2. Topeng Penutup Kepedihan

1385 Words
Sedetik setelah bunyi 'ceklek' yang menandakan pintu tertutup, Adara terpaku pada pemandangan di depannya. Ragha yang juga baru saja keluar dari kamarnya. Sudah mengenakan pakaian kantor, lengkap dengan jas hitam yang terpasang rapi. Sebelah tangannya menenteng ipad yang sebelumnya menjadi fokus utama. Sampai akhirnya sama-sama terdiam dalam pandangan yang tidak bisa dijelaskan. Adara masih mengagumi Ragha untuk setiap apa yang nampak. Wajahnya yang tegas, tubuhnya yang tegap, juga tatapannya yang tajam. Semua masih sama seperti saat pertama kali mata Adara jatuh dan hanyut dalam pesonanya. Sampai akhirnya Adara terlalu menikmati peran dan lupa dengan posisinya. Membuat sebuah hentakan keras yang membawanya kembali pada kenyataan. Detik demi detik berjalan dengan begitu menyakitkan. Menimbulkan luka mendalam yang kian terasa jelas, membuat hati itu menangis dalam diamnya. Adara tidak menyampaikan kalimat sapaan, sekadar memangkas aksi saling tatap itu. Bukan karena Adara enggan. Hanya saja, ia tidak mampu untuk membuka mulutnya. Hanya untuk menyampaikan satu kalimat saja Goresan persakitan itu nampaknya terbuka lebih lebar. Tepat setelah Ragha memutus kontak dan berbalik menuruni tangga. Membuat punggung lebar itu semakin jauh dari pandangannya. Menimbulkan helaan napas panjang untuk menghilangkan sesak yang tiba-tiba hadir dan menyapa dadanya. Adara turun setelahnya. Memasang wajah seolah baik-baik saja dengan senyuman merekah yang siap menyapa. Adara enggan membuka semuanya menjadi lebih jelas dan tentu saja akan membuatnya kian merasakan sakit yang teramat sangat. Adara sadar posisi. Dan ya, Adara enggan menjadi yang terus disalahkan, untuk kesekian kali. Membuatnya kian tidak berdaya di tengah hantaman yang menyerangnya berkali-kali. "Pagi, Mbak Dara." Sapaan riang yang terdengar sesaat setelah ia menapaki lantai dingin dapur. Seorang gadis muda dengan wajah sumringahnya sudah menduduki salah satu kursi dapur. Nampaknya kegiatan sarapan pagi ini tidak akan sesepi biasanya. Ada penghuni baru yang akan membuat suasana lebih hidup dari hari-hari sebelumnya. Adara menghela napas sejenak. Menatap Ragha yang sibuk menikmati roti dalam piring. Sesekali menyesap kopi hitam yang disiapkan asisten rumah tangga. Tanpa membalas tatapan tanya Adara. Adara sadari itu, Ragha kembali mendiamkannya seperti hari-hari lalu. Dan mungkin ini akan berjalan sampai hari-hari ke depan. "Aku datang semalam, setelah Mas Ragha jemput dan bolak-balik cari hotel. Aku tidur di sini untuk beberapa hari nggak masalah 'kan, Mbak? Aku malas banget pulang ke rumah. Mama tahu kalau aku beli album baru dan aku malas diomelin," ucap gadis muda itu menjelaskan keberadaannya yang nampaknya berhasil menimbulkan keterkejutan dalam diri Adara. Tapi yang terlihat hanya Adara yang terus menatap Ragha. Sedangkan Ragha tidak menanggapinya. Justru sibuk menikmati sarapannya. "Ehm ... aku kira Mas Ragha udah bilang sama Mbak. Tapi, kayaknya ...." "Udah kok. Mas Ragha udah bilang semalam. Nggak masalah. Kamu boleh di sini," jawab Adara cepat. Disambut senyuman sumringah dari gadis berusia dua puluh tahun itu, Dhianara. Dhia adalah adik kandung Ragha. Si bungsu yang sedang berkuliah di Yogyakarta. Membuatnya jarang terlihat, karena hanya bisa