19. Bayaran Atas Luka Hati

1205 Words
Pagi menjelang lebih cepat dari biasanya. Memaksa Adara untuk membuka mata lebih awal, guna menyiapkan segala keperluan yang harus ia bawa ke rumah Mama. Ada helaan napas panjang nan berat mengiringi, menandakan jika jauh di dalam hati, Adara belum benar-benar siap untuk menghadapi semuanya. Mungkin semalam ia bisa memasang senyuman manis sembari menyampaikan kalimat menenangkan. Agar Ragha tidak terlalu terbebani dengan apa yang Adara rasa. Namun begitu waktu terus berputar dan mengantarkan pada hari berikutnya, Adara harus benar-benar sadar jika memang ini waktunya. Ia tidak bisa menunda lagi. Ia tidak bisa menyampaikan banyak alasan lagi. Walaupun jika harus membuka mulut dan menyampaikan kejujurannya, Ragha tidak akan memaksa. Namun Adara enggan mengulur waktu lebih lama lagi. Dengan paksaan yang diteriaki hatinya, Adara mencoba menyunggingkan senyum selama menyiapkan semuanya pagi ini. Menutupi beban berat yang Ragha tanggung agar tidak semakin berat. Adara hanya tidak mau turut menambah beban itu. Ia mencintai Ragha, maka ia akan bertahan semampunya. "Mbak Dara," sapaan halus dari Dhia yang baru saja membukakan pintu. Langsung berhambur ke pelukan Adara. Membuat Adara refleks menepuk kepala adik iparnya. Memberi ketenangan atas rasa tidak menyenangkan yang kini melingkupi hati Dhia. "Udah nggak apa-apa. Mama juga udah baik-baik aja, 'kan?" tanya Adara lembut. Melihat Dhia yang biasanya ribut, selalu memasang wajah tanpa beban, tiba-tiba berubah menjadi Dhia yang merengek dengan nada kesedihan seperti ini tentu membuat Adara merasa tidak tenang. Ia lebih menyukai Dhia yang banyak bicara. Walaupun terkadang Adara mendapat bagian atas ledekan Dhia. Itu jauh lebih baik daripada Dhia yang nampak muram seperti ini. Dhia mengangguk. Masih enggan melepaskan pelukan Adara. "Aku takut banget waktu dapat kabar kalau Mama sakit lagi. Aku sempat kepikiran, kalau Mama marah sama aku gara-gara beli album baru," rengeknya lagi. Ragha dan Papa yang sejak tadi hanya memperhatikan tersenyum geli. Dalam situasi apapun, Dhia yang nyeleneh memang akan terus nyeleneh. Bagaimana mungkin Dhia berpikir kalau serangan jantung Mama diakibatkan karena hal semacam itu? "Bisa jadi, Dhi. Makanya latihan mulai sekarang untuk mengeluarkan uang yang kamu punya untuk hal yang lebih bermanfaat. Jangan beli-beli album lagi," ucap Ragha meledek. Dhia langsung melepaskan pelukan dan melotot tajam pada sang kakak. Juga memukuli lengannya dengan kesal. Menimbulkan suara tawa geli dari Ragha. "Udah dong, jangan berantem. Mama lagi kurang sehat loh," nasihat Adara. Mencoba melepaskan kakak beradik yang suka tidak ingat umur kalau sudah bertengkar. "Tahu tuh, Mas Agha nyebelin. Mbak Dara marahin Mas Aghanya," adu Dhia manja. Ragha sibuk mencibir. Tidak mengerti, mengapa adiknya bisa berubah seperti ini kalau sudah bersama Adara. "Kamu tuh yang ngeyel dibilangin," ledek Ragha. Adara langsung melotot tajam karena Dhia kembali merengek. "Mas udah dong," ucapnya sebal. Ragha tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti. Membuat Dhia tersenyum puas dan memeletkan lidahnya untuk meledek. Karena lagi-lagi ia menang dengan perdebatannya bersama Ragha. Adara terus berada di pihaknya. "Sudah, sudah. Yuk masuk," ucap Papa untuk sesi akhir. Sampai akhirnya mereka berempat memasuki rumah besar Mama yang beberapa tahun terakhir hanya diisi oleh Mama dan asisten rumah tangga. Hanya sesekali Ragha dan Papa hadir untuk makan malam bersama. Sedangkan Dhia memang jarang pulang. Nampak sangat besar dan sepi. Adara mengedarkan pandangannya begitu memasuki ruang tengah, tepat di sisi tangga menuju lantai dua. Masih terekam jelas, satu ingatan buruk di masa lalu. Kala hujan di malam hari disertai sambaran petir yang memekakkan telinga. Ragha membawanya datang ke rumah ini untuk menemui orang tua Ragha untuk sebuah pengakuan. Ketakutan yang Adara rasakan kala itu masih bisa ia rasakan sekarang. Walaupun samar, tidak sejelas dulu. Suasana menyedihkan yang menyayat hati kini kembali membuat hatinya ngilu. Menangkap sisa-sisa perasaan yang mungkin masih tertinggal di rumah besar Mama. Sebuah saksi bisu jika Mama pernah menolaknya dengan tegas malam itu. Dan penolakan itu masih terus berlanjut sampai detik ini. Seakan tidak mengizinkan Adara mengingat yang sudah-sudah, Ragha langsung menariknya untuk menaiki tangga ke lantai dua. Menaruh koper berisikan bajunya dan baju Adara. Baru setelahnya, Ragha membawanya memasuki kamar utama di rumah itu, kamar Mama. Menampilkan Mama yang masih berbaring di atas ranjang sembari menatap kaca jendela di samping ruangan. Memperlihatkan pemandangan pagi hari yang mendung, dingin, dan senyap. Persis seperti kondisi hati Mama. Ragha melangkah lebih dekat. Mengambil duduk di sisi ranjang Mama. Menimbulkan satu pergerakan yang membuat sang mama beralih tatap. "Ma," panggil Ragha halus. Meraih sebelah tangan Mama dan menggenggamnya erat. "Adara ada di sini," lanjutnya seraya melirik Adara yang masih berdiri diam di depan pintu. Merasa namanya disebut, Adara melangkah lebih dekat. Memunculkan dirinya di hadapan Mama yang kini hanya menatapnya dalam diam. Untuk sesaat, Adara hanya bisa mencerna sikap Mama pagi ini. Mata itu saling tatap dalam kediaman. Menimbulkan gejolak ketakutan yang terasa lebih jelas di dalam hatinya. Namun sekali lagi, Adara mencoba memaksakan. Menyunggingkan senyuman sebagai sebuah sapaan. Berharap Mama akan menerima kehadirannya kali ini. Namun sayangnya, Mama justru menoleh ke arah Ragha. Mengabaikan keberadaan Adara yang nampak jelas di sana. Juga kehadirannya yang atas permintaan Mama. "Sana di mana?" Pertanyaan yang lolos, sukses membuat Adara mengepalkan tangannya untuk menahan nyeri. Luka itu belum mengering lantaran sudah terlalu lama dibiarkan menganga. Dan Mama seolah sengaja menaburkan garam di atasnya. Menimbulkan rasa pedih yang lebih menyiksa. Yang Adara sadari akan terus ia rasakan selama keberadaannya di rumah Mama. Ragha menoleh sejenak. Memastikan jika Adara masih mampu berada di dekat Mama. "Sana pulang ke rumah keluarganya. Dia punya pekerjaan yang harus diurus. Nggak seharusnya Sana terus ada di sini, Ma." Ragha berusaha sehalus mungkin. Agar tidak menyakiti salah satunya. Ragha paham, Mama masih membutuhkan istirahat sembari menenangkan pikiran. Ia tidak mungkin membuat Mama banyak berpikir karena jawabannya yang mungkin tidak sesuai harapan. Tapi di sisi lainnya, Ragha juga harus menghormati keberadaan Adara di sini. Ia tidak mau Adara kembali merasakan sakit yang sama, atau bahkan jauh lebih parah. "Bukannya biasanya dia juga di sini? Menjadi satu-satunya yang peduli dengan Mama." Adara memejamkan matanya. Menahan diri agar tidak tenggelam terlalu dalam. Adara tahu, Mama sedang berusaha menariknya keluar. Sengaja menimbulkan luka lain di hati Adara yang sudah rapuh. Untuk itu Adara harus bertahan. Ini baru beberapa menit setelah ia menginjakkan kaki di rumah Mama. Akan menjadi hal bodoh jika Adara memilih untuk menyerah. "Tapi sekarang udah ada Dara, Ma. Mama sendiri yang meminta Adara untuk tinggal bersama Ragha." Mama mengangguk. Mengalihkan tatapannya ke arah Adara yang masih diam. Ada tatapan kebencian yang tertangkap jelas. Membuat Adara nampak begitu kecil dan tidak berguna. "Ya, supaya dia bisa belajar untuk membayar apa yang tidak seharusnya dia miliki." Adara berani menjamin, jika ia tidak pernah mengharapkan cintanya di masa remaja akan berbalas. Ia tidak pernah sekalipun berpikir untuk memiliki Ragha dengan segenap rasa yang ia punya. Karena bagi Adara, melihat Ragha tersenyum dari kejauhan saja sudah cukup untuk membuatnya turut bahagia. Tapi sayangnya, takdir berjalan tanpa ia minta. Menariknya paksa untuk masuk dalam kehidupan Ragha yang seperti ini. Mendapat banyak fakta baru, bahwa Ragha yang nampak di luar sana tidaklah sama dengan Ragha saat di rumah. Ragha sudah memikul beban berat sejak lama. Ingin melampiaskan perasaan menyesakkan itu, namun tidak pernah tahu, ke mana perginya. Sampai akhirnya Adara yang dipilih sebagai tempatnya berlabuh. Dan saat kondisinya sudah seperti ini, Adara tidak bisa bersikap egois untuk tetap mengabaikan Ragha. Karena setelah Ragha menariknya masuk, maka Adara harus senantiasa mendampinginya. Pun saat Mama hanya bisa menatapnya penuh kebencian. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD