... masuk temani ibumu."
Raihanah pun mengangguk, lalu ia pamit masuk ke dalam ruang IGD itu.
"Ck, apa yang kau lakukan Affan," gumam Affan sebelum dia berlalu pergi dari tempat itu.
Dan di ruang IGD, Raihanah menghela napasnya lega setelah ibunya siuman.
"Ibu kelelahan," ucap Raihanah.
"Ibu lelah, tapi ibu lega," ucap Bu Salamah, dia kemudian meminta tangan putrinya.
"Berbahagialah setelah ini Nak, sudah cukup penderitaan kamu selama ini," ucap Bu Salamah lagi.
Raihanah pun tersenyum. "Ibu sehat ya, bahagia Hanah kalau Ibu sehat," ucapnya.
Bu Salamah hanya tersenyum, sampai kemudian perawat datang dan mengatakan akan memindahkan Bu Salamah ke kamar rawat.
Tak lama kemudian Raihanah yang mengikuti ke mana perawat membawa ibunya pergi, ia memindai ruangan yang baru saja ia masuki, sebuah kamar kelas satu untuk kamar rawat ibunya, hanya seorang diri, tidak seperti biasanya saat dia membawa ibunya opname di Puskesmas atau Rumah Sakit, pasti selalu menggunakan kamar yang dihuni banyak pasien.
"Kalau ada apa-apa, pencet tombol ini ya Mbak," ucap Perawat pada Raihanah.
"Baik Sus, terima kasih," ucap Raihanah.
Kini, tinggal Raihanah bersama dengan ibunya berdua di kamar itu. Raihanah masih sibuk memindai ruangan itu dengan fasilitas yang membuat mereka nyaman.
"Berapa biayanya di sini semalam ya Bu?" tanya Raihanah.
"Ibu tidak tahu, tapi pasti ini semua yang ngurus Mas Dokter," ucap Ibu Salamah.
Raihanah pun mengangguk, tentu saja Dokter Affan yang mengurusnya, tadi suaminya itu pamit untuk mengurus hal itu. Sekarang yang menjadi pertanyaan di benak Raihanah adalah, apakah Dokter Affan juga yang akan membayar biaya rumah sakit ibunya, mereka baru saja menikah, apakah Raihanah berhak mendapatkan semua ini dari Dokter Affan.
"Di mana suamimu?" tanya Bu Salamah.
Raihanah pun menoleh pada ibunya, lalu ia menggelengkan kepalanya, tadi sejak pamit untuk menguruskan ruang rawat ibunya, suaminya itu, Dokter Affan belumlah kembali menemuinya.
"Sudah, sekarang Ibu istirahat saja dulu, tadi baru minum obat kan, sekarang tidur!" ujar Raihanah.
Bu Salamah pun mengangguk, kemudian wanita paruh baya itu memejamkan matanya. Dia menarik napasnya panjang dan menghembuskannya perlahan. Di dalam hatinya, dia benar-benar merasa lega, akhirnya dia bisa memberikan kehidupan yang baik untuk putrinya itu.
Sekitar satu jam kemudian, Raihanah yang tengah mengantuk, di kejutkan dengan sebuah kecupan di bibirnya.
"Mas Dokter," ucap Raihanah, dia menatap suaminya yang sudah memakai snelli nya juga sebuah stetoskop melingkar di lehernya. Pria itu duduk begitu dekat dengannya dan juga tersenyum padanya.
"Mas," lirih Raihanah, jantungnya berdebar semakin kencang, dia gugup saat Dokter Affan semakin mendekatkan wajah dengannya.