pulang saat libur semester, dua kali dalam setahun. Apalagi sekarang Dhia juga sibuk dengan kerja part timenya. Alasan utamanya agar kebiasaannya yang senang mengoleksi album dari idol Korea tetap berjalan mulus. Karena hobbynya itu ditentang keras oleh sang mama. "Aku tidur di kamar tamu, jadi kalian nggak perlu takut aku mengganggu." Adara tersenyum canggung. Mengganggu ya? Mengganggu apa? Kalau pada kenyataannya Ragha dan Adara berada di kamar berbeda setiap malam. Tidak pernah ada istilah mengganggu, sekalipun Dhia memutuskan untuk tinggal di rumah ini sampai tahun, tahun berikutnya. Tap ... Ragha meletakkan ipad yang sejak tadi menjadi fokus utamanya. Menyesap kopinya untuk kali terakhir. Sebelum akhirnya beranjak. Meraih tas kerjanya. Bersiap-siap berangkat. Tanpa mengucapkan satu kalimat pamit, atau sekadar mencium kening Adara lembut. Ragha hanya mengusap kepala adiknya dan langsung pergi dari sana. Satu pemandangan yang tentu saja terasa aneh untuk Dhia. Apalagi menatap kakak iparnya yang sedang mengikuti kepergian Ragha, dengan tatapan miris. Tanpa diberitahu pun, Dhia paham, ada yang tidak baik dalam rumah tangga kakaknya. "Mbak Dara, dimakan rotinya. Nanti Mbak telat sampai kantor." Tersenyum manis begitu suara Dhia menginterupsi. Mengangguk dan memulai kegiatan sarapan, yang seharusnya terasa hangat dengan kehadiran anggota baru. Tapi nampaknya, belum saatnya ... atau tidak akan pernah, lebih tepatnya. Adara sadar dengan posisinya yang sebentar lagi akan tergeser. Mengembalikannya pada yang lebih berhak karena sudah menemani Ragha sejak awal. Sudah direncanakan untuk menjadi pendamping Ragha jauh sebelum Adara hadir dan menghancurkan semuanya. Tidak ingin terus menjalani kehidupan sebagai sosok yang dibenci. Menjadi parasit di kehidupan orang lain. Lagi pula, sejauh ini Adara sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Agar ia bisa melepaskan diri dari kehidupan tidak menyenangkan ini. Agar hidupnya kembali berjalan normal walaupun tanpa cinta yang sudah ia dambakan sejak dulu. Jika saja sejak awal ia tahu, mencintai Ragha akan begitu menyakitkan, ia mungkin akan memutuskan untuk menyerah sebelum memulai semuanya. Melupakan apa yang sudah terlanjur terjadi, menghapuskan nama Ragha dalam hati. Bukan malah membiarkan dirinya tercebur dalam genangan kesalahan yang membuat posisinya kian layak untuk disingkirkan. *** Pagi hari yang seharusnya digunakan untuk meringankan beban, agar bisa memulai hari dengan menyenangkan nampaknya tidak berlaku di ibukota. Jalanan sudah dipenuhi para pengendara yang siap dengan aktivitas masing-masing. Membuat masing-masing dari mereka melupakan kenyamanan yang pagi tawarkan dengan cuma-cuma. Menyingkirkan beragam rutinitas menyenangkan yang seharusnya didominasi dengan pemikiran positif juga kebahagiaan hati. Pekerjaan adalah hal utama. Untuk melanjutkan ambisi demi selembar uang yang sempat dihentikan paksa oleh sang malam. Membuat mereka bergegas memadati jalan untuk berbondong-bondong menuju tempat kerja masing-masing. Pedagang kaki lima tidak mau kalah. Sudah memadati trotoar dengan beragam barang yang ditawarkan. Walaupun nampak lebih tertib daripada suasana sore yang bising, tetap saja, kemacetan selalu menjadi hasil akhir yang paling menyebalkan. Pandangan Adara terpaku saat mendapati satu hal yang menarik perhatiannya. Tepat di depan sebuah resto bubur 24 jam. Ada sebuah mobil dengan plat nomor yang sangat Adara hapal. Ragha muncul tidak lama setelahnya, diikuti sosok perempuan berambut panjang dengan wajah cantiknya yang menawan. Keduanya bahkan saling berbincang yang menimbulkan lengkungan senyum di bibir masing-masing. Nampak sangat bahagia dan akrab. Menimbulkan suasana romantis di tengah keributan orang-orang yang tengah berebut spot di jalan raya. Adara tersenyum miris. Pantas saja Ragha hanya menghabiskan secangkir kopinya juga memakan sedikit roti. Lelaki itu ternyata buru-buru menemani Sana sarapan. Adara tahu betul, Sana sangat suka sarapan di resto bubur 24 jam yang memiliki menu utama bubur dengan seafood steam ala Hong Kong. Seharusnya Adara tidak terkejut sampai merasakan hal tidak menyenangkan di dalam hati. Ia tahu secara sadar jika memang Sana memiliki hubungan dekat dengan Ragha. Adara juga mengetahui secara jelas jika memang posisinya sebentar lagi akan tergeser dan digantikan oleh Sana. Hah, nampaknya Adara sudah terlalu lelah. Sampai berkhayal terlalu jauh. Itu jelas hanya omong kosong belaka. Karena pada kenyataannya, kehadiran Sana berada jauh lebih unggul dibandingkan Adara. Sana tidak pernah hadir untuk menggantikan Adara. Justru Adara yang hadir tanpa diminta dan menghancurkan semuanya. Mirisnya lagi, walaupun Adara sudah berdiri di sisi Ragha, terlihat sangat jelas, posisi Sana tidak akan pernah tergantikan dalam hati Ragha. Adara benci ketika ia harus menangis lantaran kebodohannya sendiri. Ya, Adara mengakui dengan sepenuh hati jika semua terjadi karena kebodohannya. Seharusnya sejak awal ia menolak untuk membuka kisah indah bersama Ragha. Seharusnya sejak awal Adara tahu, jika hadirnya hanyalah sebagai pemeran tambahan yang memperindah jalan cerita. Ia hanya pelarian dari beragam masalah dan tanpa sadar malah membuat masalah itu kian rumit. Ketika Adara menyadari semuanya, sudah terlambat. Ia sudah tenggelam terlalu dalam. Pada kisah indah yang terasa menyenangkan pada awalnya. Namun tanpa sengaja menimbulkan nyeri yang menjalar dan menyakiti banyak hati. Bukan hanya hatinya saja, namun hati Mama, juga hati Sana. Selama ini Adara hidup dalam kebohongan. Bersikap seolah baik-baik saja di tengah penderitaan yang kian menjadi. Menyentaknya keras, membuatnya sadar. Berperan sebagai perempuan tidak tahu diri yang terus menjadi benalu di kehidupan orang lain. Adara hanya mencoba menjaga diri. Ia paham, setelah hari itu, tidak ada lagi yang bisa menjaga posisinya. Ragha jelas sudah berdiri di posisi yang berlawanan. Terbukti dari sikapnya yang kian berubah setiap harinya. Membuat Adara harus menjaga dirinya sendiri. Menciptakan pertahanan diri, sampai nanti. Ketika semua harus berakhir. Menutup cerita keduanya yang lebih didominasi oleh kesedihan. Jika boleh, Adara ingin berteriak marah pada Ragha. Menyampaikan penyesalannya untuk dua tahun yang sia-sia. Meniti hari demi hari dengan perasaan yang kian menggerogoti, menimbulkan luka yang lebih parah. Namun apalah daya, Adara tidak sekuat itu untuk berteriak, Adara tidak sehebat itu untuk terus berdiri tegak. Karena pada kenyataannya, ia hanya perempuan lemah yang dibodohi oleh cinta. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD