"Guys, listen to me, please."
Adara menoleh begitu suara Yuna terdengar. Sebuah instruksi yang tidak menerima bantahan. Adara memutar kursi kerjanya, diikuti rekannya yang lain, menghadap Yuna yang saat ini sudah duduk di kursi kerjanya. Membuat lingkaran sederhana, siap berdiskusi dari bahan yang Yuna bawa.
"Ini lagi jadi hot news di semua karyawan. Dan terkhusus untuk kita yang bakalan interaksi secara langsung, gue kasih info secara cuma-cuma." Yuna menjeda kalimatnya, hanya untuk tersenyum seraya menatap tiga rekannya.
"Pak Vigo lagi bikin pengajuan kerja sama. Lo tahu sama siapa?" tanyanya kembali menatap wajah-wajah penasaran itu.
"Planet Made, guys. Kalau sampai pihak Planet Made setuju dan tanda tangan, kita bakalan kerja bareng Eunbi Jung, Daniel, dan Justin," sorak Yuna. Wajahnya sudah berseri-seri.
"Seriusan, Mbak? Ya Tuhan baik banget nasib gue," sahut Nara. Kedua tangannya bahkan sudah menangkup sepasang pipinya yang memerah.
"Ini artinya detik-detik tangan gue bakalan menyentuh muka ganteng Daniel dan Justin. Ya Tuhan, gue nggak bisa bayangin. Dan Eunbi Jung. Gue kudu rajin skincarean mulai detik ini, supaya nggak buluk banget deketan sama muka kinclong itu."
Adara menggelengkan kepalanya, muncul senyuman tipis di sana.
Sementara itu, Reygan menghela napas malas. "Kenapa Planet Made? Emang Vieena mau ngadain konser?"
"Ck, Reygan lo tuh gimana, sih? Mereka bertiga itu idol papan atas. Barang apapun yang mereka pakai pasti dua detik berikutnya abis, ludes dibeli para fansnya. Ini keuntungan besar buat Vieena."
Yuna berucap galak, memasang wajah judes. Tapi begitu menatap Nara, binaran kebahagiaan itu kembali. "Nara, balik dari sini kita belanja skincare, okey?" Tentu saja respon Nara terlampau baik.
"Kenapa nggak model aja? Sabella Alexi, misalnya. Cakep, tinggi, ramping, beuh cuci mata gue, Mbak."
Yuna langsung memberi pukulan keras begitu Reygan selesai bicara. Menimbulkan pekikan sakit, juga tatapan sebal. Merasa tidak terima karena Yuna berlaku seenaknya.
"Lo nggak lihat berita apa gimana, ha? Istri Januar Abyan, seorang model papan atas, sedang hamil besar. Keduanya mengaku tidak sabar menunggu kelahiran anak kedua. Bahkan semua platform berita isinya begitu."
Reygan menghela napas pasrah. "Kenapa juga idol ceweknya harus satu? Dua kek, biar imbang," gumam Reygan. Memutar kembali kursi kerjanya, diikuti rekannya yang lain.
"Itu sih maunya lo, Rey. Gue aduin Shena mampus lo," sahut Yuna dengan nada galak. Sementara Reygan, yang mendengar nama sang kekasih, bergidik ngeri.
"Dara, lo udah mempelajari karakter Frey, 'kan?"
Adara mengangguk. "Udah, Mbak."
"Sip, pokoknya lo harus benar-benar bisa diterima sama Frey, dia ribet banget. Banyak maunya."
Adara mengangguk paham. Dari beberapa lembaran kertas, berisi beragam fakta mengenai Freya Arunika, seorang model muda yang bekerja sama untuk pemotretan produk Vieena bulan depan, memang sudah cukup menjelaskan jika Frey adalah sosok yang sedikit menyusahkan.
Mungkin karena usianya masih muda, sembilan belas tahun, membuatnya sedikit manja dan banyak mau. Untuk waktu menunggu saja, Frey mengajukan beragam makanan, minuman, sampai melarang ada kru dengan nama Nevan. Tidak tahu apa alasannya. Mungkin, Frey pernah menjalin hubungan dan berujung disakiti, sampai begitu membenci satu nama, Nevan.
Sedikit aneh memang, tapi Adara pikir itu sah-sah saja. Semua orang memiliki hak untuk tidak menyukai satu, dua orang. Tentu saja dengan penyalurannya yang sesuai pada koridor.
Ehm ... jika begini, bukankah sah-sah saja Adara membenci Ragha?
Jelas tidak. Karena pada kenyataannya, Adara terlampau mencintai lelaki itu, suaminya. Adara terlalu mengagumi sampai menutup mata untuk semuanya. Karena saat itu, yang terpenting bagi Adara adalah terus bersama Ragha.
Adara dan Ragha berada di sekolah yang sama, Adara kelas satu SMA dan Ragha kelas tiga SMA. Jika menggunakan sedikit penggambaran, Ragha adalah angsa putih yang menawan sedangkan Adara hanya bebek kecil yang buruk rupa.
Dulu, bagi Adara, memiliki Ragha adalah hal paling tidak masuk akal dalam hidupnya. Jelas sekali, terlalu banyak yang mengagumi Ragha, saat itu. Tapi Adara remaja terlalu menikmati hidup. Adara tidak pernah mengharapkan Ragha menatapnya, karena tahu dirinya hidup pun sepertinya tidak.
Adara rela menunggu Ragha yang pulang terlambat hanya untuk menaruh sekotak coklat di jok motor Ragha, sembari menatap lelaki itu pulang dalam keadaan lelah setelah ekstra basket. Adara rela berdesakan dengan siswi lain untuk memberi dukungan saat Ragha bermain di lapangan.
Dan yang paling memalukan, Adara rela menahan malu saat surat cintanya dibacakan dengan lantang oleh salah satu teman Ragha. Didengar oleh sebagian besar siswa. Setelahnya respon Ragha terlampau menyebalkan. Lelaki itu mendatanginya, di tengah banyaknya siswa yang melihat, hanya untuk mengusap kepalanya dan mengomentari suratnya yang tidak sesuai kaidah kebahasaan. Bahkan majas hiperbola yang Adara gunakan terlalu berlebihan.
Untuk hari-hari berikutnya, tentu saja Adara menjadi bahan bulan-bulanan siswa satu sekolah. Jangan berpikir terlalu jauh, Adara bukan korban bullying. Hanya saja, setelah kejadian itu, akan selalu ada yang meledeknya mengenai kaidah kebahasaan. Dan sejak saat itu Adara membenci pelajaran bahasa. Itu benar-benar seperti ledekan yang dimasukan sebagai mata pelajaran.
Kebodohan lainnya, Adara bahkan dua kali gagal saat mendaftar di fakultas yang sama dengan Ragha. Alasan utamanya tentu saja karena ingin selalu dekat dengan Ragha. Sampai akhirnya tahun ketiga, Adara memutuskan berhenti dengan impiannya yang terlalu tinggi itu. Memilih kelas fashion yang sesuai dengan kemampuannya. Dan sampai saat ini, Adara bisa bekerja sesuai bidangnya. Walaupun selalu dianggap sebelah mata oleh Mama, ibu mertuanya.
"Dara, gue antar aja, kesorean nih," ucap Yuna begitu keduanya sudah berada di pelataran kantor.
"Aku naik taksi aja, Mbak. Dan bukannya Mbak Yuna mau pergi sama Nara?"
Yuna berdecak sebal. "Ck, kencan buta dia," ucapnya.
"Sama gue aja, kalau lo pesan taksi macet ntar."
Lalu, Yuna pikir dengan Adara ikut di mobilnya tidak akan macet, begitu?
"Kalau lo pakai taksi nambah lagi ntar mobil yang berkeliaran di jalan, makin macet. Mendingan sama gue udah."
Oh ... oke.
"Tapi kita nggak searah, Mbak. Kasihan Mbak Yuna bolak-balik."
"Searah kok, gue mau jenguk Ibu di rumah sakit."
Adara mengangguk setuju.
"Dara."
Keduanya menoleh, menatap bingung juga kaget pada kehadiran seorang lelaki. Yuna jelas tidak mengenal, karena memang baru melihatnya sore ini.
"Mama ngundang makan malam di rumah," ucapnya. Adara mengerutkan kening, semakin tidak mengerti.
"Ngundang aku?"
Tidak ada jawaban. Ragha hanya bergumam tidak yakin.
"Nggak mungkin, Mas. Mana mungkin Mama ...." Adara langsung terdiam begitu menyadari tatapan kebingungan dari Yuna.
"Ehm, Mbak, ini Mas Ragha ... suamiku," ucap Adara ragu. Ini jelas akan menjadi perbincangan hangat kalau saja Yuna mulai penasaran dan mencari tahu mengenai Ragha. "Dan Mas, ini Mbak Yuna."
Keduanya berkenalan singkat. Lebih didominasi oleh Yuna yang terpesona. "Dara, lo punya suami ganteng begini, kok nggak pernah cerita?" bisiknya pelan. Adara tersenyum canggung. Sudah tahu pasti akan seperti ini.
***
Adara tahu, mengikuti ajakan Ragha untuk makan malam di rumah keluarga adalah sebuah kesalahan. Bukan, bukan Ragha yang salah mengajaknya. Hanya saja kehadiran Adara yang dianggap sebagai kesalahan.
Sejak menapaki lantai teras, Adara sudah merasakan aura tidak menyenangkan dari ibu mertuanya. Dan saat ini, ketiganya sudah memulai kegiatan makan malam, aura gelap itu semakin terasa. Membuat Adara hanya mampu diam seraya menunduk. Mengunyah makanannya teramat pelan. Karena entah bagaimana menu makan malam yang sebenarnya sangat menggugah selera itu, teramat sulit tertelan.
"Padahal Mama minta kamu untuk mengajak 'menantu Mama', Ga," ucap Mama, melirik Adara yang beberapa kali mencoba menghela napas.
"Ehm, Adara 'kan menantu Mama." Ragha melirik Adara yang masih diam. Memastikan keadaan, takut jika Adara tidak bisa mengontrol diri.
"Oh iya? Sejak kapan perempuan ini jadi menantu Mama? Sejak dia berlagak menjadi gadis polos yang kamu tiduri dan mengaku sedang mengandung anakmu?"
Adara menggigit bibir bawahnya. Menahan getaran menyebalkan yang selalu hadir saat Mama mengucapkan kalimat menyakitkan itu. Meraup oksigen sebanyak yang ia bisa, saat dirasakan sesak mulai menyerang parunya.
"Ma, semua udah kita bahas sebelumnya. Dan sekarang Adara memang menantu Mama, istri Ragha yang akan mengandung penerus keluarga, cucu Mama."
Ragha jelas membela. Mengabaikan beragam hal buruk yang terjadi di tengah hubungannya dengan Adara. Tidak peduli siapa yang bersalah dalam menimbulkan hubungan yang kian rumit. Ragha hanya memainkan perannya sebagai suami. Adara istrinya, ia masih mengingat hal itu dengan jelas.
Tidak tega melihat gerakan tangan Adara yang sudah terhenti. Bahunya sedikit bergetar. Tanpa diberitahu pun, Ragha paham, Adara sedang berusaha mati-matian untuk menahan air matanya.
"Mama benar-benar nggak mengerti dengan kamu, Ragha. Bisa-bisanya memilih perempuan seperti dia untuk mengandung penerus keluarga. Sudah jelas, dia nggak pantas. Kamu putra pertama, Mama. Seharusnya lebih pandai dalam memilih perempuan."
Ragha tidak menanggapi lebih. Masih mencoba meredam emosinya yang naik dan memenuhi kepala. Ia masih sangat paham dengan statusnya yang berada di tengah-tengah dua perempuan penting di hidupnya. Ragha tidak mungkin membentak Mama untuk membela istrinya. Namun Ragha juga tidak bisa diam saat jelas-jelas Adara dipermalukan seperti ini.
"Dan kamu! Sudah berjalan dua tahun, apa kamu masih belum puas menelan harta anak saya? Butuh berapa banyak? Saya akan bayar asalkan pergi dari kehidupan anak saya, dasar parasit!"
Adara sudah tidak bisa lagi menahan air matanya. Kalimat itu terlampau tajam. Menusuk, masuk dengan begitu mudah, membuat luka di dalam hati kian menganga, lebih lebar, lebih dalam, lebih menyakitkan.
"Dara," panggil Ragha pelan. Sudah tidak tega melihat Adara yang bergetar hebat. Sesaat Adara tidak merespon, sibuk menyeka air matanya. Detik berikutnya, Adara menoleh, menampilkan senyuman menyakitkan. Masih berusaha tegar di tengah fakta yang nampak jelas di matanya.
"Aku nggak apa-apa, Mas," ucapnya lirih. Diiringi suara terisak yang menyakitkan begitu sampai pada pendengaran.
"Benar kata Mama, tempatku bukan di sini. Maaf sudah menghancurkan acara makan malam kalian." Adara menghela napas panjang. Kembali tersenyum di tengah air matanya yang terus mendesak keluar. "Ma, Mas, Dara permisi."
Adara berjalan secepat yang ia bisa. Mengabaikan Ragha yang terus memanggilnya.
Sudah cukup untuk luka hatinya. Adara tidak ingin mendengar lebih banyak lagi. Enggan merasakan persakitan yang lebih parah.
Ini kesalahannya. Sejak awal memang kehadirannya adalah sebuah kesalahan. Dan bodohnya, Adara terus berada di posisinya, enggan pergi atau sekadar menepi.
Jika sejak awal Adara tidak membuka jalan, mungkin hidupnya akan lebih menyenangkan. Walaupun terkesan datar dengan kisah cinta yang tak pernah sampai pada sang pemilik. Setidaknya, Adara tidak akan menelan rasa sakit ini. Setidaknya, Adara tidak akan pernah tahu, jika mencintai Ragha akan terasa sangat menyakitkan.
***