Segala Perasaan Tersembunyi

1088 Words
Tangan Callia ditahan ketika ingin menampar wajah Dior dan menahan tangannya adalah Dior sendiri. “Apa yang kamu lakukan padaku? Ha?” Callia murka. Kedua matanya besar sambil menahan amarah yang tampak tidak tertahankan lagi. Namun, dengan sikap tenangnya Dior membalas. “Akulah yang seharusnya bertanya seperti itu. Apa yang sebenarnya ingin kamu lakukan padaku?” “Aku ingin menampar wajahmu sampai sekuat-kuatnya agar kamu tidak terus mengambil apapun yang aku miliki?” “Apa kamu bilang? Aku-mengambil-apa-yang-kamu-miliki?” Dior mengeja kalimta pertanyaannya itu. “Iya!” “Bukannya justru sebaliknya? Kamulah yang telah mengambil semua yang menjadi milikku selama ini?!” Callia langsung tertawa sarkas. “Pikiranmu memang sangat picik dari dulu, Dior. Kamu tidak pernah mau mengakui kalau kamu tidak pernah bisa menyaingi aku, hingga hal kotor seperti ini berani kamu lakukan demi keinginanmu itu.” “Akan aku beritahu satu hal padamu, maling tidak akan mau mengaku maling, dan itulah gambaran dirimu dan Ibumu selama ini.” Ucap Dior, pelan namun penuh dengan penekanan. Lalu, dia membanting kasar tangan Callia dengan segala kemarahannya yang tidak dia tunjukkan dengan berlebihan. Dior pun pergi dari hadapan Callia, tapi Alaska menahannya cepat. Dengan tatapan mata tajam yang dia tautkan perlahan ke arah Alaska saat tangannya diraih tiba-tiba oleh suaminya, Dior pun berkata, “Lepaskan!” “Tidak akan!” “Jangan membuatku menjadi orang yang jahat padamu, hanya karena kamu mengusikku dan membuatku menjadikanmu kambing hitam atas kemarahanku.” “Tidak apa kalau kamu ingin menjadikanku seperti itu. Lampiaskan saja semua kemarahanmu padaku.” Dior merapatkan erat kedua matanya demi bisa menahan kesabarannya. Dia pun tidak mau membalas perkataan Alaska lagi. Dan, sama seperti yang baru saja dia lakukan pada Callia, Dior membanting tangan Alaska, kemudian dia pergi. “Dasar para manusia bodoh!” Decitnya, sangat pelan. Dior pun pergi dari tempat itu sendirian dengan menggunakan taksi. Dia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah Aston, melainkan pulang ke tempat lain. ** Keesokan harinya... Sebelum pergi ke tempat kerjanya, terlebih dahulu Dior datang ke sebuah tempat yang selalu menjadi tempat ternyamannya untuk berkeluh kesah selama ini. “Bu, aku sedang sedih.” Ucap Dior, mengawali curahan hatinya saat ini di depan Makam Ibunya. “Kenapa Ibu tidak mengajakku pergi bersama Ibu saja? Dengan begitu, aku tidak perlu merasakan semua ini. Sungguh. Semua yang aku rasakan selama ini sangat menyiksa batinku. Rasanya aku ingin mati saja daripada harus hidup dalam keadaan yang seperti ini terus menerus.” Dior melepaskan semua kesedihannya di tempat itu sampai air matanya berhenti keluar dan dia sudah kuat untuk menghadapi hidupnya kembali. Saat Dior beranjak berdiri dan ingin meninggalkan makam Ibunya, Dior langsung dikejutkan dengan keberdaan seseorang begitu dia membalikkan badannya. “Pa-Pak Ilsyad??” Ya. Dior memang mengenal betul siapa Ilsyad, karena dia adalah saksi hidup Dior yang hampir 90 persen diketahui oleh pria tua itu. Ilsyad langsung menyapa Dior dengan senyumannya yang hangat. “Nona Dior apa kabarnya?” “Ba-baik. Kapan Pak Ilsyad keluar dari penjara?” “Sekitar dua hari yang lalu.” “Apa— Bapak mendapatkan keringanan penahanan?” Dior bertanya ragu. “Tidak. Tapi, Alaska yang telah menebus Bapak.” “Alaska?” “Iya. Bapak tidak menyangka kalau Nona Dior akan menjadi menantu Bapak.” Ilsyad tampak senang mendengarnya. Dior pun sedikit tercekat mendengar perkataan itu, karena realitanya pernikahannya dengan Alaska hanyalah sandiwara saja. “Nona Dior, jangan terlalu bersedih dengan keadaan Nona Dior saat ini karena sebenarnya Tuan Aston sangat menyayangi Nona Dior dan Beliau selalu berpihak pada Nona Dior daripada Nyonya Lyra dan Nona Callia.” “Pak Ilsyad jangan mencoba untuk menghiburku. Aku lebih tahu sifat Papaku dibandingkan Bapak.” “Nona Dior yakin?” “Maksud Pak Ilsyad?” “Apa makanan kesukaan Tuan Aston? Film kesukaannya? Genre musik favoritnya? Tempat yang ingin sekali dia kunjungi bersama Nona Dior? Sebesar apa cinta Tuan Aston pada almarhumah Nyonya Ann?” “Semua pertanyaan Pak Ilsyad seperti sedang menjebakku saja.” “Aku hanya tidak ingin Nona Dior terus salah paham pada Tuan Aston. Biar sekeras apapun sikap Tuan Aston terhadap Nona Dior, Beliau tetap memantau anda.” “Tunggu. Apa jangan-jangan Papa juga mengetahui tentang—“ “Foam Group? Perusahaan food and bavarage yang Nona Dior dirikan?” Terkaan Ilsyad sangat tepat sekali. “I-iya.” Dior terkejut mengetahuinya. “Dari hal itu saja tentunya Nona Dior bisa mengetahui sesayang apa Tuan Aston pada Nona Dior.” Dior malah merasa kecewa setelah mengetahui tentang hal itu. Niatnya ingin merahasiakan sedikit kesuksesannya dari Aston ternyata telah gagal sejak lama. Ilsyad menatap Dior dengan senyuman. Dia cukup terharu melihat kedewasaan Dior yang ternyata tumbuh cepat. Pandangan matanya pun segera dia pindahkan ke arah makam Ann, lalu dia menurunkan badannya di dekat makam Ann untuk mendoakannya. Setelah mereka berdua meninggalkan makam, mereka akan pergi ke tempat berbeda. “Saya pamit dulu, Pak Ilsyad.” “Nona Dior, boleh saya mengatakan sesuatu pada Nona Dior?” “Boleh. Tentang apa?” “Tentang Alaska.” ** Begitu Dior baru saja tiba di tempat kerjanya, Dior langsung dikejutkan dengan keberadaan Alaska yang sudah ada di sana sambil duduk menunggunya. Sebelum menghampiri Alaska, Dior menatap pria itu dari kejauhan terlebih dahulu. Batinnya bertanya-tanya tentang sosoknya yang selama mengenalnya lebih banyak dia abaikan daripada dia perhatikan, dan Dior pun mulai sedikit memberikan perhatian tentang beberapa hal yang berhubungan dengan pria itu. “Selamat pagi, Bu Dior.” Sapa seorang staf yang berpapasan dengan Dior. Alaska langsung menoleh cepat ke belakang ke arah Dior yang ternyata sudah datang. Tanpa mau menunggu lebih lama lagi, Alaska langsung berjalan cepat menghampiri Dior dan berhenti cepat pula satu langkah di hadapan Dior yang membuat Dior tersentak kaget. Kedua mata Dior menganga dan dia pun bertanya, “Ada apa pagi-pagi sudah datang ke tempat kerjaku?” “Bisa kita bicara sebentar?” “Katakan saja di sini.” “Tidak bisa. Aku ingin bicara di tempat yang tidak ada seorang pun di tempat itu.” “Kalau begitu kita bicara di ruanganku.” Dior segera berjalan duluan menuju ke ruangannya yang berada di lantai dua. Alaska pun mengikutinya dari belakang. Setelah sampai di ruangan kerjanya, Dior langsung meminta Alaska mengatakan tujuannya datang ke tempat itu. “Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, bolehkah aku melakukan sesuatu untukmu?” “Apa?” “Mengikat tali sepatumu.” “Tidak perlu.” Dior langsung menyembunyikan kakinya di bagian tali sepatunya yang terurai. “Daripada kamu berbasa-basi, lebih baik cepat jawab pertanyaanku.” “Baiklah.” Dior bersiap mendengarkan jawaban Alaska. “Alasan kedatanganku ke sini adalah—“ ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD