"Aku akan datang dan melamar."
Amira yang menyukai Rion begitu berbunga mendengar pesan itu. Lamaran akan datang pada putri tertua keluarga Ayub. Amira sampai dandan dengan cantik demi dipandang sedap oleh calon mertuanya.
Namun, fakta bahwa keluarga Rion tak menyebut namanya sama sekali. Membuat Amira seperti jatuh tersungkur ke dalam jurang.
"Rion bermaksud melamar Ayunda."
Kedua orang tua Amira nampak mengerutkan dahi. Mereka berpikir, Rion yang terlihat memiliki minat pada Amira. Akan datang dengan maksud melamar dirinya.
"Begini Pak, kami masih memiliki putri sulung. Sepertinya tidak baik, jika melangkahi Amira," ibunya menyahut lebih dahulu.
Amira mengepalkan tangannya dengan erat, sementara pandangan tertunduk. Apakah dirinya akan dilangkahi oleh adiknya sendiri? Bahkan menikah dengan pria yang Amira cintai.
Ayah Rion tersenyum. "Rion tidak bisa menunggu terlalu lama."
Ibu Amira berusaha sabar. "Ayunda juga belum lulus kuliah, untuk pernikahan bisa ditunda sampai Ayunda lulus sekaligus menunggu Amira punya calon."
"Menikah sambil kuliah kan tidak jadi masalah. Lagi pula, meski Ayunda sudah lulus. Belum tentu juga kan Amira dapat pasangan."
Ibu Amira nampak sewot dengan penuturan dari calon mertua Ayunda. Rasanya Amira tidak tahan terus duduk di sisi keluarganya.
Ayub hanya diam dengan mata memandang Amira. Pria itu tak pernah berpikir Rion akan melamar Ayunda, mengingat semua perhatian Rion selalu tertuju pada sang putri sulung.
"Masuklah ke kamar," bisik Ayub pelan pada Amira.
"Iya, Yah."
***
Amira terpaksa menelan segala kepahitan semalam. Karena dirinya harus bekerja dan urusan pribadi tentunya perlu dipisahkan.
"Selamat pagi Pak Malik," Amira wajib menyapa sebagai sekretaris.
Malik langsung berhenti melangkah dan mendekati Amira di meja sekretaris. Amira tentunya memajang wajah yang penuh senyuman.
"Lamaran kemarin lancar?"
Amira berusaha tetap senyum, meski hati terluka karena atasannya malah menyinggung. "Lebih baik Bapak tidak menanyakannya."
Wajah Malik yang sudah keriput, semakin jelas ketika dahi mengerut. "Kenapa? Lamarannya gagal?"
"Bukan, hanya saja adik saya yang dilamar, Pak."
"Loh, kok bisa begitu."
Mata Amira menatap Malik yang malah meletakkan kedua tangan di atas meja kerjanya. Bukannya segera memasuki ruangan, justru bergosip dengannya.
"Ya begitu, Pak."
Pandangan Amira tertunduk, ia mana mungkin cerita masalah pribadinya secara detail pada atasan. Terlebih di depan para karyawan lainnya di divisi direktur utama ini.
Malik menghela napas. "Kalau begitu saya akan datang ke rumah dan lamar kamu."
Perkataan itu bukan hanya membuat Amira kaget setengah mati. Tapi, seluruh karyawan seketika menghentikan pekerjaan mereka, demi melirik tak percaya pada Malik. Usia sudah kepala 6, malah berpikir memperistri Amira.
Malik yang menyadari tatapan semua karyawan langsung tertawa. "Jangan salah paham."
Kemudian Malik menatap serius pada Amira. "Ilyas kebetulan belum punya pasangan, bagaimana kalau dengan kamu saja?"
Bukannya segera menjawab, Amira malah menunjukkan senyumnya. Dari yang dirinya dengar, pria itu seorang dokter dan direktur di rumah sakit.
Posisi itu saja sudah tidak sebanding dengan Amira. Apalagi Ilyas anak dari Malik, pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Jarak di antara mereka seperti langit dan bumi.
"Bertemu saja dulu, kalau cocok bisa lanjut," ujar Malik karena melihat keraguan di matanya.
"Masalahnya Pak, pak Ilyas ini kan anak Bapak."
"Terus?" Malik sampai mengerutkan dahi.
Ya, masa sekretaris tiba-tiba menjelma jadi menantu. Amira melirik beberapa karyawan yang mengangguk-angguk, mendukung dirinya sepenuhnya.
"Baiklah Pak, tapi ini kalau pak Ilyas mau ya."
Amira pikir, dokter seperti Ilyas yang sibuk tidak akan datang ke cafe yang dipesan khusus oleh Malik. Namun, pria yang terkadang Amira lihat ini justru duduk di hadapannya.
Lagu yang mengisi kekosongan di antara mereka, terus saja diputar. Amira duduk di kursinya dengan gugup. Terhitung lima menit mereka berhadapan, tapi tak ada satu pun suara yang terdengar.
Ilyas mengangkat tangan dan melihat jam. Amira langsung tersenyum, kemudian tangan bersiap meraih tas dan mengakhiri pertemuan. Hingga pandangan Ilyas tertuju pada gerak-gerik Amira.
"Sekarang bukan jam kerja kantor, memangnya kamu ada urusan apa begitu buru-buru."
Amira menatap Ilyas yang nampak duduk dengan tenang. "Eh, Bapak tidak berniat pergi?"
Bapak? Seolah Ilyas ayah bagi Amira yang usianya empat tahun lebih muda. Ilyas menatap pada salah satu pegawai cafe yang langsung mendekat.
"Saya pikir melihat jam, karena Bapak sibuk dan ingin segera kembali ke rumah sakit," ujar Amira.
Panggilan bapak itu membuat Ilyas kesal. Namun, mata tetap tertuju biasa ke arah Amira yang gugup. Apalagi ketika pandangan saling bertemu, Amira terburu melengos.
"Dua makanan penutup dan teh lemon dingin," ujar Ilyas memutuskan menu tanpa meminta pendapat Amira.
"Baik mohon ditunggu sebentar."
Setelah pegawai cafe itu pergi. Pandangan Ilyas kembali tertuju pada Amira. Kemudian dia meletakkan satu tangan di bawah dagu.
"Pertama, jangan panggil bapak."
"Ya?"
Ilyas menatap serius. "Bisa dibilang kita seumuran, panggil Ilyas saja."
Amira tersenyum. Memangnya boleh setidak sopan begini? Dari pekerjaan saja sudah harus disegani. Apalagi melihat status keluarga.
Keduanya kembali diam, membiarkan musik merajai situasi lagi. Pesanan yang telah datang, membuat Amira sedikit lega. Setidaknya ia punya kegiatan, ketimbang terus menghindari tatapan Ilyas.
"Isi perutmu dahulu," ujar Ilyas membuat Amira mengambil sendok kecil dan mulai mencongkel desert.
"Terlalu manis," komen Ilyas setelah mencicipi.
Amira yang merasa lebih baik langsung tersenyum. "Jika terlalu manis, tahan sedikit. Karena tubuh kita juga butuh gula."
Mata Ilyas yang datar menatap lama pada Amira. "Aku seorang dokter, jadi lebih tahu."
"Ah iya, tentu saja."
Amira tiba-tiba merasa canggung dan memilih meminum tehnya. Kebiasannya yang membuat mie instan saat pulang kerja, pasti akan dikomen habis-habisan jika sampai dirinya menjalin hubungan dengan Ilyas.
"Mari bertemu beberapa kali lagi, setelah itu putuskan tanggal pernikahan."
Amira kaget dengan rencana dari Ilyas. Hingga hampir tersedak dan mulut yang masih berisi teh ini menyembur. Namun, Amira jauh lebih kaget saat wajah Ilyas hampir basah karena ulahnya.
"Maafkan saya."
Amira terburu bangkit dari duduk dan mencari tisu. Karena tidak ketemu, Amira menggunakan lengan bajunya untuk menyeka wajah Ilyas. Mata Ilyas memandang tajam ke arah Amira yang perlahan mundur.
Dijamin, setelah hari ini tidak ada pertemuan selanjutnya. Karena Amira sudah membuat kesalahan. Menyembur seorang dokter, pikirkan berapa ratus bakteri yang mendarat di wajah Ilyas.
"Duduk," pinta Ilyas pelan.
Namun, melihat Amira yang tetap berdiri, suara Ilyas sedikit meninggi, "Aku bilang duduk!"
Perlahan Amira mundur dan memutuskan untuk duduk dengan patuh. Meski ia memandang penuh rasa bersalah pada Ilyas yang meminta tisu pada pegawai.
"Tamat sudah riwayatku," gumam Amira dengan mata terpejam sejenak.