16. Satu Harapan Adara

1775 Words
Senyuman itu merekah untuk setiap detiknya. Warna kelabu yang dulunya selalu hadir dan menjadi warnanya, kini perlahan memudar dan berubah menjadi putih bersih. Menandakan jika hal baik itu sudah dimulai semenjak keduanya sama-sama mengakui perasaan yang tersemat dalam hati. Bukan berlebihan, namun Ragha benar-benar merasakan harinya jauh lebih menyenangkan semenjak semuanya lepas dari pundak. Adara kembali hadir dan menyapanya dengan senyuman lebar. Juga luapan rasa cinta yang senantiasa menjadi warna-warni menyenangkan dalam tatapan mata. Tidak ada perasaan lain yang jauh lebih membahagiakan selain ini. Sejauh kakinya melangkah, sampai batas ini, Adara menjadi satu-satunya yang berhasil membuat lengkungan bibirnya lebih sempurna. Perasaan yang dulu terhempas kini kembali dilambungkan. Kebahagiaan yang dulunya hanya sebuah angan, kini sudah menyapa dalam nyata. Ragha tidak pernah menjanjikan jika hidup akan baik-baik saja setelah ini. Namun, seperti apa yang Adara bilang, bahwa segala macam hal buruk yang menghadang akan keduanya hadapi bersama. Ragha sudah meyakini sejak awal mula, jika memang Adara adalah bahagianya. Dan ia tidak akan membiarkan Adara berjalan tanpa kehadirannya. Pesan penyemangat dari Adara menjadi sesi akhir dari percakapan mereka siang ini. Satu hal baru lainnya yang tidak kalah menimbulkan rasa bahagia. Mengingat keduanya tidak pernah saling berbalas pesan semacam ini, sebelumnya. Yang ada hanya Ragha yang sesekali menghubungi dan Adara yang selalu mengabaikan. Menimbulkan bentangan jarak yang nyaris tidak bisa dipangkas. “Ragha.” Ragha menoleh. Mendapati Mama yang baru saja memasuki ruangannya sembari membawa beberapa lembaran berkas. “Ya, Ma.” Mama termenung untuk beberapa saat. Ada satu hal mengganjal yang tertangkap indranya. Menimbulkan satu kecurigaan yang terasa lebih jelas. Jika sebelumnya Mama masih berusaha abai, kini tidak lagi. Pancarannya sangat jelas dan nyata. Mama meyakini satu hal terkuat yang juga terus menerima pertentangan dalam hati. Tidak. Mama tidak bisa membiarkan semuanya berjalan semudah itu. Jika Adara benarlah alasan senyuman mengembang Ragha hari ini. Mama sudah mengusahakan semuanya sejak awal. Tetap teguh dalam pertentangannya untuk kehadiran Adara di hidup sang putra. Akan menjadi kekalahannya telak, jika hubungan yang sudah berantakan itu kembali terjalin baik. “Ada beberapa berkas yang perlu kamu tanda tangani.” Mama meletakkan berkas itu di meja Ragha. Mengambil duduk di hadapan meja Ragha dan memperhatikan putranya dalam diam. Menelisik raut bahagia yang benar nyata. Wajah suram Ragha sudah benar-benar menghilang. Mama bisa melihat jelas tanda-tanda Ragha yang jatuh cinta. Satu hal yang tidak pernah Ragha tunjukkan saat bersama Sana. Perhatian Mama beralih begitu ponsel Ragha bergetar. Ragha sempat menoleh dan tersenyum tipis tanpa menghentikan pergerakan tangannya untuk membubuhi tanda tangan. Satu hal lainnya yang membuat Mama dilingkupi rasa kesal. Begitu Ragha selesai dengan tugasnya, Mama langsung undur diri tanpa pamit. Melangkah tergesa ke ruangannya dan membanting pintunya kasar. Berkas itu dilempar asal. Mama memilih memijat pelipisnya yang pening lantaran fakta yang baru diketahuinya. Sana yang sebelumnya menjadi penghuni ruangan hanya bisa menatap Mama dengan kebingungan. “Ma, ada apa?” Mama menggeleng gusar. Melepaskan kacamatanya dan berkali-kali menghela napas. “Cari tahu, apa yang terjadi sama Ragha dan perempuan itu,” perintahnya mutlak. Mama yang biasanya memasang wajah ramah pada Sana, kini tidak bisa menyembunyikan pelototan tajamnya. “Adara maksud Mama?” tanya Sana memastikan. “Berhenti! Nggak usah sebut-sebut nama perempuan itu. Cepat, Sana! Kamu harus cari tahu secepatnya. Kita nggak boleh terlambat atau semua rencana yang sudah Mama susun akan hancur berantakan.” Sana beranjak dari duduknya. Menghampiri Mama yang masih nampak gusar. “Ma, tenang dulu. Sana nggak mungkin asal cari tahu tanpa penjelasan atas kegusaran Mama.” “Mama nggak bisa tenang dalam keadaan seperti ini, Sana! Perempuan itu benar-benar!” Sana tidak banyak berkata. Hanya diam sembari membantu Mama meminum air putih yang sudah tersedia di mejanya. Sana tahu ada yang tidak beres dengan Ragha hari ini. Tapi Sana enggan menelisik lebih jauh apa penyebabnya. Karena jauh di dalam hati, sebenarnya Sana sudah tahu alasannya. Dan ia menepis hal itu untuk menjaga hatinya agar tidak terluka. Sana sudah mengikuti ambisi Mama sejak awal mula. Tidak pernah mengira jika hatinya akan turut serta dalam permainan. Ia juga berpikir kalau Ragha memiliki rasa yang sama sepertinya. Mengingat sejak dulu hanya ia satu-satunya yang berada di sisi Ragha. Mengetahui semua tentang Ragha. Namun, harapan yang melambung itu dihempaskan kuat dengan kehadiran Adara. Menyadarkan Sana dari angan semu yang tidak akan berubah menjadi kenyataan. Karena sejauh apapun Sana berusaha, memenangkan egonya sampai menyakiti hati Adara begitu dalam, Ragha akan tetap menjadikan Adara sebagai tempatnya pulang. Menepis keberadaan Sana yang sudah menyertainya sejak awal. Sana enggan menjadi egois. Ia juga perempuan, sama seperti Adara. Ia juga turut merasakan sakit jika saja suaminya masih berhubungan baik dengan perempuan lain. Atau bahkan jauh lebih parah, dengan keberadaan sang mama yang selalu memojokkan posisinya berdiri. Sering kali berpikir, Adara adalah perempuan kuat yang hebat. Di tengah semua hal memuakkan ini, Adara masih bisa berdiri tegak dalam posisinya. Tidak sekalipun menorehkan luka lain untuk membalas dendam. Jika saja Sana tidak mencintai Ragha, mungkin sejak awal ia akan menyerah. Memangkas ambisi Mama yang melambung tinggi. Menggantikannya dengan kerelaan untuk kebahagiaan Ragha dan Adara. Namun sayangnya, kondisi hatinya juga memerlukan pembalasan. Ia sudah jatuh cinta terlalu lama. Ia sudah berharap terlalu banyak. Dan ia sudah berjuang sangat keras. Maka Ragha harus bertanggung jawab untuk semuanya. *** “Yang baru cuti bahagia banget nih,” ujar Yuna dengan suara kerasnya. Kursi kerjanya sudah bergeser mepet diikuti Nara. Membuat posisi Adara berada di tengah-tengah dua rekannya. Adara bergerak cepat mematikan ponselnya dan tersenyum canggung. Menghindari mata jeli Nara yang akan membaca pesannya dengan Ragha tanpa izin. Sudah paham di luar kepala, bagaimana tidak sopannya dua orang ini. “Ck, Mbak Dara. Belum juga aku baca sampai selesai,” protesnya kesal. “Apaan sih lo, Nara? Nggak sopan banget baca-baca pesan orang,” sahut Yuna seraya mencibir. Satu ekspresi paling menyebalkan yang sering kali Yuna tunjukkan saat sedang memarahi rekannya yang membuat kesalahan. “Padahal Mbak Yuna juga kepo, ‘kan? Makanya cari pacar Mbak biar bisa uwu-uwu kayak Mbak Dara.” Adara tidak bisa menahan tawanya saat Yuna sudah mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar. Reygan yang sedang menyelesaikan pekerjaannya pun turut terkekeh pelan. Yang tentu saja langsung mendapat respon buruk berupa lemparan bolpoin oleh Yuna. “Gue tuh belum dapat yang pas.” Yuna beralasan. Selalu begitu. Saat sudah ada yang mulai menyindir mengenai pacar, suami, pendamping hidup, atau apalah istilah lainnya, Yuna akan selalu menyampaikan alasan yang sama. “Mau sampai kapan? Umur Mbak Yuna udah makin tua, nanti malah nggak ada yang mau sama Mbak. Lagian ya Mbak, nggak baik menunda pernikahan. Dari segi umur Mbak Yuna udah dewasa, Mbak juga sukses sama karir. Nunggu apa lagi sih? Mbak nggak takut keburu menopause?” “Sialan, Nara!” Adara dan Reygan tidak bisa lagi menahan tawanya. Kalimat Nara yang teramat polos terdengar sangat menggelitik di telinga. Belum lagi respon Yuna yang selalu sesuai harapan. Menimbulkan kebahagiaan sendiri bagi dua sisanya. “Eh tapi omongan Mbak Nara ada benarnya loh, Mbak,” sahut Reygan. “Mbak Yuna udah berkali-kali ngikutin saran Mbak Nara buat kencan buta, ‘kan? Masa nggak ada satu pun yang menarik perhatian.” Nara mengangguk-angguk setuju. “Nah, ‘kan. Mbak Yuna nih yang terlalu pemilih.” “Bukan gue yang pemilih, tapi lo yang asal-asalan nyariin calon buat gue,” sentak Yuna kesal. Melirik Nara tajam yang dibalas dengan hal yang sama. “Gue tuh maunya yang bertanggung jawab, dewasa, mau menerima gue apa adanya. Dan menerima kondisi Ibu gue yang sakit-sakitan. Dan yang nggak kalah penting gue bisa masuk dan beradaptasi dengan baik sama lingkungan keluarga dia. Memilih suami di usia gue ini bukan lagi lelucon, ini buat masa depan. Gue malas sama drama-drama nggak jelas.” Adara tersenyum. Selalu menyukai saat rekan satu ruangannya mulai sibuk berdiskusi seperti ini. Kecuali jika bahan diskusinya adalah tentangnya dan Ragha. “Aku setuju sama Mbak Yuna. Lebih baik menunda untuk beberapa saat untuk bisa menunggu yang tepat. Daripada harus cepat-cepat tapi hasilnya nggak terlalu baik. Membangun rumah tangga nggak semudah pacaran kayak yang kalian lakuin Nara, Reygan. Di saat kalian marahan, kalian nggak bisa seenaknya minta putus. Karena pernikahan bukan hanya menyangkut hubungan dua keluarga, tapi tentang janji di hadapan Tuhan. Masalah yang dihadapi pun jauh lebih kompleks dari yang kalian tahu secara umum. Nggak semudah dilihat dewasa dari segi usia, tapi harus siap mental juga, ilmunya apalagi.” Adara menoleh ke arah Yuna. Ada senyuman lembut yang mengembang. “Lagian aku percaya kok, Mbak Yuna menunda bukan karena nggak mau atau terlalu pemilih. Mbak Yuna cuma lagi menunggu sampai lelaki yang tepat itu benar-benar datang.” Senyum Yuna mengembang. Langsung memeluk Adara erat. Untuk kali ini Nara dan Reygan tidak bisa mengajukan kalimat apa-apa. Keduanya memahami jika Adara jauh lebih mengerti mengenai ikatan pernikahan. Karena Adara memang sudah menikah dan rumah tangganya nampak baik-baik saja. “Kalau udah suhunya yang ngomong ya gue nggak bisa apa-apa,” sahut Reygan pasrah. Nara mengangguk saja. Ada gumaman kekaguman yang timbul begitu mendengar penuturan Adara. Nampak dewasa dan anggun. Mungkin setelah ini Nara harus banyak belajar dari Adara agar bisa bertemu laki-laki yang tepat. Atau alangkah lebih baik kalau memiliki wajah tampan dan kaya raya seperti Ragha. “Kalau mau dapat yang kayak Pak Ragha, tipsnya apa, Mbak?” sahut Nara mengalihkan pembicaraan. Adara terdiam untuk beberapa saat. Tidak pernah mengira jika Nara akan menggiring pembicaraan mereka ke arah hubungannya dan Ragha. Yang mana selalu menjadi hal paling menyebalkan bagi Adara. Adara mungkin pandai dalam mengolah kata. Sampai bisa menyampaikan kalimat panjang berisi satu nasihat tersirat. Atau mungkin terlalu rapat dalam menyembunyikan kepedihan. Sampai orang di sekitarnya tidak akan menangkap kesulitannya dengan mudah. Namun, pada kenyataannya Adara tidak sebaik itu dalam memaknai pernikahan. Ia juga menikah dengan Ragha lantaran kesalahan. Ragha yang sudah mencintainya begitu dalam dan Adara yang teramat mengagumi Ragha dari kejauhan. Tidak pernah menyangka jika perpaduan rasa yang keduanya punya bisa mengantarkan pada satu kesalahan yang membuat keduanya harus terikat, dalam ikatan yang sah. Namun, di saat Adara merasa sudah memiliki dunia dengan Ragha di sisinya, bukan berarti semuanya selesai. Kehidupan pernikahannya berjalan lebih terjal dari perkiraan. Karena sampai detik ini pun, kehadiran Adara belum diterima dengan baik oleh Mama. Daripada berceloteh terlalu panjang, Adara memilih tidak menanggapi lebih. Hanya tersenyum singkat dan menggeleng. Memilih untuk tidak menjawab. Ia tidak ingin membongkar apa yang sudah ditutupi selama ini. Bagaimanapun permasalahan yang ia hadapi di rumah, tidak seharusnya menjadi konsumsi orang lain. Adara sedang berusaha semampunya untuk berperan sebagai menantu yang baik. Meskipun Mama belum juga membuka hati untuk kehadirannya. Adara hanya berharap, setelah ini, ia bisa terlihat dalam pandangan Mama sebagai menantu pertamanya. Seorang perempuan yang dipilih oleh putra sulungnya dengan bekal perasaan mendalam bernama cinta. Sungguh, Adara ingin posisinya dihargai seperti semestinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD