"Astagfirullah."
Raihanah menegakan duduknya, dia lantas melihat ke sekelilingnya dan seketika dia merasa lega.
"Cuma mimpi, untunglah."
Raihanah kemudian melihat pada jam dinding, sudah mau magrib dan alhamdulillah dia sudah berganti pakaian yang tadi sempat dibawa oleh Bu Tiwi, tetangganya.
Kemudian Raihanah menuju ranjang ibunya dan melihat infus yang terpasang di sana. "Aduh, sudah mau habis," ujar Raihanah.
Kemudian gadis itu pun berniat keluar kamar untuk memanggil perawat dan mengganti infusnya.
Namun, baru saja dia akan membuka pintu, rupanya sudah ada seseorang yang lebih dulu membuka pintu itu.
"Maaf," ucap Raihanah.
"Kau sudah bangun?"
Raihanah mundur satu langkah dan membiarkan Dokter Affan masuk ke dalam. Laki-laki itu langsung menuju ranjang dan mengganti kantong infus milik ibunya. Hal itu membuat Raihanah berpikir jika Dokter Affan sudah masuk sebelumnya.
Buktinya, Dokter Affan tahu kalau dia sedang tidur dan infusnya hampir habis.
'Yang tadi beneran mimpi, kan?' tanya Raihanah di dalam hatinya.
"Kau belum makan, kan?" tanya Affan tiba-tiba.
"Ya," jawab Raihanah, dia yang tengah berpikir tiba-tiba merasa terkejut dengan pertanyaan Affan padanya.
"Biar aku delivery order saja untuk kita," ujar Affan.
"Ah ya, em saya ke kamar mandi dulu Mas," ucap Raihanah, dia benar-benar merasa canggung saat ini.
Affan hanya menganggukan kepalanya, lalu ia mengambil ponselnya dan memesan makanan untuk dia dan istrinya.
"Nak Affan ...."
Affan langsung berbalik dan menatap ibu mertuanya yang terbangun. "Ya Bu," jawabnya.
Kemudian Affan mendekat pada ibu mertuanya dan mengerutkan keningnya, menatap penasaran pada Bu Salamah yang tiba-tiba menggenggam tangannya.
"Ibu, titip Hanah ya, setelah Ibu, dia tidak punya siapa-siapa, cuma punya Nak Affan," ujar Bu Salamah.
Affan hanya diam, mendengar apa yang dikatakan oleh ibu mertuanya itu.
"Sejak lahir, dia sudah tidak diinginkan oleh ayahnya, Ibu membesarkan dia yang dianggap mati oleh ayahnya. Ibu memberi dia kehidupan, meski pada akhirnya, dia harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup." Bu Salamah berkata sambil menerawang jauh ke depan, air matanya mengalir dari sudut matanya.
Bu Salamah kemudaian melepas genggaman tangan pada menantunya demi menghapus air matanya. "Ibu, ingin memberikan kehidupan yang bahagia untuknya, meski mungkin cara ibu salah, tapi Ibu Terpaksa, Ibu tidak mau menyesal jika nanti Ibu pergi dan membiarkan dia tetap berada di jurang penderitaan."
Affan mengerutkan keningnya. "Maksud Ibu?" tanya Affan.
Namun, belum Bu Salamah menjawab, pintu kamar mandi terbuka dan Raihanah keluar dari sana. Hal itu membuat Bu Salamah kembali memejamkan matanya.
"Mas," ucap Raihanah.
Affan pun menatap heran pada ibu mertuanya itu yang sepertinya berpura-pura tidur.
"Ah ya, aku sudah pesan makanan, mungkin sebentar lagi datang," ujar Affan.
Dan saat itu azan magrib berkumandang. "Em, saya sholat magrib dulu Mas," ucap Raihanah.
"Mas, sholat juga?" tanya Raihanah, sekarang dia tahu jika majikannya, atau suaminya itu juga seorang muslim.
"Ah, aku ambil tas kerjaku di ruanganku dulu, kau saja duluan." Setelah mengatakan itu Affan pun segera pergi keluar kamar rawat ibu mertuanya itu.
Raihanah hanya bisa menghela napasnya pasrah, dia merasa sedih setelah mengetahui pria yang telah sah menjadi suaminya, seorang muslim, tapi tidak pernah ia lihat melakukan ibadah sholat lima waktu.
***
Tiga hari sudah berlalu, hari ini Bu Salamah sudah diperbolehkan pulang ke rumah.
"Kita tunggu perawat datang untuk lepas infus Ibu," ujar Raihanah.
"Hm, yang bayar siapa Hanah, pasti mahal ini?" tanya Bu Salamah.
Raihanah yang tengah merapikan selimut, menghentikan gerakan tangannya. "Mas Dokter yang bayar Bu," jawab Raihanah.
Tadi, saat dia ke bagian administrasi, kata petugas di sana, semua biaya sudah dibayar lunas oleh Dokter Affandra.
Raihanah merasa tak enak hati pada laki-laki itu. Mereka baru satu minggu kenal, dia bekerja baru tiga hari dan Dokter Affan sudah harus mengeluarkan biaya yang pasti lebih dari lima juta rupiah itu.
Memang, status mereka suami istri, tetapi pernikahan itu terjadi karena terpaksa. Rasanya Raihanah tak enak hati pada suaminya itu. Terkesan dia memanfaatkan keadaan.
"Sudah siap?"
Raihanah menoleh saat suara orang yang tengah ia pikirkan terdengar. "Em, tinggal tunggu perawat melepas infus, Mas," jawab Raihanah.
"Hm, sebentar," ujar Affan, dia kemudian menekan tombol di sisi tempat tidur agar perawat segera datang.
"Biar saya lepas ya Bu," ujar Affan.
Sesaat kemudian, Perawat datang dan merasa bersalah karena Dokter Affan sendiri yang melepas infus di tangan pasien.
"Sudah," ucap Affan setelah selesai melepas infus di tangan ibu mertuanya.
Perawat kemudian hanya membereskan sisanya. "Permisi Dok," ucap Perawat itu yang terlihat heran menatap pada Dokter Affan.
"Sudah, sekarang kita pulang," ujar Affan.
Dalam perjalanan pulang, Dokter Affan berkata. "Sementara waktu, kalian masih tinggal di rumah kalian, tidak apa kan?" tanya Affan.
Raihanah yang duduk di belakang bersama Bu Salamah langsung menatap pada suaminya dari balik spion dan saat itu pandangan keduanya bertemu.
"Tidak apa Nak Dokter," ucap Bu Salamah. "kami tidak mengira jika kami harus pindah."
"Hm, bagaimanapun Hanah istri saya dan Ibu, adalah mertua saya, saya tidak mungkin biarkan kalian tinggal di tempat seperti itu, dan saya tidak mau tinggal di tempat seperti itu," ujar Affan.
Raihanah pun menunduk, merasa semakin tak enak hati pada suaminya itu. 'Ya Allah, apa yang harus aku lakukan, bakti seperti apa yang bisa aku lakukan untuk membalas segala kebaikan Dokter Affan padaku dan Ibu?' tanya Raihanah di dalam hatinya.
Hingga tak lama kemudian, mereka pun sampai di rumah. Kepulangan Bu Salamah disambut baik oleh Bu Tiwi yang langsung membantu mereka.
"Saya harus langsung kembali ke Rumah Sakit, mungkin malam atau besok pagi, saya baru kembali," ujar Affan pamit, setelah memastikan Bu Salamah beristirahat di kamarnya.
"Iya Mas," jawab Raihanah, dia kemudian mengantar kepergian suaminya.
Setelah kepergian mobil Affan meninggalkan halaman rumah, Raihanah kembali masuk ke dalam rumah.
"Terima kasih ya Bu Tiwi, berkat obat tidur dari Bu Tiwi, akhirnya saya bisa menikahkan mereka," ucap Bu Salamah.
"Sama-sama Bu, hanya itu yang bisa saya lakukan untuk membantu Bu Salamah dan Hanah," balas Bu Tiwi.
"Maksud kalian apa?" tanya Raihanah, dia mendengar pembicaraan antara ibunya dan juga Bu Tiwi.
"Hanah, maaf Ibu," ucap Bu Tiwi ragu.
"Biar saya yang jelaskan Bu Tiwi, terima kasih untuk bantuannya," ucap Bu Salamah.
Bu Tiwi pun menghela napasnya pasrah. "Kalau begitu, saya permisi Bu Salamah," pamit Bu Tiwi.
Setelah kepergian Bu Tiwi, Raihanah kembali bertanya, "Maksud Ibu apa?"
Sementara Affan yang baru saja pergi, dia menghentikan mobilnya saat melihat tas Raihanah masih ada di dalam mobilnya. "Belok susah," gumamnya.
Akhirnya Affan memilih untuk turun dari mobilnya dan mengantar tas istrinya dengan berjalan kaki saja.
"Ada apa Bu?" tanya Affan saat melihat Bu Tiwi pergi dengan ekspresi panik.
"Tidak, tidak apa Pak Dokter," jawab Bu Tiwi yang kembali melanjutkan langkahnya setengah berlari.
"Ada apa?" gumam Affan yang tiba-tiba merasa cemas dan langsung menuju rumah ibu mertuanya.