15. Mencintai Dengan Benar

1026 Words
Kemeja tosca yang dipadukan dengan rok span putih sebatas lutut. Rambut panjang yang biasanya digerai kini diikat kuda. Menyisakan beberapa helaian baby hair yang menjuntai. Membuat penampilannya jauh lebih cantik dari hari biasanya. Adara memperhatikan sekali lagi penampilannya pagi ini. Sekadar memeriksa polesan make upnya yang sederhana. Atau memastikan kemejanya sudah masuk sepenuhnya pada rok span yang ia kenakan. Sampai akhirnya suara ketukan pintu yang disusul derit pelan itu membuat perhatiannya beralih. Ragha hadir di sana. Memasang senyuman lebar yang selalu menarik seluruh perhatian Adara. Sampai-sampai Adara tidak sadar sejak kapan Ragha sudah berdiri tepat di hadapannya sembari mengulurkan dasi. “Bukannya aku udah bilang sebelumnya soal ini?” ujarnya begitu menyadari permintaan Ragha. Tidak berniat menolak, Adara justru dengan senang hati meraih dasi itu dan melingkarkan di kerah kemeja Ragha. “Aku butuh bantuan kamu, dan kamu butuh bantuanku, ‘kan?” tanya Ragha tanpa menghilangkan senyuman lebarnya. Satu hal indah yang membuat pagi Adara terasa lebih menyenangkan. Tidak pernah mengira jika keduanya akan kembali menjalani hari dengan saling melempar senyum. Juga perasaan menyenangkan yang melingkupi hati. Menimbulkan ketenangan yang sebelumnya terasa sangat mustahil untuk diraih. “Maksudnya?” Adara sudah memulai kegiatannya. Walaupun sesekali kembali melepas simpul dasi itu guna mengingat-ingat caranya. “Aku nggak mungkin membiarkan istriku ini minta bantuan orang lain untuk belajar memasang dasi.” Adara terkekeh pelan menyadari kecemburuan Ragha. “Jadi menurut Mas, aku akan memasang dasi di leher laki-laki lain untuk belajar, gitu?” tanyanya meledek. Ingin tahu sampai batas mana Ragha akan menunjukkan rasa cemburunya. “Nggak akan, Sayang. Karena cuma aku satu-satunya orang yang akan menerima perlakuan itu.” Suara tawa Adara terdengar lebih merdu pagi ini. Satu hal lainnya yang selalu Ragha harapkan untuk terus ada di hidupnya. Menatap wajah Adara dengan senyuman lepas tanpa beban. Sebagai sebuah pertanda jika hati itu sudah perlahan membaik. Luka yang tertoreh di masa sebelumnya akan memudar seiring dengan kasih sayang yang Ragha berikan. Keduanya sempat mengalami masa-masa sulit sebelumnya. Dua tahun mungkin masih sangat muda untuk ukuran usia pernikahan. Dan dalam waktu dua tahun itu, Ragha sudah berhasil menorehkan banyak luka di hati Adara. Membuatnya kian kehilangan rasa percaya, jika ia bisa membahagiakan Adara. Sempat tercetus satu pemikiran untuk mengikuti keinginan Adara, melepaskan ikatan yang sudah keduanya jalin sejak lama. Namun di saat yang sama, hati terdalamnya selalu menolak. Tidak rela untuk sekadar mengalihkan pandangan dari Adara. Walaupun hanya wajah datar itu yang selalu nampak. "Nah jadi." Pekikan bahagia itu terdengar dan mengalihkan perhatian. Ragha menatap simpul dasi hasil tangan Adara yang sudah berkali-kali dibongkar pasang. Turut tersenyum mendapati wajah bangga sang istri. Juga memberi tepukan ringan di kepala sebagai bentuk apresiasi atas perlakuan Adara pagi ini. "Besok harus lebih rapi lagi, ya?" pinta Ragha. Adara mengangguk patuh. Enggan melunturkan senyuman yang sudah mengembang bahkan saat ia baru saja memulai hari. Rasa benci juga kemarahan yang sebelumnya selalu melingkupi hatinya saat bersama Ragha, kini sudah menghilang. Yang tersisa hanya perasaan cinta yang sama indahnya. Seperti saat pertama kali ia dibuat jatuh pada perasaan melambungkan itu. Dan nampaknya, Adara enggan bangkit lagi untuk waktu-waktu ini. "Aku kira kita nggak akan pernah begini lagi, Mas." Ragha tersenyum sesaat. Bergerak merapat untuk menyematkan afeksi lembut di sana. Menjeda sejenak pembicaraan yang mungkin akan membuat hati dan pikirannya bekerja ekstra. Ragha membutuhkan energinya kembali setelah sempat kehilangan dalam waktu yang lama. Ia ingin menyelami perasaan menggetarkan yang selalu membuatnya bingung saat kehilangan. Karena bagi Ragha, hidupnya hanya untuk Adara. Maka saat Adara memutuskan untuk menjaga diri dalam jarak yang ada, tidak ada kegiatan lain yang bisa Ragha lakukan. Hanya kebingungan yang terus melingkupinya. "Aku justru selalu berharap untuk kita kembali ke saat-saat seperti ini." Ragha berucap setelahnya. Sebelah tangannya melingkari pinggang Adara. Sedangkan sebelahnya lagi masih sibuk menyusuri wajah cantik istrinya. Memperhatikan dengan lebih baik lagi. Mengamati setiap jengkalnya. Juga mengenali setiap sisinya. Menyadarkan diri jika Adaranya yang selalu mengusik ketenangannya sudah kembali. Adara tidak lagi sibuk menyusuri jalannya sendiri. Adara justru memilih untuk berdiri diam dan menunggu Ragha mengejar. Dengan begitu keduanya bisa berjalan bersisian setelah ini. "Setelah diperhatikan berkali-kali, rasa-rasanya aku akan semakin egois." Adara mengernyit bingung. "Mas bicara apa?" Tentu untuk kali ini Adara tidak berminat meladeni Ragha dengan kalimatnya yang selalu menggantung. Ia ingin pembicaraan tuntas. Agar hatinya tidak dilingkupi perasaan menyebalkan. Juga kepalanya yang tidak lagi memproduksi banyak pemikiran buruk. "Ingat, Dara. Setelah ini aku nggak akan pernah membiarkan kamu lari lagi. Aku pernah memiliki kamu sebelumnya. Tapi karena caraku salah, kamu masih memiliki kebebasan untuk pergi dari aku. Untuk sekarang, aku akan belajar memiliki kamu dengan cara yang benar. Untuk itu, aku perlu kamu yang terus di sini. Jangan pernah pergi lagi." Nada permohonan itu. Wajah tersiksa itu. Adara bukan orang jahat yang tega membiarkan Ragha frustasi dalam perasaannya sendiri. Sejak awal Adara yang memilih untuk terus mendampingi Ragha. Bahkan rela memberikan apa yang ia punya untuk Ragha. Walau pada akhirnya, ia juga yang terluka. Adara tahu, dengan satu anggukan persetujuan atau bahkan sebuah kata mengiyakan akan membuatnya kembali terperangkap. Besar kemungkinannya untuk tidak bisa berlari lagi. Adara juga tidak bisa menjamin hatinya tidak akan terluka lagi. Namun seperti sebelumnya, Adara tetap akan mencoba. Dengan satu harapan, untuk yang saat ini, hatinya tidak akan kembali terluka, ia tidak akan lagi dikecewakan. "Cintai aku dengan benar untuk sekarang dan seterusnya." Kalimat halusnya menimbulkan lengkungan senyum di bibir Ragha. "Kamu nggak takut terluka lagi?" tanya Ragha memastikan. Walaupun ia tidak pernah rela melepas Adara, tapi ia juga tidak bisa memaksakan kehendaknya. Jika memang Adara tidak mau melanjutkan semuanya, Ragha akan belajar untuk merelakan. "Takut. Sangat takut malah. Setelah aku tahu perasaan kamu yang sebenarnya, juga kondisi hubunganku yang masih nggak baik sama Mama. Perasaan takut itu terasa lebih jelas. Tapi aku jauh lebih takut untuk menghadapi semuanya tanpa kamu, Mas." Ragha tidak bisa menahan senyumannya. Menarik Adara mendekat dan memeluknya erat. Menyalurkan perasaan menggetarkan yang kini terasa lebih jelas. Saling bertautan dalam ikatan yang sudah terbentuk lama. Namun terus terlepas lantaran keegoisan. Ragha belajar banyak hal dari kejadian yang sudah-sudah. Maka untuk sekarang sampai seterusnya ia akan belajar lebih banyak untuk mencintai Adara dengan cara yang benar. Karena hanya dengan itu, Adara bisa tetap berdiri di sisinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD