Bab 2. Saya Berniat Menikahi Amira

1078 Words
Amira berpikir, setelah menyemburkan teh ke wajah Ilyas. Ia akan diusir dari cafe. Tapi, Ilyas malah memaksa Amira untuk masuk ke mobil dan diantar pulang. Tangan Amira memegang ponsel dan diam-diam ingin memesan ojek online. Amira bisa kapan saja didepak dari mobil milik Ilyas. "Masukkan nomormu di ponselku." Pandangan Amira tertuju pada Ilyas yang menyodorkan ponsel padanya. Buat apa? Dokter dengan wajah datar ini menyimpan nomornya. "Tidak dengar?" celetuk Ilyas. Amira tersenyum, kemudian terpaksa mengambil ponsel Ilyas dan memasukkan nomornya. "Ini Pak, sudah." Ilyas memandang Amira sejenak, baru meraih ponsel dari tangannya. Amira kembali duduk dengan tidak tenang, mata melirik beberapa papan panel perusahaan. "Aku tidak akan menurunkan kamu di tengah jalan, jadi keluarlah dari aplikasi itu." Amira melirik ponselnya yang berada di atas pangkuan dengan layar menunjukkan fitur pemesanan. Amira segera membalik ponselnya. "Aku minta kamu buat keluar dari aplikasi," suara Ilyas begitu tegas. Hingga Amira terpaksa menuruti. Ternyata pria ini sangat galak, juga pemaksa padahal Amira tidak mau. "Rumah saya di depan sana, Pak," ujar Amira dengan tangan menunjuk. Begitu mobil berhenti, Amira menatap dahulu ke arah Ilyas untuk berterima kasih. Namun, Amira dibuat kaget oleh Ilyas yang keluar dari mobil dan membuka pintu untuknya. Kemudian tetap berdiri dengan mata memandang rumahnya. "Di dalam ada siapa?" "Kenapa tiba-tiba tanya, Pak?" Ilyas memandangnya. "Sudah bawa anak orang, tidak sopan kalau langsung pergi." "Jangan!" Amira panik, membuat dahi Ilyas mengerut. Amira terkekeh. "Di rumah tidak ada orang, takut dikira buruk sama tetangga kalau Bapak ikut masuk." "Hm, baiklah." "Terima kasih--" "Pegang ponselmu, karena setelah tiba di rumah aku akan menghubungimu." Mata Amira mengedip dengan kaget. Apa katanya barusan? Ilyas akan menghubungi dirinya? Kenapa? Amira berusaha tersenyum saat Ilyas mulai meninggalkan komplek rumahnya. "Mendadak aku ingin copot kartu dari ponsel," gumam Amira kemudian berbalik. Amira melotot kaget saat menemukan kedua orang tuanya mengintip di balik gorden jendela. "Siapa?" Bahkan Ayub bertanya karena penasaran. "Ayah, Ibu. Mengagetkan saja." Amira berharap mereka berdua tidak bertanya macam-macam. Tapi, begitu ia memasuki rumah. Ayub langsung mengikutinya masuk ke kamar, begitu pula dengan ibunya. "Jadi, siapa yang antar kamu? Dia masih muda, tampan pula." Kini ibunya yang mengoceh. "Hm, bisa dibilang teman," sahut Amira meletakkan tas dan duduk di ranjang. "Calon ya?" tebak Ayub. Kepala Amira langsung menggeleng kencang. "Ayah jangan asal menyimpulkan." Ayub ikut duduk di sisinya. "Mustahil cuma teman. Pria dengan wajah galak seperti itu, tidak akan mau mengantar." Amira menatap ayahnya yang memang tidak bisa dibohongi. Kemudian ibunya menarik kursi belajar dan duduk di hadapannya. "Namanya siapa?" Amira menggaruk leher. "Bayu Ilyas Pratama." Ayub saling lirik dengan sang istri. "Oh nama lengkapnya juga hapal." Ya, bagaimana bisa tidak hapal. Anak dari bos di tempat kerjanya, menyandang marga Pratama juga. "Pekerjaannya apa?" tanya ibunya masih penasaran. "Dokter, Bu." "Dokter? Bukankah lebih baik kak Rion yang seorang pengacara?" Ayub melirik Ayunda yang masuk ke kamar dan langsung duduk di kursi rias. Amira dan Ayunda masih berbagi kamar karena rumah ini terlalu sempit. Amira hanya diam. Keluarganya bisa heboh kalau sampai tahu Ilyas anak dari bosnya, terlebih bukan cuma dokter biasa. Tapi direktur sekaligus pemilik rumah sakit itu sendiri. "Jangan biarkan lolos. Barangkali kalian bisa menikah," ujar ibunya dengan memandang serius. Ayunda melirik sang ibu. "Memangnya ada pria yang mau dengan Kakak?" "Bisa tidak jangan merendahkan kakakmu?" tegur Ayub. Ayunda menghela napas. "Kak Rion yang pengacara saja tidak mau, apalagi dokter. Kakak lebih cocok dengan sesama pegawai kantor." "Kakak juga sangat kuno, dandanan biasa saja. Pria mana yang mau lirik." Ayunda terus saja mengoceh, namun Amira menggelengkan kepala ke arah kedua orang tuanya yang ingin menegur. Karena percuma, Ayunda justru bakal melawan dan terjadi pertengkaran. *** Amira mengabaikan pesan dari Ilyas yang mengajaknya kembali bertemu. Akhir pekan, Amira ingin tetap di rumah dan menjernihkan pikirannya. Tapi, tiba-tiba saja ibunya memasuki kamar. "Amira." "Ada apa Bu? Kenapa terlihat panik begini?" "Di luar ada mobil." Amira tersenyum. "Ibu ini bercanda ya? Depan rumah kan jalan, ya pasti dilewati mobil." "Bukan. Tapi pria yang kemarin, dia datang bawa ayahnya." Jantung Amira serasa loncat dari tubuhnya saat mendengar pak Malik turut mendatangi rumahnya. Ada apa gerangan? Mustahil jika hanya karena Amira yang mengabaikan anaknya kan. "Ayo cepat keluar." Amira ditarik paksa keluar dari kamar. Matanya langsung bisa menemukan Ilyas dan Malik bersalaman dengan ayahnya yang kebingungan. "Kedatangan saya yang mendadak ini pasti mengganggu ya?" tebak Malik. Ayub tersenyum lebar. "Tentu saja tidak, mari duduk, Pak." "Saya berniat menikahi Amira." Semua mata langsung tertuju pada Ilyas yang tiba-tiba bicara. Malik tertawa canggung kemudian menarik paksa sang anak untuk duduk. "Iya, jadi saya sebagai ayahnya. Ingin memperistri Amira untuk putra saya," ujar Malik tersenyum tidak enak. Sementara Ilyas hanya diam dengan raut datar, dan mata kerap melirik jam di tangan. Ayah dan ibunya saling tatap satu sama lain. "Tidak boleh ditolak, nanti jodohnya lama," bisik ibunya padahal Amira belum bicara apa pun. Selagi para orang tua sedang bicara di dalam. Amira membawa Ilyas ke depan rumah dan tentunya bukan saling bicara, tapi diam-diaman satu sama lain. "Hah, sebenarnya berapa lama lagi mereka bicara?" gumam Ilyas masih menatap jam. "Bapak sibuk?" Pandangan Ilyas terangkat dan memandang Amira. "Ya. Hari ini ada jadwal operasi, jadi tidak boleh terlambat." "Jika Bapak begitu sibuk, kenapa datang dan langsung melamar?" "Karena mulai besok aku akan lebih sibuk." Bukannya direktur justru lebih santai. Kenapa Ilyas malah sibuk dan mengikuti operasi. "Aku dengar kamu harus segera menikah sebelum dilangkahi adikmu," Ilyas tiba-tiba membahas. Amira sedikit malu. "Iya." "Aku juga ingin segera menikah." Amira memandang Ilyas serius. "Bahkan sebuah pajangan saja, harus dipilih secara tepat dan sesuai kasta. Kenapa Bapak memilih saya?" "Aku tidak punya waktu memilih pasangan. Kalau terus ditunda aku bisa jadi bujang lapuk. Selagi ada wanita yang mau bicara padaku, aku akan menikahinya." Kok bisa sesimpul itu mencari jodoh. Padahal Amira terlalu sering memilih dan membandingkan, hingga berujung kegagalan. "Memang tidak ada yang mau bicara sama Bapak?" "Menurutmu?" Amira memandang wajah Ilyas lagi. Benar, wanita mana yang berani bicara dengan pria berwajah galak ini. Jadi, apakah ini bisa disebut sebuah keberuntungan atau malapetaka. Ekspetasi Amira, bisa menikahi pria tampan dan romantis. Malah dapat kulkas dua pintu lengkap dengan pendingin kualitas premium. Pandangan Amira dan Ilyas tertuju pada orang tua kedua pihak yang keluar dari rumah sembari tersenyum. "Untuk tanggalnya akan saya beri tahukan kembali, yang penting tidak melebihi pernikahan adiknya Amira, kan?" tanya Malik. "Iya, Pak benar sekali." Ayub tersenyum hangat. "Minggu depan saja, acara pernikahannya digelar," putus Ilyas lagi-lagi secara sepihak. "Anak sialan ini," gumam Malik kesal, namun berusaha tersenyum saat mata bertemu Ayub.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD