22. Bukan Tanpa Alasan

1834 Words
Mobil Ragha melaju dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan yang tidak seramai biasanya. Membawa keduanya ke kantor Vieena untuk mengantarkan Adara. Memang sudah dua hari ini, Ragha yang mengantarkan Adara ke kantor. Bukan hanya karena ingin menebus rasa bersalahnya di masa lalu yang jarang memperhatikan Adara. Ragha juga ingin menunjukkan pada Mama kalau hubungan keduanya sudah berangsur membaik. Ragha bisa merasakan apa itu bahagia dengan adanya Adara di sisinya. Supaya Mama tahu kalau Adara memang sumber bahagianya. Dengan harapan besar, Mama akan berhenti dengan ambisinya dan membiarkannya hidup tenang dengan Adara. Ragha hanya tidak nyaman untuk terus berada di posisi ini. Tidak tega untuk menolak permintaan Mama. Tidak bisa membiarkan Sana tenggelam terlalu dalam pada perasaannya. Juga enggan membuat Adara kembali terluka. Kerumitan hubungan ini jelas disebabkan oleh Mama. Namun Raghalah yang mengawali semuanya. Menyeret Adara ikut serta untuk merasakan hal menyebalkan yang kian hari kian mengganggu. Membuat luka di hati Adara kian melebar dan menyiksa. Helaan napas kasar itu membuat Adara yang sejak tadi diam langsung menoleh. Memperhatikan wajah tegas Ragha yang nampak muram. Tidak pernah mengira jika keduanya akan menerima hal menyebalkan di waktu sepagi ini. Yang mana seharusnya dilingkupi rasa senang untuk memulai hari. Namun, Adara paham dengan posisinya. Ia tidak mungkin asal berkomentar dan menyalahkan Mama. Walaupun mungkin memang Mama yang bersalah dalam hal ini. Tetap saja, Adara masih tahu betul arti menghargai keberadaan orang tua. Adara sudah kehilangan sosok ibu sejak usianya masih sangat muda, lima belas tahun. Membuatnya tumbuh tanpa sosok yang selama ini menjadi alasannya untuk hidup. Menyisakannya bersama seorang ayah yang juga seorang penjudi. Adara sudah merasakan pahitnya hidup sejak dulu. Bahkan sebelum Ibu pergi, Adara sudah menelan kuat-kuat kepahitan itu. Namun dulu, ada Ibu yang akan selalu memberinya semangat, menjadi alasannya untuk tetap tegar, untuk tetap menyunggingkan senyuman di tengah badai yang menerpa. Baru setelah Ibu pergi, Adara harus berdiri di kakinya sendiri untuk menanggung segala kebutuhan hidupnya. Ada sadari betul, memang apa yang bisa diandalkan dari seorang ayah penjudi? Adara bekerja serabutan, mencari uang ke sana-kemari, bekerja banting tulang agar ia tetap bisa melanjutkan sekolahnya. Karena dengan berpendidikan Adara akan menjadi manusia yang jauh lebih baik dibandingkan sang ayah. Setidaknya Adara akan tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan itu, Adara tidak akan berani mendekati hal-hal buruk yang jelas ditentang. Memasuki masa sekolah menengah atas, Adara menemukan kembali semangatnya. Ragha yang dulu merupakan kakak kelasnya adalah alasan Adara untuk terus tersenyum. Alasannya bersemangat menuntut ilmu dan belajar lebih giat. Bahkan saat Adara mulai lelah dengan hidupnya, hutang Ayah yang kian menumpuk namun tidak juga berhenti berjudi, bayang-bayang wajah Raghalah yang membuatnya kembali berbalik. Tidak lagi meneruskan niatnya untuk bunuh diri. Hidup Adara memang sudah menyedihkan sejak lama. Ia tidak mengharapkan banyak hal pada manusia. Karena Adara jelas tahu, berharap pada manusia hanyalah jalan untuk kembali terluka. Maka sejak saat itu, Adara memang hanya mengharapkan kasih sayang Tuhan untuknya. "Dara, kita udah sampai. Mau sampai kapan kamu bengong begitu?" tanya Ragha dengan suara yang lebih keras. Menepuk bahu Adara yang langsung membuatnya sadar. "Eh maaf, Mas. Aku melamun ya?" tanyanya bodoh. Ragha menghela napas panjang. Menyadari jika kejadian pagi inilah yang membuat Adara banyak berpikir. Sampai kehilangan fokusnya. "Ada yang mengganggu pikiran kamu?" tanya Ragha halus. Sebelah tangannya menepuk kepala Adara lembut. Memaksa istrinya untuk menghadapnya dan membagi apa yang mengganggu. Jika dulu Ragha akan membiarkan Adara terluka dan menanggung luka itu sendiri, kini tidak lagi. Ia bertanggung jawab atas diri Adara. Pun untuk persakitan yang Adara derita. Adara tersenyum seraya menggeleng. "Aku nggak apa-apa." Helaan napas kasar itu terdengar lagi. "Kamu bohong. Kelihatan jelas. Bilang Dara, ada apa? Jangan biarkan aku menerka-nerka sendiri." Meraih sebelah tangan Ragha yang berada di kepalanya. Beralih menggenggamnya erat. Adara terdiam untuk beberapa saat. Hanya untuk memperhatikan wajah tampan suaminya yang sedang menunggunya bicara. "Aku cuma khawatir sama hubungan kamu dan Mama." Ragha mengernyit heran. Tidak mengerti dengan apa yang Adara katakan. "Memang aku kelihatan lagi bermasalah sama Mama?" "Nggak, nggak gitu maksudku. Aku cuma takut aja Mas akan lepas kontrol kayak tadi dan membentak Mama. Walaupun mungkin Mama bersalah, nggak seharusnya kita sampai pakai nada tinggi begitu 'kan, Mas. Karena itu jelas nggak sopan. Benar kata Mama, beliau mengajari anaknya berbicara bukan untuk membentak. Akan menjadi luka yang sangat dalam kalau sampai Mas membentak Mama lagi." Ragha mengangguk paham. "Aku akan berusaha untuk lebih baik lagi," ucapnya mantap. Balas menggenggam tangan Adara. "Lain kali kalau Mama marah dan menyalahkan aku, Mas nggak perlu tersinggung. Mas harus percaya kalau aku bisa menghadapi semuanya, kalau aku nggak apa-apa dengan semua cercaan yang Mama ucapkan. Aku bisa lebih kuat dari yang Mas kira." Senyuman hangat Ragha tercetak jelas. Membawa tangan Adara ke depan bibirnya. Memberi ciuman sayang di sana. "Aku percaya untuk itu, Sayang. Tapi aku juga punya peran untuk membela kamu. Karena kamu jelas nggak bersalah." "Tapi nggak dengan membentak." "Iya, Dara. Kamu juga harus percaya kalau sejahat-jahatnya Mama, beliau tetap seorang ibu yang melahirkan dan merawatku sampai seperti ini. Aku juga sayang Mama. Jadi nggak ada alasan untuk aku jadi durhaka. Kamu nggak perlu khawatirkan apapun soal aku dan Mama. Yang terpenting di sini kamu dan perasaan kamu." Adara menghela napas panjang. Guna menghilangkan sesak yang hadir memenuhi dadanya. "Aku cuma mau berusaha jadi menantu yang baik, yang Mama harapkan untuk hadir. Aku udah kehilangan kasih sayang Ibu sejak usiaku lima belas tahun, Mas. Aku udah terbiasa hidup dalam kesendirian, kesepian. Cuma hidup sama Ayah yang bahkan nggak pernah memikirkan posisiku. Mas nggak pernah tahu gimana berharganya posisi Mama untuk aku. Jadi gimanapun sikap Mama, seburuk apapun kalimat yang beliau ucapkan, aku tetap merasa bersyukur. Karena setidaknya, setelah hari-hari melelahkan itu Tuhan kembali memberi aku sosok mama yang aku rindukan kasih sayangnya." Ragha bisa merasakan sayatan kecil nan dalam di hatinya. Ini bukan cerita baru. Jauh sebelum menikahi Adara, Ragha memang sudah mencari tahu asal usul Adara. Termasuk cerita yang satu ini. Di mana Adara sudah sejak remaja menghidupi dirinya sendiri, bekerja banting tulang untuk mengejar cita-citanya. Ragha hanya terus berpikir dalam, bagaimana bisa Adara terlihat begitu ceria semasa sekolah menengah atas dulu? Tidak nampak seperti seorang anak yang kurang kasih sayang. Adara tidak pernah menunjukkan perakitannya pada orang lain. Adara selalu menutupi luka itu rapat-rapat supaya tidak ada yang tahu betapa hidupnya sangat menyedihkan. Alasan itu pula yang membuat Ragha berbalik arah. Berani mengambil langkah besar yang jelas ditentang sang mama. Ragha tidak bisa membiarkan Adara yang sudah mencuri perhatiannya sejak remaja pergi begitu saja dari hidupnya. Juga tatapan penuh kasih yang Ragha dapat dari Adara tidak bisa ia abaikan. "Maaf kalau Mama belum bisa kasih kamu kasih sayang itu, Dara," ucap Ragha dalam. Menyelami tatapan Adara yang sudah berkaca-kaca. Adara menggeleng. Air mata yang sejak tadi ditahannya menetes juga. Adara kembali menangis di depan Ragha. Meluapkan rasa sakit yang terasa lebih menyiksa. "Bukan salah Mama, Mas. Aku yang salah. Aku yang hadirnya nggak pernah diharapkan. Apa yang Mama lakukan, sikapnya, kebenciannya, semua itu wajar, Mas. Karena memang aku yang salah." Tidak bisa membiarkan sang istri menangis, Ragha membawanya masuk ke pelukannya. Membiarkan Adara meluapkan rasa menyakitkan itu. Satu hal lainnya yang membuat Ragha tidak bisa mengabaikan Adara saat itu, sifat baiknya. Adara bukan hanya sosok yang ia cari karena cinta juga ketulusan yang ia punya. Tapi Adara juga memiliki banyak sifat baik yang Ragha butuhkan untuk pendamping hidupnya. Sosok yang tepat, yang akan menjadi gambaran sempurna untuk menyandang status sebagai ibu dari anak-anaknya. Hanya saja, Ragha mengakui langkah yang diambilnya salah. Jika dulu pikirannya tidak kalut, ia akan membawa Adara dengan terhormat ke hadapan sang mama. Bukan malah menyeret Adara paksa dalam keadaan menanggung kesalahan. "Bisa berhenti menyalahkan diri kamu sendiri? Kamu tahu, Dara, kalau sebenarnya bukan kamu yang bersalah." Adara menggeleng dalam pelukan Ragha. "Aku yang bersalah. Benar kata Mama, aku hanya anak dari penjudi yang beruntung karena dinikahi oleh Mas. Tapi sayangnya, kehadiranku hanyalah penghancur untuk hubungan Mas dan Mbak Sana. Kalau aja dulu aku nggak pernah caper sama Mas, mungkin Mas nggak akan pernah tahu aku." "Dara, tolong, aku nggak bisa untuk melihat kamu yang begini. Kamu harus tahu, kalau saat ini kamu nggak cuma menyakiti diri kamu sendiri, tapi aku juga. Dan perihal kehadiran kamu, jelas bukan kesalahan kamu. Sejak dulu kamu memang nggak pernah berniat hadir dan menyapa. Aku yang memang udah menaruh perhatian sama kamu lebih dulu, kamu tahu itu, Dara. Berhenti menyalahkan diri kamu sendiri, ya. Aku nggak bisa terus mendengarkan hal-hal buruk itu. Itu menyakiti hati aku juga, Dara." Tangisan Adara kian kencang. Berhasil menancapkan jarum runcing yang menyakiti kedua hati. Berkali-kali Ragha menyampaikan larangannya, berkali-kali pula Adara melanggar. Karena persakitan itu memang bersumber dari hati. Dan Adara masih belum mampu menepis hal-hal buruk yang sudah hadir dan melingkupinya dalam waktu yang lama. "Maaf, Mas," ucap Adara setelah tangisannya reda. Melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya kasar. Ragha mengambil alih. Mengusap pipi itu lembut, penuh perasaan. Seolah tidak rela jika Adara harus mengusapnya kasar. Ia memperlakukan Adara dengan lembut, menyampaikan siratan kasih sayang yang begitu besar. Ia tidak rela jika harus melihat Adara kembali terluka. "It,'s ok. Aku cuma minta janjikan satu hal, jangan pernah merasa rendah diri lagi. Keberadaan kamu di sini, punya alasan tersendiri, Dara. Bukan melulu hadir untuk menghancurkan hubunganku dan Sana. Karena sejak awal pun, aku nggak pernah mengharapkan Sana untuk hadir di hidupku. Kamu berada di sini, jadi istriku, karena aku yang memilih. Aku yang mengharapkan kamu untuk menjadi pendamping hidupku. Bukan karena kamu yang cari perhatian, sampai bersikap buruk dengan meminta pertanggungjawaban. Jelas sekali bukan." "Kenapa? Kenapa Mas memilih anak dari penjudi seperti aku, yang bahkan harus bekerja banting tulang untuk menghidupi diriku sendiri? Mas bisa mendapatkan seseorang yang jauh lebih segalanya dibandingkan aku. Dan yang jelas, jika bukan aku orangnya, Mama akan menerima dengan lapang. Nggak harus terperangkap dalam kebencian seperti apa yang terjadi sekarang." Ragha bergerak mendekat. Meraih bahu Adara untuk menghadapnya. "Kamu tahu alasannya, 'kan? Aku mencintai kamu, Dara. Dan untuk alasan atas perasaan ini aku udah bilang sebelumnya. Aku nggak perlu alasan apapun untuk mencintai kamu. Karena memang kamu seseorang yang Tuhan takdirkan untuk hadir di hidupku, mendampingi aku, menjadi bahagiaku." "Mungkin kamu benar, aku bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih segalanya dibandingkan kamu. Tapi saat hati aku udah memilih dan takdir Tuhan mengarahkan aku ke kamu, apa yang bisa aku lakukan? Karena udah jelas, cuma kamu yang aku harapkan untuk menjadi pendamping hidupku." Adara mengangguk paham. Kembali menenggelamkan wajahnya di pelukan Ragha. Menikmati debaran jantung yang terdengar jelas di telinga. Adara ingin meresapi lebih dalam lagi. Mengenal lebih jauh tentang satu rasa yang suaminya miliki untuknya. Sembari meyakinkan dirinya, jika dengan rasa yang Ragha miliki untuknya, ia akan lebih mampu menghadapi banyak hal tak terduga nantinya. "Jangan pernah merasa rendah diri lagi, ya?" "Aku nggak janji. Tapi aku akan berusaha." Hanya helaan napas yang terdengar. Ragha paham, jika Adara membutuhkan waktu lebih banyak lagi untuk menghilangkan rendah dirinya. Ia hanya berharap, di setiap cerita hidup yang Adara lalui, akan selalu ada Ragha di sisinya. Supaya Ragha bisa selalu menjadi penopang kala Adara mulai lelah berjalan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD