18. Bersama Menggenggam Sakit

1312 Words
Adara masih termenung di dapur rumahnya. Padahal jam dinding sudah menunjuk angka sepuluh. Yang seharusnya menjadi jam tidurnya. Namun lagi-lagi, Adara kesulitan memejamkan matanya. Kali ini alasannya bukan karena menunggu Ragha. Suaminya itu sudah mengabari untuk keberadaannya di rumah Mama. Ragha tidak janji akan pulang malam ini. Dan Adara merasa bukan masalah besar. Mengingat Mama baru saja pulang dari rumah sakit. Dhia pun turut pulang ke rumah Mama siang tadi. Hanya mengabarinya melalui pesan singkat. Sama seperti Ragha, Dhia yang mendapatkan kabar jika sang mama sakit, langsung panik dan menyusul ke rumah sakit. Lagi-lagi menyisakan Adara dalam kesendiriannya yang sunyi. Hanya ditemani jarum jam yang terus memutar untuk pekerjaannya, juga secangkir kopi yang asapnya masih mengepul. Siang tadi, Adara tidak bisa menyusul ke rumah sakit. Pekerjaannya sedang menumpuk dan Ragha melarangnya datang. Karena kondisi Mama memang tidak separah itu. Hanya membutuhkan istirahat beberapa saat. Pun setelah pulang bekerja, Ragha kembali melarangnya datang. Apalagi Adara memang pulang terlambat lantaran lembur. Daripada kelelahan dan berujung Adara sakit, Ragha lebih memilih untuk membiarkan istrinya pulang dan beristirahat. Baru esok harinya Ragha akan menjemput Adara untuk datang ke rumah Mama. Pikiran Adara yang terus berkelana membuatnya enggan memejamkan mata. Adara merasa ada satu hal yang mengganggunya. Membuatnya tetap terjaga dengan kepala yang terus memproduksi banyak kata. Adara tahu betul, Mama sudah membenci keberadaannya sejak awal mula. Karena memang kehadirannya tidaklah lebih dari seorang perusak. Yang meluluhlantakkan rencana Mama. Wajar jika sampai detik ini Mama membencinya. Adara hanya terus mencari-cari alasan atas permintaan Mama untuk kehadirannya di rumah keluarga. Dengan satu fakta yang bukanlah lagi sebuah rahasia, Mama membencinya. Juga kondisi kesehatan Mama yang sedang menurun. Untuk apa Mama justru memintanya hadir selama kondisinya belum membaik? Bukankah kehadiran Adara hanya akan membuat kondisi Mama semakin memburuk? Karena kebenciannya akan terus berkoar begitu Adara hadir di sana. Tapi berkali-kali Adara memutar otak, berusaha mencari alasan yang paling masuk akal, semakin sulit pula untuknya menemukan alasan yang tepat. Apa yang terpikirkan di kepalanya selalu ditentang oleh hatinya. Mama tidak mungkin berubah menerimanya dalam waktu yang begitu singkat, 'kan? Mengingat seberapa besar Mama membencinya. Adara mengusap wajahnya kasar. Menghela napas dan menyandarkan punggungnya pada kepala kursi. Mencoba melepaskan semua pemikiran menyebalkan yang lagi-lagi mengganggu malamnya. Membuat ketenangan yang baru-baru ini hadir dan menimbulkan rasa bahagia seolah terhempas kasar. Kegusaran itu tidak rela untuk pergi lebih cepat. Ia masih menginginkan untuk hadir dan mengganggu malam Adara. Usapan di kepala membuatnya tersentak. Dihadapkan pada Ragha yang baru saja hadir sembari memasang wajah lelah. Namun tidak menyurutkan senyuman yang membuat Adara turut tersenyum. "Mas katanya nggak pulang?" tanya Adara. Menarik Ragha agar menduduki salah satu kursi dan mengambilkan segelas air. Adara paham, suaminya bukan hanya lelah fisik, tapi juga lelah pikiran karena beban yang ditanggungnya pasti lebih berat. "Aku nggak mungkin membiarkan kamu kebingungan sendirian, Dara." Adara menggeleng. Mencoba terlihat baik-baik saja. Padahal tanpa melakukan banyak usaha, keberadaannya yang masih termenung di waktu semalam itu sudah mampu Ragha tangkap alasannya. Adara tengah berpikir dalam sampai membuatnya sulit tidur. "Aku baik-baik aja. Lagian ada Bibi dan Pak Rozi di rumah. Seharunya Mas temani Mama aja." "Nggak apa-apa, Dara. Mama udah baik-baik aja sekarang. Ada Papa dan Dhia juga di rumah. Mereka yang akan menjaga Mama sebelum kita ke sana. Kamu udah tahu, 'kan?" Mengangguk singkat. Adara sempat menyematkan senyuman sebelum memberi jawaban. "Mbak Sana datang dan kasih tahu kondisi Mama siang tadi. Juga permintaan Mama yang menginginkan aku untuk tinggal di rumah keluarga, selama Mama masih belum pulih." Ragha mendesah panjang. Nampak keberatan dengan apa yang Adara sampaikan. Walaupun pada akhirnya, jika memang Adara belum tahu, Ragha yang akan menyampaikan hal itu secara langsung. "Maaf untuk itu, Dara," ucapnya penuh penyesalan. Gambaran tidak menyenangkan yang membuat Adara terganggu. Ia tidak menyukai wajah Ragha yang seperti ini. Mengingat apa yang terjadi bukanlah disebabkan oleh Ragha. Adara yang bersalah untuk semua yang terjadi. "Mas nggak perlu minta maaf. Karena Mas memang nggak salah apapun. Aku paham kok. Dan mungkin memang aku harus menghadapi semuanya sampai Mama mau menerima kehadiranku." Adara masih bisa menangkap nada tidak suka dari Ragha. Permintaan Mama benarlah di luar dugaan. Seolah tidak puas dengan hubungan Ragha dan Adara yang tidak baik-baik saja dua tahunan ini. Kini, saat keduanya sudah dalam tahap saling percaya, Mama kembali hadir dengan kejutan yang lebih mencengangkan. Yang tentu saja akan mengobrak-abrik kesabaran Adara. "Aku minta maaf bukan karena kesalahanku, Dara. Tapi karena aku yang kurang tegas sampai nggak bisa berbuat apa-apa. Sekadar menolak permintaan Mama yang secara jelas aku tahu, kamu nggak akan baik-baik aja selama di sana." Adara menyunggingkan senyuman. Mencoba memberi ketenangan atas kegusaran yang mengganggu. Ia juga kasihan pada suaminya. Sudah mengurusi pekerjaan, memikirkan kondisi kesehatan Mama, dan harus memikirkan kondisi hati Adara yang jelas akan terluka. Tapi nampaknya, hal semacam itu tidak akan lagi membuat Adara jatuh. Ia sudah merasakan beragam hal menyesakkan sebelumnya, membuatnya bisa menumbuhkan rasa percaya jika hatinya memang akan kembali terluka. Namun ia akan baik-baik saja. "It's ok, Mas. Aku nggak apa-apa. Aku tahu akan seperti apa hari-hariku selama tinggal di rumah Mama. Mungkin aku nggak akan sekadar mendapat tatapan tajam yang sarat akan kebencian. Aku akan mendengarkan beragam cacian juga luapan rasa benci dari Mama. Tapi Mas nggak perlu mengkhawatirkan apapun. Aku akan tetap baik-baik aja." Adara tersenyum sesaat. Menggenggam tangan Ragha yang berada di atas meja. Menyalurkan rasa hangat yang menggelitik dan menimbulkan sedikit rasa tenang. "Daripada memikirkan kondisi hatiku yang jelas akan terluka, aku lebih menganggap hal ini sebagian sesuatu yang memang harus aku terima. Aku paham betul, kehadiranku nggak lebih dari seorang perusak. Mau Mas membela sekeras apapun, atau mengatakan alasan kalau Mas nggak pernah mencintai Mbak Sana, tetap aja, aku hanya perusak hubungan kalian. Wajar kalau Mama membenci aku dan mau meluapkan kemarahannya. Aku menganggap keberadaanku di rumah keluarga nanti sebagai sebuah bayaran atas kehadiranku yang salah. Aku hanya perlu bersabar lebih dari sebelumnya. Aku juga mau menunjukkan sama Mama kalau menantu yang sebelumnya Mama benci juga layak untuk Mama cintai." "Aku mau Mama bersyukur untuk kehadiranku nanti," lanjutnya sembari memasang senyuman lembut yang manis. Senyuman yang sama seperti yang selalu menyambut Ragha di usia remaja, dulu. Dalam hal ini, Ragha tidak hentinya menggumamkan rasa kagumnya pada Adara. Bersyukur begitu banyak karena Adara yang menjadi istrinya. Bisa bersikap dewasa sembari memetik pelajaran dari apa yang terjadi di hari lalu. Daripada sibuk menyalahkan Mama atas kebenciannya, Adara justru selalu menempatkan dirinya dalam sebuah kesalahan. Sebagai satu bukti, jika hati itu murni. Dan Ragha patut bangga atas keberadaan Adara di sisinya. Namun di sisi lainnya, Ragha juga merasa bersalah. Karena ia harus menyeret Adara dalam hidupnya yang seperti ini. Jika saja ia tidak mencintai Adara dan bersikap egois untuk memiliki Adara, mungkin hidup Adara tidak akan berjalan seperti ini. Harus menanggung kebencian dari sang mama atas kehadirannya yang tidak diminta. Atau jika saja Ragha lebih mampu mengolah rasa cintanya, ia tidak akan bertindak lebih jauh untuk mengikat Adara di sisinya. Bukankah cinta adalah tentang merelakan? Lebih baik membiarkan Adara bersama yang lain asal Ragha bisa melihat senyuman itu mengembang setiap saat. Daripada mengikatnya di sisi, namun hanya ada lelehan air mata yang nampak. Tapi sekali lagi, Ragha tidak bisa menghilangkan sisi egoisnya. Ia tidak bisa melihat Adara dengan yang lain. Ia tidak bisa percaya ada laki-laki lain yang bisa membuat Adara bahagia. Karena bagi Ragha, Adara akan bahagia saat bersamanya. "Makasih udah sedewasa ini, Sayang. Dan maaf karena lagi-lagi kamu harus terluka." Adara menggeleng. Memberi usapan lembut di sebelah pipi Ragha. Satu afeksi menenangkan yang memang Ragha butuhkan saat kondisinya seperti ini. "Aku mungkin akan terluka. Jauh lebih parah dari luka yang udah aku dapat sebelumnya. Tapi sekarang, aku punya Mas yang akan menyembuhkan lukaku. Jadi Mas nggak perlu memikirkan hal lainnya. Cukup berdiri di sampingku, menyertaiku, dan mendukung apa yang aku putuskan. Beri aku kepercayaan kalau aku mampu menghadapi semuanya." Ragha tersenyum lembut. Menepuk kepala Adara beberapa kali. "Iya, Sayang. Kita mampu menghadapi semuanya." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD