21. Sayatan Luka Hati

2099 Words
Pagi menjelang. Membangunkannya dari mimpi indah yang menghiasi malam. Adara menggeliat pelan dan langsung beranjak dari tidurnya. Memperhatikan wajah Ragha sejenak, setelahnya mengikat rambut panjangnya dan bergegas ke kamar mandi. Sekadar membasuh wajah dan gosok gigi. Agar penampilannya lebih segar sebelum turun ke lantai satu. Jika biasanya Adara bisa bangun seenaknya, karena memang Ragha tidak pernah mempermasalahkan waktu bangun tidurnya, kali ini tentu tidak. Ia berada di rumah Mama yang mana kondisi tidak memungkinkan untuknya bangun terlambat. Adara tidak mau menambah masalah yang akan membuat Mama semakin membencinya. Setelah siap dengan tampilan seadanya, Adara turun ke lantai satu dan menemui Bibi di dapur. Membantu menyiapkan sarapan semampunya. Karena memang Adara tidak mahir dalam memasak. Ragha menikahinya di usia yang masih muda, saat Adara baru saja memasuki semester akhir perkuliahan. Kesibukan magang dan mengerjakan tugas akhir, juga pameran untuk karya akhir membuatnya jarang berada di rumah. Belum lagi memang hubungan mereka tidak berjalan baik selama ini. Tidak ada tuntutan lebih dari Ragha. Lelaki itu mempersilahkan Adara untuk berlaku sesukanya. Tanpa sadar kebebasan yang Ragha beri membuatnya tidak peka untuk hal-hal sederhana yang erat kaitannya dengan rumah tangga. Adara tidak pernah membersihkan rumah, tidak pernah mencuci baju, karena jelas dua hal itu menjadi tanggung jawab Bibi. Adara hanya sesekali membantu Bibi memasak di dapur, pun untuk hal-hal yang sederhana seperti mencuci sayuran atau memotong bumbu. Wajar jika ia merasa canggung saat harus berada di dapur sendirian tanpa bantuan. "Pagi, Bibi," sapanya halus. Tersenyum lebar pada Bibi yang menyambutnya pagi ini. "Pagi, Non. Non mau buat sarapan?" Adara tersenyum singkat. "Mau bantuin Bibi. Aku nggak banyak tahu soal masak, Bi. Jadi bantuin aja sekalian belajar." Bibi tersenyum ramah mendapati Adara yang nampak malu. "Wajar, Non. Namanya juga belum lama nikah pasti belum pintar masaknya. Lagian Non Dara 'kan juga kerja. Pasti sibuk." "Udah dua tahun loh, Bi. Udah lumayan lama." Tiba-tiba saja Adara jadi merasa sangat malu. Sudah dua tahun berjalan, tapi ia masih belum bisa menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya menjadi tugasnya. Jika saja ia lebih sigap dalam menyelesaikan semuanya, Ragha tidak perlu lagi memperkerjakan asisten rumah tangga. Hah, kenapa Adara jadi merasa tidak berguna? "Non, pernikahan itu diharapkan akan terjadi sekali saja dalam seumur hidup. Usianya lama, kalau bisa terus sama-sama sampai tua nanti. Jadi dua tahun masih sangat muda untuk usia pernikahan." Bibi tersenyum sesaat. Memperhatikan wajah Adara yang selalu menarik ditatap mata. Wajar kalau anak dari majikannya jatuh ke dalam pesonanya sampai mengambil jalan tegas untuk berjuang. Menentang permintaan sang mama yang biasanya hanya akan dituruti. "Aku jadi merasa bodoh banget kalau udah bicara sama Bibi." Ada kekehan ringan yang terdengar. Adara nampak sopan dan menyenangkan. Bibi yang jarang memiliki teman bicara saja bisa merasa nyaman bertukar kata dengan Adara. Padahal keduanya nyaris tidak pernah bertemu. "Bibi cuma membagi apa yang Bibi tahu. Dan Bibi juga nggak mau kalau Non Dara selalu memandang rendah diri Non sendiri. Bibi jadi suka heran, Non Dara ini cantik, pintar, lulusan sekolah tinggi, sudah jadi istri tapi nggak melulu minta-minta sama suami. Non Dara sebenarnya bisa di rumah aja, kalau butuh apa-apa tinggal minta sama Mas Ragha. Tapi Non Dara memilih untuk bekerja dan cari uang sendiri. Apa yang kurang dari Non?" Adara terkekeh pelan. Kalimat Bibi membuatnya sedikit terhibur. Setidaknya di rumah besar Mama yang dingin ini, Adara memiliki teman bercerita. Ia tidak melulu akan merasa sedih lantaran mendengarkan kalimat buruk Mama atau mendapati tatapan kebenciannya. "Aku 'kan datang dan merusak hubungan Mas Ragha sama Mbak Sana, Bi. Nggak penting semua yang Bibi sebutkan tadi. Karena mau gimanapun, aku tetap datang dan merusak." Adara selalu mencoba bersabar setiap kali mengingat kesedihannya. Namun apalah daya, hatinya yang sudah terluka memang tidak semudah itu disembuhkan. Walaupun berkali-kali mengatakan jika ia baik-baik saja. Tetap saja, itu hanyalah kata-kata. Pada kenyataannya, Adara masih membutuhkan waktu lebih lama untuk membangun mentalnya agar tidak goncang lantaran kebencian. "Non Dara ini memang seperti yang Mas Ragha bilang. Suka rendah diri. Padahal ya, Non kalau Bibi yang jadi Non nggak sempat untuk rendah diri. Non punya banyak kelebihan. Nggak boleh atuh merasa rendah diri begitu. Non seharusnya banyak bersyukur." "Kelihatan jelas ya, Bi?" Bibi mengangguk. "Dari cara Non bicara saja sudah kelihatan. Kalau Bibi boleh kasih tahu ya, Non. Yang namanya jodoh itu rahasia yang punya hidup. Kita harus percaya saja sudah. Nggak boleh menyalahi ketetapan. Ibu memang dari dulu sudah jodoh-jodohin Mas Ragha sama Non Sana, tapi kalau jodohnya Mas Ragha ini Non Dara ya mau gimana lagi? Bibi nggak ngerti Non sama Ibu. Masih saja suka ribut begitu." "Nggak apa-apa, Bibi. Wajar kok kalau Mama marah. Soalnya aku udah menghancurkan ekspektasi Mama." "Wis mbuh. Non Daranya baik hati begini, masih saja diributin. Tobat, tobat." Adara tidak bisa lagi menahan suara tawanya. Respon Bibi membuatnya sedikit terhibur di pagi ini. Setidaknya ia memiliki sedikit kebahagiaan sebelum nantinya harus menahan perasaan sakitnya saat berhadapan dengan Mama. "Makasih ya, Bibi. Aku nggak tahu kalau Bibi bisa menerima aku begini." "Non Dara nggak boleh begitu. Ya jelas Bibi mau nerima. Wong dari awal saja Bibi sudah setuju sama pilihannya Mas Ragha." "Oh ya? Bibi udah tahu aku sejak awal emang?" "Mas Ragha dulu itu pendiam sekali, Non. Bibi nggak pernah lihat Mas Ragha senyum. Kalau bicara sama Ibu juga mukanya datar, kayak tembok itu, Non. Apalagi kalau Non Sana ke sini, wes muka Mas Ragha begitu terus nggak berubah. Bibi jadi suka mikir, kok Mas Ragha ganteng-ganteng begini nggak pernah mau senyum. Mbok yo kalau senyum lebih ganteng begitu. "Tapi setelah sama Non Dara banyak berubah masnya. Lebih ramah, lebih banyak senyum. Nggak sepaneng. Sumringah begitu, Non. Bibi juga sesekali diajak ngobrol. Padahal dulu nggak pernah begitu." Adara sebenarnya enggan mempercayai hal semacam itu. Ia sudah pernah dipatahkan berkali-kali dan membuatnya banyak belajar untuk tidak menaruh harapan terlalu tinggi. Tapi dalam hal ini, nampaknya Bibi tidak berbohong. Apa yang Bibi sampaikan memang kenyataan yang ada. Tidak dilebih-lebihkan, tidak ditambah-tambahi. Berkali-kali menepis kenyataan itu, namun Adara tidak bisa mengelak jika ada secerah rasa lega di dalam hati. Bukan karena ia bangga dengan apa yang Bibi sampaikan mengenai dirinya. Namun ia merasa bahwa kehadirannya ada gunanya. Bukan hanya sekadar beban yang memberatkan. Bukan juga si duri penyusup yang menyerang dari dalam daging. Menimbulkan luka yang jauh lebih menyiksa. "Non, Bibi cuma mau bilang. Non nggak usah dengerin omongan Ibu selama di sini. Non 'kan sudah paham bagaimana sifat Ibu. Jangan dimasukin hati." Adara tidak memiliki jawaban lain. Hanya anggukan setuju juga senyuman tipis yang manis. Tidak berniat mengelak atau melakukan hal lainnya. Adara tahu memang sulit. Namun ia akan berusaha semampunya untuk tidak memasukkan kalimat-kalimat buruk Mama ke dalam hatinya. Supaya luka yang sudah ia miliki tidak bertambah lebar dan kian menyiksa. *** Adara kembali turun ke lantai satu saat Mama dan Dhia sudah mengisi kursi meja makan. Tadi setelah semua makanan siap, Adara kembali ke kamar Ragha untuk bersiap-siap. Juga membantu Ragha memilih kemeja kerjanya. Baru setelahnya, Ragha dan Adara turun untuk ikut sarapan bersama Mama dan Dhia. Kediaman yang sebelumnya menyelimuti berubah canggung begitu Mama bertemu tatap dengan Adara. Masih sarat akan rasa benci yang menghunus dalam di hati Adara. Menimbulkan rasa sakit yang tidak main-main. "Pagi, Ma," sapa Adara untuk menghilangkan kecanggungan. Namun Mama benar-benar mengabaikan keberadaannya. Bukannya merespon sapaannya, Mama justru mengambil topik lain bersama Ragha. "Kerjaan gimana, Ga?" tanya beliau seraya menatap anak sulungnya dengan wajah serius. Ragha sempat menoleh pada Adara. Memastikan jika istrinya baik-baik saja. Sebelah tangan Ragha juga menepuk lembut kepala Adara. Seolah menyampaikan semangat yang membuat wajah murung itu berubah tersenyum. Baru setelahnya Ragha menoleh pada Mama dan keduanya membicarakan mengenai bisnis. "Mbak Dara makan yang banyak," ucap Dhia. Mengambilkan lauk lainnya ke piring Adara. "Makasih, Dhia. Nanti Mbak ambil sendiri kalau kurang. Kamu juga makan yang banyak." Mama yang sebelumnya mencoba mengabaikan keberadaan Adara di meja makan ini mulai terusik. Pembicaraannya dengan Ragha terhenti lantaran percakapan itu. Lagi-lagi tatapan kebencian itu menyorot tajam. "Di rumah mertua masih bisa bersikap santai begini. Seharunya kamu sadar, di mana kamu berada. Masih untung anak saya mau menikahi kamu. Kalau nggak, mau dicap apa kamu di masyarakat?" Adara memejamkan matanya. Menahan gejolak menyebalkan yang tiba-tiba hadir di dalam hati. Menimbulkan rasa nyeri yang lebih parah. Belum lagi, kepalanya langsung memproses kejadian lama. Tepat saat Mama meneriakinya dengan kalimat-kalimat jahat untuk menolak kehadirannya. Adara baru memahami, jika hatinya masih belum cukup kuat untuk menerima segala cercaan dari Mama. Karena kembali mendapatkan kalimat-kalimat buruk secara langsung begini, rasanya jauh lebih menyakitkan. "Seharusnya kamu bangun paling pagi di rumah ini. Bersihkan rumah, siapkan sarapan. Jangan malah seenaknya. Saya nggak habis pikir, ternyata kamu benar-benar perempuan yang nggak tahu diri. Anak dari tukang judi yang dinikahi oleh laki-laki kaya raya. Sudah merasa jadi cinderella, ha?" "Ma ...." Adara langsung meraih sebelah tangan Ragha yang sudah terkepal. Menggeleng pelan, tanda menolak. Ia tidak mau Ragha merespon kalimat Mama yang akan membuat hubungan ibu dan anak itu tidak berjalan baik. Jika Ragha membelanya secara langsung di hadapan Mama, Adara lagi-lagi akan menjadi pihak yang bersalah. Karena putra sulungnya bisa menentang kalimat sang mama untuk membela istrinya. Selain itu, Adara juga mengerti jika Mama punya perasaan yang sama. Hati yang akan rapuh jika terus menerima persakitan. Dalam hal ini, Mama hanya ingin menerima pembelaan dari sang putra. Yang mana posisi Mama jauh lebih berhak atas Ragha. Adara hanya enggan membuat hubungan keduanya merenggang gara-gara kehadirannya. "Maaf karena Adara bangun terlambat dan cuma bisa bantuin Bibi masak, Ma. Untuk selanjutnya Adara akan bangun lebih pagi dan melakukan apa yang Mama minta." Adara berujar tenang, sangat tenang. Sampai membuat tiga orang lainnya di meja makan tersentak dengan ketenangan itu. Mama mengernyit tidak suka. Merasa jika umpan yang ia lempar berhasil ditangkis kuat oleh Adara. "Kamu membantu Bibi memasak pagi ini? Yakin, kamu?" Adara mengangguk. "Dara turun pagi tadi, bantu Bibi menyiapkan sarapan. Setelahnya, Dara kembali ke kamar untuk membantu Mas Ragha siap-siap. Jadi kami terlambat sampai di meja makan dan membuat Mama menunggu. Maaf untuk itu." Mama berdecak samar. "Ragha, lihat kamu. Buka lebar-lebar mata kamu. Sudah ada Bibi aja dia masih bisa terlambat ikut sarapan, gimana kalau semua kerjaan rumah dia kerjakan sendiri? Apa nggak berantakan semuanya?" "Ma, Agha udah bilang sebelumnya. Kalau Dara punya pekerjaan sendiri. Agha juga nggak akan membiarkan istri Agha capek karena mengurus kerjaan rumah dan pekerjaannya. Maka dari itu Agha memperkerjakan asisten rumah tangga. Nggak ada yang salah dengan itu, Ma. Lagi pula dengan adanya Bibi, Dara jadi bisa lebih fokus ngurus Agha." Tatapan sengit itu kembali Mama layangkan pada Adara. Lagi-lagi Ragha membela di depan Mama. "Mengurusi kamu? Mama nggak salah dengar? Perempuan yang bahkan nggak bisa memasang dasi ini, kamu bilang mengurusi kamu?" Ragha menghela napas. Ya, Adara memang belum begitu hapal langkah memasangkan dasinya. Hal itu terjadi karena keduanya sudah menjaga jarak untuk waktu yang tidak sebentar. Adara bahkan sudah bersiap pergi jika memang ia diminta pergi. Membuatnya sedikit kaku untuk kembali pada rutinitas sebelum masalah menyeruak dan menimbulkan luka. Tapi mau menyangkal kalimat Mama rasa-rasanya tidak lagi berguna. Mama tidak akan suka rela menerima kalimatnya yang jelas berisi tentang keburukan Mama di masa lalu. Mama pasti akan menyangkal kuat dan kembali menyalahkan Adara. "Heh, kamu. Tahu diri. Anak saya sudah membiayai hidup kamu, memberi banyak fasilitas, sampai mengorbankan banyak hal untuk kamu. Kamu seharusnya lebih bisa mengurusi anak saya. Bukan malah bersikap seenaknya. Mengurus suami aja nggak bisa. Nggak usah sok jadi anak miskin yang dinikahi laki-laki kaya. Dengan dinikahi Ragha bukan berarti martabat kamu berubah. Kamu tetap anak dari laki-laki penjudi yang menggoda anak saya. Nggak pernah lebih dari itu." Ragha tidak lagi bisa menahan amarahnya. Ia langsung beranjak dari duduknya dan meraih sebelah tangan Adara. "Ma, tolong berhenti mengungkit yang sudah-sudah. Di sini Agha yang menikahi Dara. Mama nggak perlu mempermasalahkan kejadian di masa lalu, karena Agha juga nggak mempermasalahkan hal itu." "Lihat, kamu bahkan sudah bisa membentak Mama sekarang. Agha, Mama mengajari kamu berbicara semasa kecil bukan untuk membentak Mama. Hati-hati kamu ya! Perempuan ini memang cuma bisa membawa pengaruh buruk untuk kamu." Ragha tidak merespon lebih. Ia takut, kembali kehilangan kontrol dan melayangkan kalimat yang lebih tajam. "Maaf kalau Agha membentak Mama, tapi Agha nggak akan bersikap begini kalau Mama nggak terus memancing. Kami duluan," ucapnya tegas. Setelahnya Ragha beranjak dari sana sembari menarik Adara paksa. "Mas, nggak enak pergi di tengah sarapan begini. Itu nggak sopan." Ragha menatap Adara tajam. "Lebih nggak sopan mana, kita yang menghindar untuk mencegah perdebatan sama terus memancing amarah dengan menilai kamu ini, itu?" Adara sukses terdiam. Hanya mengikuti langkah Ragha yang membawanya kian jauh dari ruang makan di rumah Mama. Menyisakan Mama dengan helaan napas kasar dan Dhia yang tidak banyak berkomentar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD