Bagian tiga

1441 Words
Caca tak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini. Caca menganggap hari ini adalah hari yang paling memberuntungkan sepanjang hidupnya. Ia hanya tinggal meminta ijin untuk diperbolehkan bekerja di cafe milik Renata. Senyuman lebar terus mengembang di bibir Caca, ia memikirkan betapa senangnya Citra jika mengetahui semua kue nya laku terjual. Di jalan, Caca menyempatkan membeli dua bungkus gado-gado untuk Citra dan dirinya nanti siang. Caca sedikit berlari agar cepat sampai di rumahnya. Saat di depan rumah, Caca masih sempat memeluk dua bangkus gado-gado sangking senangnya. Pintu rumah Caca sudah terbuka lebar. Caca masuk dan mengucap salam. "Assalamu'alaikum, Caca pulang." "Wa'alaikumsalam. Masuk nak ibu ada di dapur." Citra balas berteriak menjawab salam Caca. Caca melepas sepatu bututnya, lalu ia letakkan pada rak sepatu berbahan dasar plastik di pojok ruangan. Kedua mata Caca terarah menuju Citra yang sedang sibuk membersihkan dapur. Caca menaruh dua bungkus gado-gado pada sebuah meja kayu. Bukan meja makan, melainkan meja yang pernah di buat dulu oleh mendiang ayahnya. Saat ayah Caca pergi, tak banyak yang ia wariskan kepada Caca atau juga Citra. Hanya peralatan kuno, hampir rusak yang masih dapat digunakan. "Gimana jualannya nak?" Tanya Citra yang kini sudah duduk di sebelah Caca. "Alhamdulillah kue nya laris semua Bu. Untung tadi ada Renata yang ngeborong kue Caca. Kalau gak ada dia, gak tau deh gimana nasib kue nya." Citra terkekeh "Itu berarti rejeki kamu nak. Rejeki udah ada Tuhan yang ngatur, dan hari ini tuhan ngasih rejeki pada kita." "Oh iya Bu, tadi Renata nawarin pekerjaan sama Caca di cafe nya. Caca pengen banget kerja di sana, ibu mau kan ngijinin Caca kerja di sana?" Caca bertanya was-was. Citra yang mendengarkan dengan segera ia menghentikan aktivitas memotong timun. "Enggak. Ibu udah cukup ngebebani kamu, ibu gak mau kalau harus ngerepotin kamu lagi." Balas Citra dengan nada tegasnya. "Tapi Bu, Caca kerja cuma dari jam tiga sampai jam delapan aja kok Bu." Ulang nya agar meyakinkan Citra. "Sekali ibu bilang enggak ya enggak Caca. Tugas kamu cuma satu, fokus belajar. Gak pake kerja-kerja segala macem kayak gitu." "Caca janji, kalau Caca kerja di cafe Renata, Caca bakal tetep fokus belajar. Caca gak akan terganggu sama itu bu," Caca masih saja mendesak Citra, kerutan di kening Citra semakin tercetak jelas. Ia sedang memikirkan sesuatu dengan keras tampaknya. Citra menggambil nafas pendek, kemudian berdehem pelan. "Kamu janji kalau kamu kerja gak akan ganggu sekolah kamu?" "Iya Bu, Caca janji." "Kalau sampai nilai kamu turun gara-gara kerja di cafe Renata, ibu gak segan-segan untuk menyuruh kamu keluar dari pekerjaan itu." Citra pasrah, akhirnya ia mengijinkan Caca untuk bekerja di cafe Renata. Caca mengangguk semangat, telunjuknya terulur pada meja yang di atas nya terdapat dua bungkus gado-gado. "Tadi Caca beli gado-gado, kita makan bareng yuk bu?" "Tapi tadi ibu sudah goreng telor buat kita makan siang." Ganti Citra yang kini sedang menunjuk sesuatu di balik lemari khusus makanan. "Gak apa-apa Bu. Nanti kita buat makan malemnya aja." Setelahnya, tak ada yang dibicarakan oleh Citra maupun Caca. Caca yang memang belum sarapan, dengan senang hati menghabiskan satu bungkus gado-gado. Caca menghabiskan gado-gado terlebih dahulu, kursi yang diduduki Caca nampak bergeser. Biasanya, jika selesai makan , Caca tak langsung berdiri, melainkan mengajak berbicara Citra mengenai sekolahnya. Namun kali ini beda. "Mau kemana kamu Ca?" Heran Citra, Caca nampak berulang kali melihat jam dinding dengan mimik wajah seperti orang terburu-buru. "Itu Bu, Caca udah janjian sama Renata. Kalau Caca mau kerja disana, sore ini Caca harus ke cafe nya." "Kalau gitu kamu hati-hati ya nak." Sambung nya lagi, Caca mengangguk paham. Kemudian Caca meninggalkan Citra dengan seribu hal yang mengusik pikirannya. Citra membatin, sebegitu gagal nya ia menjadi Ibu sampai harus mengorbankan Caca untuk membantunya mencari uang? Air mata Citra mulai membasahi pipinya kembali, cepat-cepat ia menghapusnya agar tak dilihat Caca. -Story of Caca- Di kamar, Caca sedang kebingungan mencari pakaian mana yang harus ia kenakan untuk ke cafe Renata. Memang hanya sebuah cafe, tapi entah kenapa, menurut Caca itu sebuah keharusan untuk terlihat rapi. Caca tak mempunyai baju yang sangat banyak, apalagi bagus. Tangannya bergerak mengambil jeans hitam dengan atasan kemeja berwarna putih. Caca keluar dari kamar, mencari Citra untuk berpamitan. Citra berada di sofa usang kebesarannya, nampaknya Citra juga sedang menunggu Caca. "Bu, Caca pamit ya." Ujar Caca sambil mencium punggung tangan Citra seperti biasanya. "Hati-hati ya nak, kamu ada uang gak buat naik angkot?" "Ada kok Bu," Caca menggunakan menunjukkan selembar uang pada citra. "Ya udah, ibu doain kamu." Jarak rumah Caca menuju cafe Citra dapat menempuh waktu setengah jam jika menggunakan sepeda motor dengan kecepatan rata-rata. Karena hari ini Caca belum mulai kerja hari ini, jadi ia memilih untuk berjalan kaki sekaligus jalan-jalan sore. Jln. Diponegoro no 5 Caca berusaha mengingat-ingat alamat yang tadi pagi disebutkan Renata. Caca terus berlari menyusuri jalanan panas di sore hari, hari ini sudah jam tiga sore, matahari masih berbaik hati memancarkan sinarnya. Di tengah usahanya berlari mencari cafe, Caca terengah. Ia memutuskan untuk duduk-duduk di taman kota. Caca tak mempunyai HP, ia tak bisa mencari alamat menggunakan Google map seperti kebanyakan orang lainnya. Saat di taman, Caca melihat sepasang kekasih yang sedang bermesraan di salah satu bangku panjang taman. Caca memandang iri kearah keduanya, Andai saja Juna masih hidup, andai saja yang di taman itu Juna dan Caca, Andai saja Juna selalu ada dan menghapus air matanya saat ia menangis. Caca berandai-andai sangat jauh, Juna sudah tenang di surga bersama ayahnya. Sulit bagi Caca untuk menaruh hatinya pada seseorang, Juna lah orang pertama yang berhasil masuk ke dalam hati Caca, bahkan untuk seterusnya. Ia tak mau berlama-lama mengingat kenangan buruk masa lalu nya, Caca tak kuat jika harus berjalan lagi. Ia mengorbankan sedikit uang nya untuk naik angkot. Angkot yang di tumpangi Caca sudah berhenti tepat di hotel Singgasana, Caca mengedarkan pandangannya ke arah sekitar. Benar yang dikatakan Renata, cafe nya persis di depan hotel Singgasana. Caca berdecak kagum melihat besarnya cafe Renata, Caca mulai masuk dalam Cafetaria remaja, cafe Renata. Ia berjalan ke arah perempuan berkulit coklat di bagian kasir, "Mbak, Renata nya ada?" Perempuan itu memperhatikan penampilan Caca dari atas hingga bawah, Caca yang merasa di perhatikan menjadi sedikit risih. "Mbak?" Tegur Caca, perempuan itu masih tak mau mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Adek siapa nya Renata?" Kasir itu memandang remeh Caca. "Saya temannya Renata, mau ngelamar pekerjaan di sini." Jelas Caca, kasir itu mulai paham maksud kedatangan Caca. "Oh calon karyawati baru? Mari saya antarkan." Ucap perempuan, itu. Perempuan itu jalan terlebih dahulu meninggalkan Caca dibelakangnya. Caca baru menyadari jika cafe ini sangat besar, mempunyai dua lantai. Suasana nyaman yang mampu membuat siapa saja betah berlama-lama disini. Tibalah Caca di ruangan yang berada di lantai dua. "Renata nya ada di dalam. Saya tinggal dulu." Perempuan itu mulai meninggalkan Caca. Caca awalnya ragu untuk mengetuk pintu ruangan Renata, tapi ia urungkan. Tok tok tok Bunyi ketukan pintu terdengar keras, gagang pintu mulai bergerak. Benar saja, Renata keluar, ia menyapa Caca, tak menyangka jika Caca benar mau berkerja di cafe nya. "Masuk Ca," Ruangan itu bisa dikatakan sebagai ruangan kerja Renata, di dalamnya banyak terdapat bingkai foto dan kertas bertumpuk di mejanya. "Ca?" Mata Caca masih setia memperhatikan sekelilingnya, ketika Caca merasakan ada yang menepuk bahunya, Caca mulai tersadar akan sesuatu. "Eh, maaf Renata." Ia tertunduk malu, Renata tau jika Caca sedari tadi memperhatikan ruang kerja nya. "Gak apa-apa kok santai aja. Berhubung sekarang udah jam lima, Lo kerjanya besok sepulangnya sekolah ya, kayak yang tadi gue jelasin di sekolah," Renata menghentikan ucapannya sejenak, Caca sudah penasaran dengan kelanjutan ucapan Renata. "Kalo masalah gaji, gue gaji Lo nya perbulan, gaji nya emang enggak banyak. Cuman 750 ribu, tapi gue harap cukup buat menuhi kebutuhan Lo." Caca hampir saja menangis, Caca memang lebay. Ia tak pernah menghasilkan uang sebanyak itu. Orang akan beranggapan uang 750 ribu akan di anggap sedikit, bagi Caca uang 750 ribu sudah sangat banyak. "Lo kerjanya cuma nganterin pesanan orang, atau kalo piring numpuk belom kecuci, Lo juga bantu cuci piring di belakang, gak keberatan kan Ca?" Caca menegakkan tubuhnya, "Enggak kok Renata, ada lagi?" Renata menggeleng. "Gak ada, Lo mau pulang apa gimana Ca?" "Caca mau langsung pulang aja Renata," "Mau bareng gue? Gue juga mau pulang. Gue tau daerah rumah Lo dari Bulan, kebetulan rumah kita juga searah." "Enggak usah Renata, Caca mau sekalian jalan-jalan. Caca juga pengen duduk di alun-alun dulu." Caca menolak tawaran Renata secara halus. "Ya udah, Caca pulang dulu ya Renata. Makasih udah nerima Caca kerja disini." Caca pamit, mengambil tas nya di salah satu kursi. "Sama-sama, semoga nanti betah ya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD